Oleh: @amalia_achmad
Dari dulu aku benci taksi. Benci dengan segenap hati. Benci sampai nanti aku setengah mati. Baiklah, mungkin tidak seluruh hidup yang sudah aku lewati ini dipersembahkan untuk membenci taksi. Ada masa- masa dimana aku mungkin adalah anak laki- laki paling bahagia setiap kali duduk di bangku penumpang, bersama Ayah dan Ibuku menuju ke sekolah. Aku masih ingat bagaimana bahagianya berada di dalam taksi yang ber- pendingin udara, mencium dalam- dalam bau pengharum mobil yang selalu kuanggap istimewa. Aku masih ingat langit pagi yang kupandangi tanpa jemu lewat jendela taksi. Aku masih ingat Ibuku membenarkan letak rambutku yang jatuh menutupi wajah tanpa kusadari karena terlalu tenggelam memandangi langit itu. Aku ingat Ayahku menoleh, tersenyum kepada Ibuku yang tengah sibuk membenahi rambutku.
Sampai kira- kira umurku lima atau enam tahun.
“Anak supir… anak supir… “
Ejekan yang membuatku meminta Ayah untuk berhenti mengantarku ke sekolah. Ejekan yang memang benar. Aku si anak supir taksi. Tak ada lagi berkendara dengan taksi berwarna biru bersama Ayah dan Ibuku. Tak ada lagi sejak saat itu.
Bertahun kemudian, jelang hari kelulusanku dari SMA, Ayahku baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai supir taksi. Tak ada lagi taksi berwarna biru terparkir di tepi jalan depan rumah. Tak ada lagi aku si anak supir taksi, yang ada aku si anak pensiunan supir taksi.
“Kamu tidak bisa melanjutkan sekolahmu, Nak” ucap Ibu tanpa berani menantang tatapan mataku, dia melanjutkan kata- katanya “… kamu harus bekerja”
“Kerja apa, Bu? Siapa yang mau nerima lulusan SMA?” setengah merengek aku bertanya.
“Kamu bisa kerja jadi… supir taksi” ayahku menjawab, dingin, seperti hubungan kami selama bertahun- tahun terakhir.
Sekarang, aku duduk di dalam taksi ber- pendingin udara dengan bau pengharum mobil yang selalu membuatku mual. Istriku duduk di bangku penumpang belakang dengan anak laki- lakiku yang sudah siap dengan kotak makannya di pangkuan.
“Ayah, kemarin ada temenku yang panggil aku ‘anak supir, anak supir’ gitu, Yah… “
Deg! Jantungku seperti berhenti memompa aliran darah sepersekian detik. Aku menatap wajah anak laki- lakiku yang polos lewat kaca spion. Apakah dia akan memintaku berhenti mengantarnya ke sekolah seperti bertahun- tahun lalu pernah kupinta pada ayahku? Kata orang, every dharma has a karma, inikah karma atas perbuatanku yang jahat dulu? Kukira sebuah nasib sebagai supir taksi sudah cukup, haruskah kini anak laki- lakiku sendiri berbalik menjauhiku seperti aku dulu melakukannya pada Ayahku?
“Aku jawab aja ‘biarin, Ayahku itu berjasa tauu…’. Terus temen- temenku yang lain pengen tau Ayah itu berjasanya gimana… Ya udah, aku jelasin aja ‘Ayahku itu nganter orang- orang pulang ke rumah. Ayahku itu penting, ditungguin orang- orang yang lagi pengen pulang ke rumah. Eh, bukan cuma pulang ke rumah aja sih, Ayahku itu pernah nganter ibu- ibu hamil yang mau ngelahirin ke Rumah Sakit, terus pernah Ayahku itu nganter kakek- kakek pikun yang ngga inget jalan pulang, pokoknya pekerjaan Ayahku itu keren, berjasa banget!’ Terus sekarang temen- temenku tambah seneng main sama aku karena Ayahku hebat! Gitu, Yah… “ celotehnya panjang. Aku tak bisa menahan diri, aku terisak- isak hebat. Taksi yang sedang kukemudikan terpaksa berhenti di pinggir jalan.
“Ayah… Kok, Ayah nangis? Aku salah, ya?” tanya anak laki- lakiku pelan.
“Ayah nangis karena seneng punya anak yang pinter seperti kamu, Sayang” timpal Istriku.
“Ohh… kalo seneng itu bisa sampe nangis gitu ya, Bu?”
Celoteh panjangnya tak berhenti sampai taksi berhenti di depan gerbang Taman Kanak- Kanak. Anak laki- lakiku yang kubanggakan itu turun bersama Ibunya dari taksi yang kukendarai. Teman- temannya menyambut riang. Lalu, di ujung nada tunggu sebuah suara berat menjawab panggilan teleponku,
“Hallo?”
“Ayah, aku minta maaf…”
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Keren banget deh..:)
BalasHapus@mazmocool
pesannya bagus :) aku sukaaaaa...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskritiknya dooong @mazmocool dan myturtlylife, kritik kalian bener2 membantu
BalasHapus:)
comment2 kamu juga membantu lhooo... hmm kritik apa ya? ceritanya udah bagus koq, paling ada kurang teliti di tanda baca, huruf besar, sama paragraphing... remeh lah, apalagi kalo inget deadline-nya :D (karyaku malam itu lebih banyak lg errornya)
BalasHapusyg aku suka adalah ini bukan karma seperti judulnya, tapi lebih ke arah second chance :) begitulahhh...