By: Arden Sagiterry S.
Dihempasnya kain kotor itu ke tumpukan cucian yang masih menggunung. Desahannya panjang, lelah, tertekan. Di tengah penat kepalanya saat itu, tetap saja pelariannya adalah batangan rokok yang, dengan segera, sudah tersulut dan bertengger di bibirnya yang kering kerontang.
“…Ni…Aniii…”
Suara rintihan tertahan terdengar dari kamar sebelah. Panggilan sang mertua, pikirnya jengkel. Suara rintihannya semakin keras, sekarang mulai dipenuhi dengan caci maki. Dengan langkah berat ia menghadap ibu suaminya yang sekarang terbaring diam di ranjang. Sudah dua tahun sejak suaminya meninggal, dan ia ditinggalkan dengan rumah yang bobrok dan nenek tua payah yang tidak bisa apa-apa karena terserang stroke.
“Lama sekali sih! Dasar mantu pemalas!” caciannya sebenarnya sudah jadi makanan biasa, tapi sekali ini suasana hatinya makin kelabu saja. Pekerjaan satu-satunya, jasa mencuci, yang telah menyambung hidupnya selama dua tahun ini sudah habislah. Pelanggannya yang terakhir sudah pergi.
Ia harus melakukan apa? Tagihan rumah sudah lama menunggak. Besok adalah batas waktu terakhir pembayaran. Jika ia tidak sanggup membayar, mereka harus angkat kaki dari rumah ini.
“Aku lapar! Buatkan makanan, sana!”
Si nenek masih mengomel. Biarpun badannya sudah terbujur kaku tetapi lidahnya tetap tajam seperti pisau.
“Woi mantu budek! Dengar tidak sih? Dasar tolol kamu ini! Kenapa pula anakku bisa kawin dengan wanita setolol kau?”
“Diam, nenek cerewet!” Kesabarannya mencapai titik jenuh, dan pertama kalinya sejak hidup bersama keluarga suaminya selama sepuluh tahun ini, ia membentak si mertua. Ia terkesiap sejenak, begitu pula sasaran amarahnya.
“…Jadi begitu ya, aku ini nenek cerewet ya? Dasar mantu durhaka! Sekarang baru ketahuan belangmu! Waktu anakku memberimu uang, kau pura-pura baik padaku. Sekarang anakku sudah tidak ada, begini ya caramu membalasku? Setan kamu!”
Kepalanya makin terasa kelam, ruangan di sekitarnya berputar. Rokok di bibirnya bergetar karena guncangan emosi yang terlalu besar. Tubuhnya yang kurus kecil tidak bisa menahan beban sebesar itu.
“Pergi saja kamu! Tinggalkan aku mati disini! Dasar mantu durhaka!”
Diiringi omelan panjang si nenek, ia berlari keluar rumah.
***
Kepalanya makin sakit karena stres yang berkepanjangan. Kebenciannya pada mertuanya, pada suaminya yang meninggalkannya dalam keadaan melarat, memuncak di batinnya. Rasanya puas, menyalahkan mereka atas segala keburukan yang menimpanya.
Ia terduduk lesu di bangku taman dekat rumahnya. Tidak terlalu dekat juga, karena perjalanan ke sana mungkin mencapai sepuluh menit berjalan kaki. Kakinya terasa sakit. Luapan emosi membuatnya berlari tanpa tujuan.
Alangkah senangnya jika nenek tua itu mati…
Seuntas pikiran jahat terlintas di benaknya. Tiba-tiba suara seseorang memanggilnya dari kejauhan. Ibu penjaga warung yang sering ia datangi dan hutangi sedang berlari ke arahnya. Nafasnya memburu.
“…ran…”
Suaranya tidak jelas.
“…karan…”
Telinganya berdenging karena pusing. Kepalanya seperti terhantam oleh godam besi.
“Rumahmu kebakaran!”
Ia menutup matanya karena lelah, kesadarannya melayang pergi bersama gelapnya malam.
***
Mereka bilang sumber api berasal dari puntung rokok yang terjatuh di dekat tumpukan koran. Saat si jago merah sudah meraja, sudah terlambat bagi warga sekitar untuk mengalahkannya. Ia melahap ludes seluruh bagian rumah tersebut hingga para pemadam api tiba di lokasi.
Mertuanya tidak selamat, tidak berdaya karena tidak dapat bergerak.
Tetangganya memberikan ucapan bela sungkawa dan prihatin. Mencoba menyemangatinya yang terlihat seperti mayat berjalan. Seluruh hartanya telah ludes. Dan keluarga satu-satunya, si mertua, juga telah tiada.
Manusia adalah makhluk yang aneh, karena ia tidak pernah tetap.
Alangkah senangnya jika nenek tua itu mati…
Air matanya mengalir perlahan, membasahi pipinya yang diukir lelahnya hidup.
Apapun itu, yang jelas jauh dari kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!