Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 14 Maret 2011

Mejik

Oleh: @lusianau


Ada satu hal yang membuatku kadang benci dengan Rian, senyumnya.

Nggak tau, waktu liat dia senyum, kayaknya semua yang salah itu pasti bener. Contohnya, waktu dia ke-gap nongkrong ama temen-temennya di cafe sebelah kampus waktu dia habis nolak ajakanku beli buku di Gramedia, dia senyum, dan semua jadi indah, maksudnya, semuanya jadi benar! Iya, benar! Serius. Aku nggak jadi marah sama dia.

Ada lagi, pada satu saat, waktu harusnya aku diem di rumah ngerjain PR Akuntansi yang jumlahnya sangat banyak, Rian tiba-tiba dateng ke rumah dan ngajak aku nonton, aku yang harusnya masih serius ngerjain PR, denger ajakannya, liat raut mukanya yang lucu, dan senyumnya yang *%@!?#&&!!% (aku nggak bisa menuliskannya dengan kata-kata), aku langsung hilang ingatan dan baru bangun dari alam bawah sadar, waktu aku udah nangkring di kursi bioskop.

Kalau kata Lyla, semua yang dilakukan Rian itu mejik. Iya, mejik.

Aku dan Rian sama sekali nggak pernah jadian, kita nggak pacaran, tapi kedekatan kita itu, udah bagaikan kedekatan Dewi Perssik dan Nicky Tirta, minus gaya pacarannya yang iyuuuh, lho ya. Dia nggak pernah juga bilang sayang sama aku, aku juga nggak pernah bilang sayang sama dia, tapi, dia sering banget nanyain kabar aku dan apa yang sedang aku lakuin, via sms.

Kalau kata orang, Rian itu lagi PDKT dengan aku.

Rian itu playboy kampus yang sangat terkenal. Tapi anehnya, kadang aku masih aja percaya kalo dalam diri Rian itu pasti ada sisi baiknya. Gimana enggak coba, kalo dia tiap hari sms, udah makan belom? Lagi ngapain? Lagi dimana? Ama siapa? Call me miss jablay, karena emang aku baru pertama kali mendapat perhatian sedalem itu dari seorang cowok.

“jadi gimana? Kamu udah ditembak?” tanya Stefie, temenku yang tiap hari jadi tempat curhatku soal Rian, hampir 70% jawaban SMS-ku adalah jawaban-jawaban yang disarankan olehnya, aku amat butuh bantuan Stefie karena dia jauh lebih berpengalaman membalas SMS cowok-cowok cakep, semacem Rian-lah...

“belom tuh, belom juga. Nggatau juga nih, kapan ditembaknya. Keburu naksir orang lagi nih akunya” jawabku dengan nada nggak semangat,

Stefie kemudian memberiku beberapa wejangan tentang masalahku ini. Dan sampailah kita pada satu kesepakatan yang menyebutkan jika aku lebih baik memancing Rian untuk secepatnya nembak aku.


Aku bingung bagaimana caranya, tapi aku mencoba.

Malem itu waktu aku pulang dari jalan bareng Rian, aku mancing-mancing dia, mancing supaya dia nembak aku, maksudnya. Tapi, Rian sama sekali nggak memberi respon. Kemudian otakku mulai panas, dan aku mulai berfikiran yang tidak-tidak.

“yaudah, kalau emang semua ini nggak ada ujungnya, mending kita nggak usah berhubungan lagi deh.” Ucapku ketus, kakiku udah mau masuk aja ke dalam rumah, tapi kaki kadang memang nggak bisa sejalan dengan tangan, bukan karena kaki dan tangan memiliki fungsi yang berbeda (kaki buat jalan, tangan buat makan), tapi lebih karena, tanganku ditahan ama Rian,

“oke-oke, kamu mau nggak jadi pacarku?”

Tenggorokanku tercekat, mataku melotot, untungnya mulutku nggak mangap, nggak bisa dibayangin betapa Rian akan ilfeel setelah melihatku mangap dan melotot di waktu yang sama saat dia bisa dapetin pacar baru. Perpaduan yang nggak romantis. Mangap, melotot, mangap, mel... jangan diteruskan!


Singkat cerita, kami jadian.

Rian cowok yang sangat baik, dia selalu nemenin aku kemanapun aku mau. Dia pasti banyak belajar buat jadi pacar yang baik dengan 10 mantannya terdahulu. Baiklah, nggak usah bahas mantannya, aku lagi marah karena dia nggak bales sms ku tapi aku jelas-jelas melihat Rian di facebook lagi saling komen ama mantannya, Tiara. Poor me... hiks.

“KAMU NGGAK BALES SMSKU TAPI BALESIN KOMEN SI TIARA! APA MAKSUDNYA!” kuketik SMS-ku buat Rian dan kukirim ke nomernya,

“maaf yang, aku lagi kangen ama dia.” Jawabnya polos,

“jadi? Kamu masih ada perasaan ama Tiara?!” tanyaku emosi,

“iya? Kenapa?”

Aku melotot untuk kesekian kalinya, setelah membaca SMS Rian. Apa maksudnya?

“kalo kamu masih sayang, kenapa putus?”

Aku diem. Deg deg an menunggu balesan Rian.

Rian membalas, ternyata dia masih sayang sama Tiara, dan alasan kenapa dia putus, waktu itu karena Tiara sedang ingin konsen buat UNAS-nya (Tiara masih SMA). Aku merasa dikalahkan oleh anak SMA, sakit!


Kemudian aku memberi pilihan yang mungkin nantinya akan membuatku sakit jika tau jawaban Rian adalah Tiara. Kamu pilih sekarang, aku apa Tiara? Kalo kamu masih mau sama Tiara, oke fine, kita sampai disini aja. I’m OK. Kukirim dan kuterima jawabannya. Ternyata, jawaban Rian adalah... Tiara. Sakit? IYA!

Setelah kuselidiki dari beberapa teman Rian yang kukenal, ternyata Rian mendekatiku memang sebagai pelampiasan stresnya karena diputus Tiara.

Teringat semua kebodohanku menganggap semua yang dilakukan Rian is mejik. Rasanya aku ingin kembali ke masa itu kemudian membenarkan letak otakku yang pasti miring karena semua gombalan Rian. Ternyata itu semua hanya strategi Rian agar hatinya tidak sakit setelah diputus Tiara. Dan kemudian mengorbankanku supaya merasakan sakitnya diputus orang.

Kejam. Ternyata semua kebaikan yang dulu kelihatannya seperti ditujukan padaku, semua palsu. Semua adalah jebakan cintanya, supaya hatinya selamat dari luka patah hati.

Hari ini, aku melihat Rian boncengan dengan Tiara, berhenti di lampu merah deket kampus. Hatiku panas, tapi langsung dingin setelah melihat Rian dan Tiara basah kuyup bajunya, terkena cipatran genangan air bekas hujan yang sengaja aku lewati supaya mengenainya. Tapi sepertinya itu sangat kurang dibandingkan rasa sakit hatiku ini. Tunggu pembalasanku berikutnya!

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!