Oleh: Septy Aprilliandary, @aprsept
“Aku ingin pergi.”
“Kemana? Biar ku antar.”
“Tidak perlu, aku tidak ingin pergi denganmu.”
“Kenapa? Memangnya kamu ingin pergi kemana?”
“Ke suatu tempat dimana kamu tidak ada.”
Delapan tahun sejak pertama kali aku melihatmu. Di sudut taman, seorang anak laki-laki kecil menunduk menatap butiran pasir. Kau mendongak saat aku mendekatimu. Senyum percaya diri itu. Perangkap pertamamu.
Ternyata kau bermukim di sebelah rumah orangtuaku. Ternyata kau murid baru di tempat yang sama, dimana aku menuntut ilmu. Ternyata kau se-jenius itu. Murid pertama yang mengoreksi guru IPA tentang teori relativitas, sesaat sebelum ujian akhir sekolah dasar. Satu-satunya orang yang pernah lari keliling lapangan olahraga SMA karena berdebat dengan guru fisika yang terkenal sadis. Terlalu banyak peristiwa yang menjadi bukti kerumitan pikiranmu. Entah anugerah atau musibah, akulah saksinya.
Kau beranjak remaja, begitu juga aku. Tahun-tahun yang kulalui sejak bertemu dengamu begitu berkesan. Sepertinya kau diciptakan untuk menarik orang sepertiku. Apapun yang kau lakukan, akan terasa luar biasa dimataku. Mungkin itu sebabnya kau dijauhi, tak ada yang ingin dekat-dekat denganmu, beberapa bahkan terang-terangan membencimu. Tidak denganku, bagiku autisme bukan penyakit menular. Jadi untuk apa menjauhimu?
Ibumu bilang, kau berubah sejak bertemu denganku. Dulu kau suka menyendiri, seperti yang kulihat di taman delapan tahun yang lalu. Kau akan mengamuk jika seseorang mengusikmu. Tetapi, lagi-lagi entah mengapa, tak ada masalah denganku. Senyum percaya dirimu itu, undangan bagiku untuk masuk ke duniamu. Dunia dimana hanya ada kau dan aku.
Hampir setiap detik kuhabiskan denganmu. Sekolah, mengerjakan tugas, bermain, dimanapun ada aku, pasti kau disitu. Tak ada orang lain, tak pernah ada orang lain saat aku di sampingmu. Hingga tibalah waktu sekarang ini, saat kau dan aku beranjak dewasa. Kau terus ingin di dekatku, bersikeras masuk perguruan tinggi swasta karena otakku tak cukup jenius untuk kuliah di perguruan tinggi negeri. Sayangnya, sesuatu mengusikku, opini orang tentang kau dan aku.
Mereka bilang, aku kekasihmu. Kau dan aku ‘pasangan autis’. Ah, tentu saja kau tenang dan tak terusik, itu bakat alamimu. Tapi aku tidak, aku bukan kekasihmu dan aku tidak mau disebut autis bersamamu. Sudah kukatakan itu kepadamu. Kau tak menanggapi. Lagi-lagi senyum percaya dirimu, lagi-lagi tatapan bersemangat dari matamu yang memerangkap argumenku dan mengalahkan sikap rasionalku.
Sungguh, aku ingin melihat dunia di luar dunia aku dan kau. Tetapi...aku tak bisa beranjak dari sisimu. Tanpa alasan, tanpa syarat, hanya ingin tetap di sampingmu.
Oh, aku mengerti. Hatiku terjebak.
“Kamu tahu aku tidak bisa pergi.”
“Kamu bisa, tapi kamu tidak ingin pergi.”
“Itukah sebabnya kamu membiarkanku pergi sebelumnya?”
“Ya.”
“Kenapa? Kamu tidak keberatan kalau aku pergi?”
“Tidak, karena aku tahu kamu pasti kembali. Hatimu tertaut di hatiku.”
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
bagus. aku suka ceritanya tentang anak autis dan orang yg dekat dengan anak autis.
BalasHapuscowo yg autis itu namanya sp?