By Rachma Lestari (@rachmalestari)
Aku cukup terkejut dengan apa yang kini tengah kusaksikan dengan kedua mataku. Kupastikan kacamataku, takut jika tertukar dengan kacamata mainan yang menampilkan gambar-gambar seperti bangunan bersejarah, yang kutemui di toko mainan barusan. Tapi, tidak ada yang salah dengan kacamataku, benar milikku dan tak tertukar.
Kupakai lagi dan kulanjutkan menyaksikan kejadian di hadapanku, seperti menyaksikan sebuah salah satu adegan sinetron. Mataku tak berkedip. Nafasku sesekali tertahan, menantikan apa yang akan mereka lakukan. Dan ya, mereka bercumbu penuh nafsu sekarang. Risih, kualihkan pandanganku ke bawah, sepasang sepatu lusuh tampak. Itu sepatuku, tidak penting.
Apa yang harus kulakukan? Mereka bercumbu. Bukan lagi saling cipika-cipiki, tapi bercumbu. Bukan lagi pipi bertemu pipi, tapi mulut bertemu mulut. Atau mungkin lidah? Ya Tuhan, aku ingin muntah. Dia hanya boleh melakukan hal itu denganku, dengan kekasihnya! Seharusnya aku marah, ya, seharusnya aku marah. Tapi aku malah masih berdiri di lorong ini, di tengah-tengah lalu lalang banyak orang, tampak seperti seekor keledai bodoh kehilangan arah.
Bukan untuk pertama kalinya aku melihatnya seperti ini. Main pegang, main belai, main peluk dan main cium dengan orang lain. Aku cemburu, benar-benar cemburu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Berteriak dan marah kepadanya di depan banyak orang, bilang aku cemburu dan betapa dia tega melakukan itu padaku? Seperti itu? Tidak, terimakasih. Aku tidak ingin mendapat serangan tatapan tajam dari pengunjung lainnya.
Aku kekasihnya, dia kekasihku. Kucoba untuk terus mengucapkan ‘mantra’ itu di otakku. Berulang-ulang bagai adegan film yang tersendat, menampilkan bagian itu-itu saja. Akhirnya aku menyerah, aku lelah. Aku terjebak. Di sisi lain ingin kulampiaskan segala emosi yang menggunung di dada ini. Namun aku juga takut kehilangan dia, kekasihku. Sedikit saja kulakukan kesalahan, dia akan pergi, mencari ‘aku’ lain di luar sana. Sulit mendeskripsikan bagaimana terjebaknya aku di posisi ini. Andai aku bisa dengan mudah mengungkapkannya. Namun aku belum siap. Sekali lagi, belum siap dengan serangan tatapan tajam, atau mungkin cemooh dari orang lain? Ya, aku terjebak dan aku belum siap untuk keluar dari ‘lubang’ ini.
Kudongakkan kepalaku, kembali memandangnya dan orang asing itu. Mereka kini tampak menikmati hidangan penutup yang disajikan restoran spanyol itu. Kuubah raut wajahku, dan kemudian masuk ke dalam restoran itu. Aku tiba di mejanya.
“Maaf terlambat, Dina. Terjebak macet,” bohongku padanya.
Dina mengelap bibirnya dengan tisu dan kemudian berkata. “Tidak apa-apa, Rossa. Kenalkan ini Leo, pacar baruku,”
Aku tersenyum pada orang asing bernama Leo itu dan kemudian duduk di samping Dina, kekasihku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!