Oleh: @mazmocool
“Mbak Susi, aku minta bedaknya ya. Bedakku habis nih," kata Sinta kepada seorang perempuan hampir paruh baya yang tengah duduk di sebelahnya. Perempuan paruh baya itu tidak menoleh dan hanya mengangguk sambil membetulkan tatanan rambutnya. Tanpa menunggu kata ijin dari yang punya, Sinta segera memoleskan bedak itu tipis di wajahnya. Sinta yakin perempuan itu pasti mengijinkannya, seperti yang sudah-sudah.
"Terima kasih mbak Susi. Saya pergi dulu ya," kata Sinta dengan riang sambil menggamit tas warna merah muda.
"Iya Sinta. Kamu hati-hati ya," jawab Susi dengan nada halus. Susi melepas kepergian Sinta dengan tatapan penuh kasih sayang.
Sinta segera melangkah gontai meninggalkan Susi sendirian di kamar itu. Entah mengapa Sinta selalu merasa damai dengan kata-kata yang diucapkan Susi dan merasa sangat nyaman bila di dekatnya. Bukan hari ini saja, tetapi setiap saat dia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susi. Bagi Sinta, Susi adalah seorang kakak yang sangat baik.
Rutinitas mama Sinta yang seorang Manajer Keuangan di sebuah perusahaan bonafid membuat hubungan dengan anaknya, Sinta, menjadi kurang dekat. Selama kesendiriannya, Sinta lebih banyak menghabiskan waktu bersama Susi. Banyak cerita terangkai dari mulut polos gadis usia belasan itu. Susi terlarut dalam setiap untaian cerita itu.
Seperti halnya malam itu, Sinta dengan mata berkaca-kaca bercerita tentang keinginannya untuk bertemu dengan papanya. Selama hampir sepuluh tahun, Sinta tak pernah sekalipun bertemu dengan papanya. Setiap pertanyaan kepada mamanya tentang papanya selalu dijawab dengan meninggalkan rasa puas di hati Sinta. Semua jawaban mamanya mengambang.
Susi mendengarkan cerita Sinta ikut larut dalam kesedihan. Malam seakan ikut merasakan kesedihan mereka berdua.
"Mbak, kenapa mbak menangis?" tanya Sinta kepada Susi yang tengah mengusap air mata yang mengalir di sudut matanya yang tampak lelah.
"Ah tidak apa-apa Sinta," jawab Susi singkat.
Sinta membantu mengusap air mayta Susi dengan selembar tisu. Bedak tebal itupun luntur menyisakan bekas air mata.
"Mbak hanya teringat dengan putri mbak. Kalau dia masih ada mungkin dia secantik dan sudah sebesar kamu," kata Susi lirih.
"Kenapa mbak Susi tidak pernah cerita ke Sinta?" tanya Sinta penasaran.
"Ceritanya panjang Sinta. Besok saja mbak ceritakan ya. Sekarang mbak harus berangkat kerja," kata Susi sambil mengambil tas kecilnya yang tergeletak diatas meja rias.
"Kamu tidur disini saja ya," kata Susi lagi.
"Iya mbak," jawab Sinta singkat sambil tangannya asyik mengirim sebuah pesan singkat ke mamanya. Kebetulan mamanya malam itu tengah dinas di luar kota.
Hampir jam sebelas malam, tetapi Sinta masih juga belum bisa memejamkan mata. Sinta segera menyalakan televisi yang ada di kamar itu. Sinta akhirnya menyaksikan layar kaca yang kebetulan menyiarkan acara drama seri kesukaannya. Tanpa terasa drama seri itu berakhir, tetapi Sinta belum juga bisa tidur. Matanya memandang sekeliling kamar itu. Sepertinya ada sesuatu yang tengah dicarinya. Sebuah buku. Ya. Hanya sebuah buku yang bisa membuatnya tertidur.
Sinta beranjak dari tempat tidur dan mulai mencari-cari sebuah buku yang bisa dibaca. Sinta membuka lemari usang yang kebetulan sedikit terbuka. Sinta segera menarik gagangnya perlahan dan dilihatnya tumpukan novel di dalamnya. Dibongkarnya tumpukan novel lama itu, dan secara kebetulan matanya tertuju pada sebuah buku usang yang berjudul Romeo dan Juliet.
Perlahan Sinta membuka dan membaca halaman demi halaman yang ada. Sampai akhirnya, Sinta sampai pada halaman dua puluh tujuh. Halaman itu tampak berbeda dengan halaman lainnya. Ternyata diantara halaman itu kebetulan terselip sebuah foto.
Sinta mengambil foto itu. Dalam hati dia bertanya-tanya foto siapakah gerangan. Foto sepasang kekasih tengah tertawa bersama dengan ceria di sebuah taman.
"Mereka ini siapa ya? Mungkinkah mereka ini Romeo dan Juliet?" tanya Sinta dalam hati.
Sinta semakin penasaran dengan foto itu. Semakin lekat Sinta memperhatikan foto itu, Sinta semakin merasa kalau dia mengenali sosok perempuan dalam foto itu.
"Ya. Tak salah lagi. Ini adalah foto mama waktu masih muda," teriak Sinta dalam hati.
Sinta semakin yakin bahwa itu adalah foto mamanya. Sinta bertanya-tanya dalam hati kenapa foto itu bisa berada di dalam novel itu.
"Apakah yang laki-laki ini adalah papaku?" tanya Sinta setengah berharap dalam hati. Sinta berharap semoga harapannya itu tidak salah.
Pagi menjelang, saat Sinta membuka matanya. Tanpa mengucapkan pamit kepada Susi, yang kebetulan masih tidur, Sinta melangkah keluar. Tujuannya hanya satu mencari mamanya.
Mama Sinta baru saja sampai di depan pintu rumah, saat Sinta menyongsongnya dengan langkah tergesa.
"Mama baru pulang?" tanya Sinta.
"Iya. Kamu darimana pagi-pagi begini?" tanya mamanya.
"Dari rumah mbak Susi. Semalam Sinta menginap disana," jawab Sinta sambil membuka pintu rumah.
"Kenapa sih kamu ini tidak pernah mau mendengarkan kata mama? Mama kan sudah melarang kamu untuk dekat-dekat dengan mbak Susi," kata mama Sinta dengan nada tinggi.
Mereka segera masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Mereka terdiam dalam pikiran masing-masing.
"Memangnya kenapa Ma? Apa karena mbak Susi seorang penyanyi kafe?" tanya Sinta mencoba meminta penjelasan pada mamanya.
"Bukan karena itu Sinta. Ah sudahlah kamu takkan pernah mengerti," kata mama Sinta.
Mereka berdua membisu sejenak di ruangan besar itu. Mama Sinta nampak gelisah, sedangkan Sinta masih saja dilanda rasa penasaran.
"Oya Ma. Tadi malam kebetulan Sinta menemukan foto yang diselipkan di sebuah novel di rumah mbak Susi," kata Sinta.
"Terus apa masalahnya?" tanya mama Sinta sambil meluruskan kakinya.
"Sepertinya ini adalah foto mama waktu masih muda bersama seorang pria," kata Sinta sambil menyerahkan foto itu kepada mamanya.
"Apakah benar itu mama dan apakah pria itu papaku Ma? Terus kenapa foto itu bisa kebetulan berada di rumah mbak Susi?" tanya Sinta lagi.
Mama Sinta menghela napas panjang. Keraguan sepertinya menghampirinya. Tanpa disadari air matanya yang bening membasahi pipinya.
"Sinta, sepertinya mama merasa kalau sekarang adalah saatnya kamu tahu segalanya," kata mama Sinta sambil meraih Sinta ke dalam pelukkannya.
Sinta larut dalam kesedihan menyaksikan air mata mamanya. Dia hanya diam dalam pelukan hangat mamanya. Pelukan terhangat dari pelulan-pelukan mamanya sebelumnya. Air mata Sinta ikut meleleh bersama hangatnya sinar matahari pagi yang menerobos tirai jendela rumahnya.
"Sinta, foto itu benar foto mama dan papamu waktu masih muda. Sebenarnya foto itu bukannya kebetulan berada di rumah mbak Susi, tetapi memang mbak Susi sengaja menyimpannya. Kamu saja yang kebetulan menemukannya," kata mama Sinta sambil terisak.
"Tapi kenapa mbak Susi menyimpannya? Apa hubungannya dengan mbak Susi?" tanya Sinta bertubi-tubi.
Mama Sinta kembali menghela napas panjang. Tenggorokannya seakan tercekat tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Mama Sinta berusaha mengumpulkan segenap kekuatan hatinya dan berjata,"Jelas sangat berhubungan erat, karena asal kamu tahu kalau sebenarnya mbak Susi yang sudah kamu anggap sebagai kakakmu itu adalah papamu."
Mama Sinta tak kuasa menahan tangisnya. Tangisnya pecah bersamaan dengan keluarnya sebuah pengakuan yang sangat berat untuk diucapkannya.
"A a apa? Jadi mbak Susi itu adalah papaku?" kata Sinta yang tidak dapat menyembunyikan kekagetannya.
Tangisan mama Sinta semakin menjadi. Dia memeluk tubuh Sinta yang bergoncang hebat denga erat. Meskipun Sinta masih belum bisa menerima kenyataan ini, tapi Sinta berusaha tegar menghadapi kenyataan yang bagaikan petir di siang bolong. Dia masih tidak habis pikir bagaimana mungkin dia bisa memiliki mama dan papa yang kebetulan dua-duanya adalah perempuan, setidaknya pada saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!