Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 26 Maret 2011

Dia, Cahayaku

Oleh: Olga Leodirista
Email: imoet_d1@yahooo.com
ID twitter: @olga_imoet
Blog: htttp://olgaimoet.blogspot.com


Aku sudah terbiasa dengan segala macam kegelapan di dunia ini. Birunya langit, terangnya sinar mentari, beranekanya warna bunga. Bagiku semua terasa sekelam langit malam. Hanya suara-suara yang terdengar di telingakulah yang selalu menjadi penghubungku dengan dunia luar. Diluar kegelapan yang selalu melingkupiku.
Ada seseorang yang pernah berkata padaku, bahwa dalam gelap, pastilah ada petunjuk yang akan membimbingmu menuju dunia cahaya. Dan aku tidak pernah mengerti apa maksud kata-katanya itu. Tidak saat itu, maupun saat ini. Seandainya aku tidak bertemu dengan DIA.
“Kamu tau, mawar itu nggak cuma berwarna merah loh..” katanya padaku. Ingin mengenalkanku pada keindahan bunga mawar yang selama ini hanya bisa aku ciumi saja wanginya.
“Bulan itu punya bermacam-macam bentuk. Tapi aku paling suka saat bulan berbentuk bulat penuh. Purnama. Full moon,” jelasnya lagi di lain kesempatan. Romantis, katanya, bulan purnama itu. Karna sinarnya paling terang diantara malam-malam yang lain. Membantu kita agar kita tidak tersesat di saat tidak ada cahaya apapun.
“Musim gugur, itulah saat dimana pepohonan yang tadinya memiliki daun berwarna hijau, lalu mulai menguning dan jatuh satu-persatu..” Satu dari empat musim yang paling disukainya.
“Dan langit, tidak selalu berwarna biru cerah. Ada kalanya langit menjadi gelap. Kelam. Kelabu. Tanda bahwa semesta ingin menangis…” katanya mencoba menghiburku saat kesedihan melandaku. Bahwa rasa sedih itu wajar adanya. Bukan Cuma aku yang bisa merasakan kesedihan. Bahkan semesta raya yang begitu agung pun, terkadang bisa menangis.
Tak terhitung banyaknya cerita yang dia sampaikan padaku. Dia menjadi cahaya bagiku di antara semua hari gelapku. Dan dia menjadi mataku. Untuk menikmati semua keindahan yang ditawarkan dunia. Dalam arti yang sesungguhnya.
“Ilonka.. operasi kamu sukses. Sekarang, coba dibuka matamu perlahan yaa..” suara yang sudah akrab di telingaku selama 1 bulan ini memerintahku untuk membuka mata. Aku menurutinya tanpa ragu. Silau. Perih. Itu yang aku rasakan, saat aku membuka mataku pertama kalinya, setelah suaranya yang selalu mendongengkan tentang keindahan dunia itu tidak pernah terdengar lagi di telingaku. Menghilang dengan tiba-tiba.
Hampa. Rasa yang lebih mendominasi perasaanku. Meskipun berjuta warna yang selama ini hanya pernah aku ketahui dari cerita, sudah bisa aku saksikan sendiri. Dengan mata ini. Mata pemberiannya. Mata seorang donor yang selama 3 tahun ini selalu ada disampingku. Yang selalu bercerita tentang semua hal yang pernah disaksikannya melalui sepasang mata, yang saat ini mulai mengeluarkan cairan bening yang terasa agak asin di pipiku. Dia. Yang pergi dengan seuntai pesan untukku.
“Nikmatilah hari-harimu. Lihatlah semua hal yang selalu ingin kamu lihat selama ini. Dan juga, gantikan aku menyaksikan kebahagiaanmu mulai saat ini. Mata ini, akan mengggantikanku menjagamu. Akan memberikan sinar yang menuntunmu di dalam kegelapan. Cahaya itu selalu ada.. Untukmu…” pesannya untukku.
Dia. Cahayaku. Cintaku. Yang telah pergi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!