Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 21 Maret 2011

Untuk si Hipokrit

oleh: Josefine Yaputri (@sefiiin)


Cih. Munafiknya orang-orang ini. Mungkin aku yang sudah gila, tetapi aku tidak peduli sama sekali. Boleh saja semua orang menyebutku gila, asalkan aku tidak terjebak dalam kemunafikan seperti ini. Untuk apa terus berpura-pura? Untuk apa terus bermuka dua? Cih. Munafik. Telan saja semua yang aku katakan, cela saja, silahkan. Toh, aku tidak peduli. Lebih baik aku gila, daripada hidup dalam kemunafikan.

“Hei, Gema,” sapa si hipokrit ini dengan senyum ‘tulus’-nya. Yep, senyum yang sangat ‘tulus’. Mengerti, kan?

Aku tersenyum miris dengan tatapan yang kubuat se-‘enak’ mungkin. “Hei juga, Mala.” Begitu aku selesai menyapanya dengan terpaksa, aku pun langsung kembali memusatkan perhatianku ke laptop. Lebih baik aku menghabiskan waktu di depan mesin, daripada harus berhadapan langsung dengan makhluk hipokrit seperti Mala. Cih. Aku bukannya membenci Mala, loh. Aku hanya jijik. Ya, hanya jijik.

“Eh, gimana kabar cowok lo?” Ia pun langsung dengan santainya duduk di sebelahku, kemudian merangkul dengan sangat kasual; layaknya seorang sahabat.

Hmm.. dulu, kami memang sempat dekat, tetapi tidak ada kata ‘sahabat’ di kamusku untuknya. Tidak, tidak akan pernah ada kata ‘sahabat’ untuknya. Aku memang gila. Aku mungkin gila dan si hipokrit inilah yang telah membuatku gila. Cih.

Aku tidak menengok sedikit pun ke arahnya. Untuk apa dia tau kabar Ben? Untuk apa? Oh iya, aku lupa bahwa ia sempat ingin merebut Ben dariku. HAHA. Makhluk gila. Ups, dia yang gila, kan? Yang jelas, aku tidak gila. Pernyataan-pernyataanku mungkin sedikit gila, tetapi makhluk gila yang munafik ini jauh lebih gila, psikopat mungkin.

“Ben? Baik, kok. Nanti dia mau jemput gue. Emangnya kenapa?” Biar saja aku menjawabnya dengan sangat ketus, biar saja. HAHA. Munafik kau, Mala.

“Kok lo jutek banget sih sama gue? Gue salah apa sih, Gem? Gue kan temen baik lo,” rengeknya sok rama sambil memeluk-meluk lenganku.

Aku tersenyum simpul, melipat laptopku, lalu meninggalkan Mala yang terdiam karena terkejut aku tinggalkan.

***

Aku capek. Aku sangat capek. Hidupku begitu indah sampai si hipokrit yang gila ini datang dan memunculkan berbagai kegilaan yang tidak ada habisnya. Dasar parasit. Dasar munafik. Mau sampai kapan kau pakai topeng itu di depanku? Bukannya aku perhitungan, tetapi sepertinya aku selalu baik kepadamu. Mala, Mala, aku sudah muak denganmu. Aku sudah cukup sabar dalam

menghadapimu sejak 3 bulan kita saling mengenal. Berhentilah menjadi gila. Berhentilah membuatku gila.

Ceritaku ini hanya berkisar tentang aku dan si hipokrit ini, seorang perempuan yang terus menyebutku sebagai ‘sahabat’ yang selalu ditikam dari belakangan. Semoga kalian tidak bosan. Semoga kalian tidak ikut menjadi gila.

Di siang yang terik seperti ini, mungkin tidaklah lazim untuk berbaring di atas rerumputan yang hijau, tetapi aku memilih untuk melakukan hal ini. Setidaknya, berbaring seperti ini membuatku tenang dan dengan mudahnya melupakan segala masalahku. Ya, cara ini selalu berhasil. Sampai ...

“HEH, GEMA! MAU LO APA, SIH? GUE KURANG BAIK APA SAMA LO? KENAPA LO HARUS NYUEKIN GUE TERUS-TERUSAN? KURANG BAIK APA SIH GUE SAMA LO? TA*K LO, YA! SAMPAH BANGET! NGGAK BISA DIBAIK-BAIKIN BANGET JADI ORANG! NGGAK TAU YA LO, KALO ORANG-ORANG PADA BENCI SAMA LO?” Hah, lagi-lagi si hipokrit. Aku sudah muak. Kesabaranku habis sudah. Habis sudah.

Aku pun membuka mata dan bangun perlahan. Aku tertawa pelan. “Hmm ... Gue yang mau nanya nih, La, mau lo apa? Gue tau kok kalo orang-orang benci sama gue. Gue tau kok kalo lo yang nyebarin gosip-gosip yang nggak bener tentang gue. Gue tau kok kalo selama ini lo nusuk gue dari belakang. Kenapa lo, La? Kalaupun emang ada orang-orang yang nggak suka sama gue, terus apa urusan lo? Gue tau kok kalo lo sempet ngedeketin Ben dan ngejelek-jelekkin gue di depan dia. Gue juga tau kok, Mala Prameshwari, kalo selama ini elo hanya berpura-pura jadi temen gue karena elo ingin mengorek-ngorek semua hal tentang gue. Asal tau aja ya, Mala, gue nggak peduli apa kata orang. Gue yang menjalani hidup gue sendiri dan gue sudah dikelilingi orang-orang yang sayang sama gue. I’m fine. Gue nggak peduli sama pandangan orang, karena orang-orang yang deket sama gue udah kenal banget sama gue. Mereka tau gue luar dan dalem. Sementara elo? Ya, sebaiknya sih nggak usah mencampuri urusan gue. Nggak usah lagi ya, La, lo campurin hidup gue. Gue nggak peduli sama pandangan orang, karena orang-orang yang deket sama gue udah kenal banget sama gue. Mereka tau gue luar dan dalem. Sementara elo? Ya, sebaiknya sih nggak usah mencampuri urusan gue. Nggak usah lagi ya, La, lo campurin hidup gue. You know nothing about me. Gue santai loh ini. Gue santai.” Aku pun meninggalkan Mala dan pertemanan palsu kami berakhir sampai di situ. Sejak saat itu, aku tidak pernah menjumpainya lagi.

***

Mala Prameshwari, 18 September 1989-11 Maret 2011. Perempuan hipokrit yang selalu membuatku jijik baru saja pergi. Apakah aku sudah memaafkannya? Ya. Sesimpel itukah? Ya. Begitu aku selesai mengungkapkan semua kejijikanku kepadanya, di hari di mana pertemanan palsu kami berakhir, aku pun langsung bisa memaafkannya. Bebanku langsung hilang. Aku pun tidak lagi menjadi gila. Mala meninggal karena penyakit jiwa. Ya, ia gila. Ia memang benar-benar gila. Alasannya pun tidak pasti, keluarganya hanya tahu bahwa Mala sering mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Aku turut berduka. Aku tahu Mala memang gila. Si hipokrit itu. Cih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!