Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 24 Maret 2011

Penantian dan Harapan


Oleh : Agung Wahyu K (@wahyukrissanto)

Dua hari. Sebuah takaran waktu yang tidak cukup panjang bagi mereka yang sedang  mengerjakan tugas-tugas kampus, namun tidak cukup singkat bagi seseorang yang sedang menantikan sesuatu yang istimewa, bukankah begitu? Ya, karena aku merasakannya, aku menjalaninya.
“Vi, kamu tahu nomor handphone-nya Very?” Tanyaku.
“Wah, maaf Ga... Aku nggak punya,” jawab gadis itu.
Aku memandangnya dengan setengah kecewa. Merasa keadaan berubah dengan tiba-tiba, gadis itu pun menghentikan makannya. Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari sesuatu yang dapat menjawab segala kegalauanku selama ini. Barangkali aku dapat melihat deretan angka yang menunjukkan nomor handphone Very dari bulatan hitam di matanya, atau dari dahinya. Namun, semua itu tidak mungkin.
“Woi!! Biasa aja kali ngeliatinnya,” gadis yang merupakan teman seperjuanganku sejak SMP itu melambai-lambaikan telapak tangannya persis di depan wajahku. Aku tersadar dari semua khayalan yang ada di otakku sedari tadi.
“Um.. Ya udah deh, aku pergi dulu ya,” aku bangkit dan bergegas menjauhi keramaian kantin sekolah tanpa menghiraukan lagi keadaan di sekitarku. Entah mengapa, aku tidak bersemangat hari ini, dan mungkin keadaan itu akan berlanjut hingga esok, esoknya lagi, dan esoknya lagi jikalau aku belum mendapatkan nomor handphone Very.
Herdian Very Octivan. Dia adalah orang pertama yang mengajariku untuk menjadi seorang pria yang berani, bahkan berani mati. Dia pulalah yang membuka mataku bahwa setiap keberhasilan yang telah kudapat, bukanlah tujuan akhir. Namun, aku harus melangkah lebih jauh lagi untuk memperoleh sesuatu yang lebih dari yang kupikirkan. Dialah kompatriot terbaikku di SMP. Dia adalah orang pertama yang memanggilku SAHABAT. Dia akan selalu menjadi yang pertama dalam kalbuku.
Dua tahun sudah, kulalui hariku tanpa dirinya. Tepatnya, sesaat setelah aku meninggalkan bangku SMP untuk mengepakkan sayapku lebih tinggi lagi menuju jenjang pendidikan SMA. Aku ingat, dia sempat mengatakan sesuatu kepadaku. Dia ingin agar aku bisa satu sekolah lagi dengannya. Namun sepertinya takdir tak mengijinkan hal itu terjadi. Kami dipisahkan bak bulu yang ditarik dari kulit domba secara paksa. Sangat sakit. Lebih lagi, aku tidak mengetahui keberadaannya saat ini. Bahkan, untuk sekadar memberitahukan kepadanya bahwa dua hari lagi aku akan merayakan hari bersejarah dalam hidupku, hari ulang tahunku.
*             *            *
Kubah langit mulai memadamkan terik sang surya, bersiap untuk menggantikannya dengan ribuan kerlip bintang. Tak kudapati setitik pun awan mendung bertengger hendak menampakkan wajahnya, langit malam ini tampak lebih cerah. Mungkin Tuhan sedang memberiku sedikit penghiburan di hari kelahiranku ini. Aku hanya bisa menerimanya dengan putus asa. Hari ini, sama saja seperti hari-hari biasa. Malah lebih buruk. Ibuku bahkan lupa bahwa tepat tujuh belas tahun yang lalu ia mengeluarkan aku dari dalam rahimnya. Very, satu-satunya orang yang dulu selalu ada di sisiku saat aku membutuhkannya, kini pun menghilang entah ke mana.
Di sini, di titik tertinggi Kota Malang, aku hendak melepaskan segala perihku. Aku hendak menangis sejadi-jadinya. Bahkan mungkin setelah ini, tidak ada seorangpun yang ingat bahwa aku pernah terlahir di dunia ini. Hanya Tuhan dan aku yang tahu.
“Tuhan, jika engkau masih membutuhkanku untuk menyaksikan segala kebesaran-Mu kepada orang lain, maka aku percaya Kau akan memberikan yang terbaik bagiku. Meskipun aku menyangkalnya, namun berikan aku kekuatan untuk menjalaninya,” batinku pada Tuhan.
Aku menggenggam erat secarik kertas yang telah kusiapkan beberapa jam yang lalu. Sebuah pesan yang mungkin akan menjadi pesan terakhir dariku untuk seseorang yang telah mengubah hidupku sejauh ini. Ya, dialah Very. Aku tidak tahu tepat kapan sejak perasaan itu telah berubah menjadi cinta. Tak peduli, apa yang akan orang lain katakan mengenai diriku. Mungkin mereka akan menghujatku, atau menganggapku sebagai makhluk rendahan yang tak pantas merasakan cinta. Mereka tak akan tahu, cinta itulah yang membuatku bertahan dalam sepi ini. Memberikanku kekuatan untuk setia menunggunya, di tempat pertama aku bertemu dengannya di sini, Bukit Bintang.
“Vand,” sebuah suara menyapaku dari belakang. Aku hampir tak mendengarnya. Tiba-tiba hati kecilku berteriak, “Very! Itu pasti Very!” Namun secepat itu pula akal sehatku berbicara, “tidak mungkin dia ada di sini, semalam ini! Bahkan kau tak pernah bertemu dengannya!”
Aku kembali hilang harapan hingga suara itu menyapaku kembali. Lebih dekat, lebih nyata. Aku meyakinkan hatiku bahwa aku tak sedang berhalusinasi. Aku harus membuktikan bahwa dia memang berada di sini. Aku pun memalingkan wajahku.
Samar-samar aku melihat sesosok tubuh yang tak asing bagiku.
“Very?” Suaraku tercekat di tenggorokan. Hampir tak terdengar.
Sosok tersebut maju perlahan mendekatiku. Cahaya bulan sedikit demi sedikit terfokuskan oleh lensa mataku untuk membentuk bayangan wajah yang selanjutnya akan diproses oleh otak. Jantungku berdegup lebih cepat, tak percaya akan pemandangan yang kusaksikan. Orang yang ada di hadapanku adalah Very. Aku tak mampu berkata-kata lagi.
“Happy birthday ya,” senyum yang khas dari wajahnya, semakin meyakinkanku bahwa aku sedang tidak bermimpi. Ini kenyataan.
“Yya...” bibirku bergetar. Aku tak mampu menahan air mataku untuk tidak jatuh. Sedetik kemudian, air mata telah meleleh membasahi pipiku. Semakin deras dan tak tertahankan, aku pun tak kuasa menahannya keluar untuk mengungkapkan kebahagiaanku saat itu.
“Maaf aku tak pernah memberi kabar kepadamu. Sejak kita bertemu terakhir kalinya, aku tak mempunyai alat komunikasi lagi. Namun, setiap tahun pada hari ini, aku selalu ke tempat ini dan meyakini bahwa suatu saat kau pasti akan ke sini, dan ternyata benar.” Very tersenyum lagi. Kali ini dia memelukku. Aku sangat bahagia, bahkan aku merasa bahwa aku telah terlahir kembali hari ini, detik ini, dengan kekuatan dan semangat yang baru.
Lebih dari itu semua, aku mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga. Tuhan masih ada untuk memberi kebahagiaan bagi mereka yang sedih, memberi kekuatan bagi mereka yang lemah, dan memberi semangat bagi mereka yang sedang putus asa. Tuhan selalu tahu apa yang harus dilakukan-Nya kepada tiap orang yang masih percaya dan menantikan sebuah harapan.
Maka, yakinkanlah dirimu. Mujizat selalu terjadi bagi mereka yang meyakininya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!