Oleh: Reynaldo Siahaan (@reynaldosiahaan)
Muka masam dan suram terlukis di wajahku. Dahi berkerut dan gigi yang beradu. Setiap sore pulang dari kantor pasti pemandangan seperti ini yang aku pamerkan pada orang-orang yang berpapasan denganku. Bukan tanpa sebab, teman. Mulai dari ruangan yang berisik sepanjang hari ,pekerjaan kantor yang terlalu menyita waktu dan pikiran, hingga atasan yang tak pernah berhenti memandangku dengan tatapan bajak laut. Tak pernah sekalipun aku mendapatinya berduamata ketika berhadapan denganku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan kantor dengan tawa jika ini yang kuhadapi setiap hari.
Sore ini tidak seperti sore biasanya. Sepeda motorku masuk bengkel dan kontrakanku tak terjangkau angkutan umum. Untuk melengkapi sore ini, hujan datang mengantarkanku untuk pulang. Huh, aku harus pulang dengan moda lain. Untungnya tidak sulit menemukan taksi di sekitar gedung kantorku. Sebuah taksi berwarna kuning datang menjawab panggilanku. Seketika setelah pinggung bersandar di bangku, bapak yang di bangku depan langsung memandangku dengan senyuman lebar sambil berkata “selamat sore bapak. Mau kemana?”.
Melihat senyuman seperti itu aku hanya bisa terdiam dan merasa aneh sejenak.
“Kampung pandan dalam, pak” jawabku padanya.
Aku belum pernah disapa dengan senyum selebar itu ketika naik taksi, seakan dia baru saja menang lotre. Rasa penasaranku dibumbui lagi dengan sebuah percakapan.
“sedang sakit pak?” tanya supir ini.
“hah? Tidak, saya biasa saja. Kenapa bertanya seperti itu?” jawabku.
“Soalnya mukanya kelihatan suram dan lesu sekali.” lanjutnya.
“Hanya masalah kantor.” balasku lagi.
Supir ini diam sejenak sebelum kemudian ia menawarkanku sebuah permen. Permen mint dengan isi coklat cair. Tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya.
“Coklat dan Mint perpaduan yang menarik untuk relaksasi kepala pak” katanya kemudian.
“Oh iya, baiklah.” balasku.
Rasa penasaranku pada bapak ini berlanjut.
“Sudah berapa lama pak jadi supir taksi?” tanyaku.
“25 tahun, pak. Sudah senior nih, hehe” jawabnya dibarengi senyuman sama seperti tadi.
“Wah, ga bosen pak? Saya saja baru setahun kerja di kantor saya tadi sudah mau berhenti saja rasanya.” tanyaku melanjutkan percakapan.
“Wah, bosen sih ngga tapi ga enaknya sih banyak pak. Tapi saya malah sangat bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan ini pak.” katanya.
“Lah, kok bisa pak? Mohon maaf pak, kan ini bisa dikatakan pekerjaan yang tidak terlalu banyak memberikan penghasilan.” tanyaku heran.
Bapak ini lantas tertawa sambil membuka topinya. Terlihat di mataku helai demi helai rambut berwarna putih diusapinya. Ternyata bapak ini jauh lebih tua dari yang kuperkirakan.
“Dulu saya pernah sekolah sampai perguruan tinggi tapi ndak kelar. Saya banyak main-main kata ibu saya. hehe.” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Karna ga lulus sarjana dan juga ga trampil, saya jadi susah cari pekerjaan. Dah banyak ikut sampai interview sih tapi yah selalu berhenti sampai di situ. Kata mereka sih, saya kurang berkompeten.” tambahnya lagi.
“Trus kenapa bapak ga mencoba yang lain lagi selama 20 tahun yang lewat.” tanyaku penasaran lagi.
“Yah…saya sudah bersyukur pak dapat yang seperti ini.” jawab bapak ini sebelum akhirnya kami berhenti dan sampai di tujuanku.
Saat itu, hujan sudah berhenti dan aku turun dari taksi itu. Namun, rasa penasaran masih menggangguku tentang mengapa orang ini bertahan dengan sesuatu yang tidak enak sampai puluhan tahun.
“Apa yang membuat bapak sangat bersyukur?” tanyaku dari luar taksi.
“Saya menemukan inilah panggilan saya. Setiap hari menyapa dengan senyum simpul yang lebar orang-orang yang mungkin seperti bapak yang sedang mengalami masalah. Menawarkan sebuah permen atau memberikan percakapan yang hangat untuk mencoba memperindah hari mereka. Yah, saya sangat bersyukur bisa mendapatkan bagian dari hari-hari banyak orang. Orang banyak berkata supir taksi adalah profesi semata tetapi bagi saya ini lebih dari sekedar membawa orang dalam taksi ke tujuannya. Bagi saya, setiap orang yang masuk ke dalam kantor kecil berjalan saya ini adalah titipanNya yang saya yakin punya rencana indah bersama saya. Intinya saya bersyukur dengan profesi ini karena setidaknya aku bisa menghiasi hari-hari banyak orang.” jawab orang ini dengan senyum lebar lagi sebagai penutupnya.
Aku tidak menyangka jawabannya akan sepanjang dan sekompleks itu. Usai menjawab itu, taksi ini segera pergi meninggalkanku. Aku terdiam di tengah petang di kampung pandan dalam. Ini pertama kalinya aku terhenyak setelah turun dari taksi. Aku seperti baru saja tertampar oleh tangan maya. Orang itu tidak punya pekerjaan yang lebih baik daripada aku tetapi ia lebih menikmatinya daripada aku. Ia bahkan membagikan kebahagiaannya kepada aku. Aku malu akan betapa tidak bersyukurnya aku akan pekerjaan yang boleh kudapatkan. Aku bahkan mungkin merusak hari-hari orang lain dengan mukaku yang suram setiap pulang kantor. Aku harus belajar bersyukur karena itulah yang akan membuatku berbahagia menjalani hari-hariku sama seperti supir taksi tadi.
Untuk pertama kalinya, sepulang dari kantor ada senyum di raut wajahku. Walau hanya senyum simpul sederhana tetapi itu merupakan senyum paling bahagia yang kurasakan. Mungkin benar apa yang dikatakan bapak itu tentang titipanNya. Bukan sebuah kebetulan ada hujan hari ini, sepeda motorku rusak, kontrakanku yang jauh dan taksi ini yang mendapati kehadiranku duluan. Gumaman dan keluhanku tiap hari harus kuganti dengan rasa syukur kepadaNya. Terima kasih Tuhan atas supir taksi yang Engkau izinkan membawaku pulang hari ini. :)
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
(+) : simple tapi menarik, pesan moral dapet, kejutan oke, cerita berjalan natural.
BalasHapus(-) : diksi perlu dieksplore lgi kayaknya, endingnya kurang menggigit kali ya?
Anyway, great story..:)
Tokoh supir taksinya kuat :)
BalasHapuskalo menurut aku, sebenernya endingnya dipotong di sebatas dia tersenyum pas pulang kerja aja udah oke :)
BalasHapusaku suka ide menikmati pekerjaan sederhana karena bisa mengambil bagian dalam hidup orang lain :) nice idea.