Oleh @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Jejak tapak sepatu tergambar jelas di padang ilalang. Ilalang merunduk seperti memberi ruang bagi jejak sepatu itu untuk terus menjelajahinya. Semakin lama jejak sepatu itu kian tegas menapak dalam jarak yang lebih berdekatan. Angin yang menggoyangkan ujung-ujung daunnya seakan tak peduli dengan jejak itu. Ilalang terus bergoyang dalam dendang angin yang datang lalu berhembus menghilang.
Jejak sepatu berukuran kecil itu terus meliuk diantara rerimbunan ilalang. Ciptakan lukisan berliku layaknya sebuah perjalanan hidup manusia. Jejak sepatu itu terhenti sejenak saat dirasakannya ada yang menarik rok birunya. Gadis kecil usia belasan itu spontan menengok ke belakang. Ternyata rok lusuhnya tersangkut onak pohon mawar liar. Gadis kecil itu adalah Rina, seorang anak SMP yang tinggal di sebuah bukit tandus di ujung padang ilalang. Rina segera melepaskan roknya dari duri mawar liar itu.
"Ugh, perih," teriak Rina menahan sakit.
Rina berhenti sejenak dan termangu dalam ragu. Tubuhnya yang dibalut baju putih yang sudah memudar kelihatan sangat rapuh. Di bawah sengatan teriknya matahari, pandangannya mengarah lurus ke depan, dan dilihatnya sungai jernih berkelok-kelok di ujung padang ilalang. Rina segera menetapkan hatinya untuk sebuah tujuan.
"Ah kayaknya tinggal satu kilometer lagi aku akan sampai kesana," kata Rina dalam hati sambil mengumpulkan kekuatan fisiknya.
Rina terus berlari kecil menerabas setiap ilalang yang menghadang. Keringat yang membanjir di wajahnya, membuat wajahnya semakin terlihat dewasa dibanding usia sebenarnya. Wajah yang ternoda karena kerasnya kehidupan yang menempanya. Tak lama kemudian, sampailah Rina di tempat tujuannya.
Sesampainya disana, lutut Rina terasa kaku dan jantungnya berdegup lebih kencang. Rina mengusap butiran keringat yang membanjir di wajahnya dengan tangan kurusnya. Butiran keringat itu sudah bercampur dengan butiran air mata. Air mata yang mengalir karena kenyataan pahit yang menghadang di depannya.
"Ternyata ini bukan aliran air sebuah sungai," kata Rina berurai air mata penuh nada kecewa.
Rina terduduk lemas bersandar pada pokok pohon yang tumbuh di tepi jalan raya itu. Jalan raya yang setiap hari dia lalui saat berangkat ke sekolah.
"Kenapa aku bisa lupa kalau ini adalah jalan raya?" tanya Rina dalam hati penuh penyesalan.
Sebenarnya bukan tanpa alasan kalau Rina sampai tergoda fatamorgana di siang terik itu. Situasi yang menghimpitnya dan suasana hatinya yang sedang kacau membuat Rina tak bisa berpikir jernih. Rina termangu sambil sesekali membetulkan tali sepatunya yang sebagian sudah berlubang.
"Sekarang kemana aku harus mencari air?" tanya Rina dalam isak.
Kedewasaan karena kehidupan membuat Rina bisa cepat mengambil tindakan. Dengan sigap Rina segera bangkit dari duduknya. Dengan penuh semangat Rina segera
melangkah ke warung kecil yang ada di seberang jalan raya itu. Kekecewaan kembali hinggap di hati Rina saat dijumpainya ternyata warung itu tutup. Rina terduduk lemas di kursi panjang depan warung itu. Matanya tajam menatap sekelilingnya, namun tak sepertinya tak ada kehidupan di sekelilingnya.
"Nggak biasanya sepi seperti ini," batin Rina dalam hati.
Rina termenung sendiri dalam lamunan kecemasan. Tanpa disadarinya ada sesosok perempuan yang berjalan mendekat ke arahnya.
"Eh nak Rina, ada apa?" tanya perempuan itu tiba-tiba.
Seketika suara itu membuyarkan lamunan kecemasan Rina. Rina menegakkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk lesu.
"Eh eh ini bu, saya mau beli susu kotak," kata Rina kepada bu Salmah pemilik warung itu.
"Oya bu, kok warungnya nutup? Memangnya ibu sudah pergi kemana?" tanya Rina.
"Oh barusan ibu pergi ke desa mengambil air untuk dimasak. Soalnya biasanya sore hari sopir truk banyak mampir di sini untuk ngopi sekaligus melepas lelah. Maklum disini kan jalur kendaraan dari pelabuhan menuju ke kota," kata bu Salmah panjang lebar sambil meletakkan dua ember berukuran sedang berisi air.
Rina hanya mengangguk ringan, karena tanpa dijelaskan sedikitpun dia cukup cerdas untuk mengetahui hal itu. Warung bu Salmah itu adalah satu-satunya warung yang ada di sepanjang jalan raya itu. Meskipun kecil, tetapi warung itu menjual kebutuhan sehari-hari yang lengkap.
Rina membantu mengangkat ember berisi air itu dan membawanya masuk ke warung yang sudah dibuka oleh bu Salmah. Rina kembali mengutarakan maksud kedatangannya.
"Waduh maaf nak Rina, ibu nggak jual susu kotak," kata bu Salmah.
"Ya sudah bu, nggak apa-apa, saya beli air mineral saja kalau begitu," jawab Rina.
Bu Salmah segera menyodorkan satu botol air mineral berukuran sedang. Rina menerimanya, sementara tangan tangan kirinya sibuk mencari uang di kantongnya.
"Astaga!" kata Rina setengah berteriak penuh kekagetan.
"Kenapa nak Rina?" tanya bu Salmah.
"Maaf bu, saya lupa membawa uang," kata Rina dengan santun.
"Nggak apa-apa nak Rina. Nak Rina bisa bayar besok kok. Kan biasanya nak Rina tetap kesini menunggu mobil tumpangan untuk ke sekolah," kata bu Salmah dengan sabar karena dia paham betul dengan kondisi keluarga Rina.
"Terima kasih bu. Saya janji besok akan saya bayar," kata Rina sambil berpamitan kepada bu Salmah.
Setelah tujuannya tercapai, tanpa berpikir panjang Rina segera melangkah cepat kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan Rina masih berpikir kenapa dia sampai lupa membawa uangnya.
"Kok aku bisa lupa ya? Padahal perasaan tadi uang hadiah dari bu Siti setelah aku mengerjakan soal dengan benar langsung aku masukkan kantong? Atau mungkin aku lupa menaruhnya ya?" tanya Rina dalam hati. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya selama perjalanan pulang menuju rumahnya.
Setengah berlari Rina kembali melukis ilalang itu menjadi tapak-tapak sepatu kecil. Belum setengah perjalanan Rina tampak kehausan.
"Kayaknya nggak apa-apa deh kalau aku minum air ini sedikit saja," kata Rima dalam hati.
Rina segera membuka segel air mineral dalam botol itu dan segera mencecapnya sedikit. Air itu terasa segar di tenggorokan Rina. Belum sempat Rina menutup kembali botol itu, tiba-tiba botol itu terlepas dari tangan kecil Rina. Perlahan isinya tertumpah di tanah kering itu. Dengan cekatan Rina segera berusaha menyelamatkan air yang tersisa. Segera ditutupnya botol itu rapat-rapat dan Rina segera melanjutkan langkahnya. Rina tak mempedulikan jalan yang dilalui. Goncangan air dalam botol menjadi melodi pengiring langkah kakinya yang setengah berlari. Tujuannya hanya satu, yaitu cepat-cepat sampai di rumah.
Tak sampai satu jam, sampailah Rina di tepi sebuah sungai kecil yang kering kerontang. Kemarau yang panjang membuat air seperti enggan mengaliri sungai itu. Rina segera meniti jembatan bambu yang melintang diatas sungai itu dengan hati-hati.
"Akhirnya sampai juga di seberang," kata Rina dalam hati.
Senyum terulas di bibir Rina saat dilihatnya sebuah rumah beratap ilalang diatas bukit diantara deretan rumah lainnya. Rumah yang sepertinya lebih pantas disebut gubuk itu adalah rumah tempat tinggal Rina dan keluarganya.
Rina melanjutkan langkahnya dan sampailah dia di sebuah tempat penampungan air bersih di sisi kanan tikungan. Tempat penampungan yang menjadi satu-satunya tempat bagi masyarakt desa di lereng bukit itu untuk mendapatkan air bersih. Tempat penampungan yang dibangun oleh pemerintah beberapa tahun lalu itu kini tampak kering dan terbengkalai. Tak ada setetes airpun disana. Bahkan beberapa krannya patah dan pipa saluran juga sudah banyak yang pecah.
"Ah seandainya saja aliran air lancar, pasti kondisinya tidak seperti ini," kata Rina lirih dengan nada miris.
"Coba pemerintah kembali mau membangun prasarana itu, pasti masyarakat nggak perlu capek-capek lagi ke desa di bawah untuk mendapatkan air bersih," bisik Rina dalam hati.
Semuanya sudah berlalu dan sampai sekarang sepertinya belum ada tanda-tanda dari pemerintah hendak memperbaikinya. Rina tak mau lama-lama termangu di tempat itu. Dia segera berbelok ke kiri di tikungan itu.
Tak lama kemudian, sampailah Rina di sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa kepala keluarga. Suasana kampung itu tampak sepi, karena rata-rata masyarakatnya tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sekitar seratus langkah dari penampungan itu, tampak sebuah sebuah rumah sangat sederhana yang terbuka pintunya. Rina segera merangsek masuk ke dalam ketika didengarnya suara tangis seorang anak kecil.
"Ada apa dengan Dina? Kenapa dia menangis?" tanya Rina penuh penasaran.
Begitu sampai di dalam rumah, Rina mendapati adiknya yang tengah dipangku seorang perempuan. Kondisi yang sama seperti tadi, saat Rina meninggalkan mereka pergi belanja. Rina segera mendekat untuk menghampiri mereka. Rina melihat mata perempuan itu berkaca-kaca. Jelas tergambar kesedihan yang mendalam. Seorang perempuan yang berusaha tetap tegar menjalani kehidupan.
"Gimana keadaan Dina Bi?" tanya Rina kepada perempuan itu.
"Ya beginilah Rin, dari tadi tetap seperti ini. Bibi tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya memangkunya," kata bibi Fatimah, adik ibunya yang mengurus mereka berdua sejak kematian orang tua mereka dalam sebuah kecelakaan.
Rina tak bisa berkata apa-apa saat tangannya membelai lembut kepala adiknya yang tergolek lemah di pangkuan bibinya yang selalu berusaha tegar dalam
kesendiriannya itu. Didengarnya suara lemah keluar dari mulut anak berusia sekitar empat tahun itu.
"A a a i i r," katanya lirih dan terbata-bata.
"A a a i i r," katanya lagi lirih dan berulang-ulang.
Perlahan air mata Rina menetes haru menatap adiknya yang kurus kering dengan perut membuncit itu tengah kehausan. Mata adiknya menatap kosong, bibirnya tampak kering dan pecah-pecah. Rina segera membuka botol air mineral yang isinya tinggal seperempatnya itu. Dengan penuh kasih dia segera membantu adiknya untuk minum air mineral itu sampai habis. Setetes demi setetes air itu membasahi tenggorokan balita penderita gizi buruk itu. Rina hanya bisa berdoa semoga setetes air itu bisa membawa adiknya ke kehidupan yang lebih baik esok hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!