Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 06 Maret 2011

Kisah Delapan Tahun Silam

oleh @abi_ardianda‏

Delapan tahun silam ...
 
"Bocah lancang! Kau mencuri donat saat aku tak dirumah, kan? Jangan-jangan kau juga yang menghabisi kotak tehku!"
 
"Ti... tidak, aku bahkan tak punya kunci kamarmu, nenek."
 
Mama datang menengahi pertikaian kami. Dengan lembut, ia memberiku beberapa lembar Dirham untuk kemudian kubelikan donat dan sekotak teh yang baru. Ia juga menyuruh salah seoarng gadis remaja yang tengah mematung di daun pintu untuk menemaniku ke kota.
 
"Ayo, kutemani kau berbelanja." Kata gadis remaja itu. "Kau tampak cantik dengan warna merah," aku tertegun, sebab dari pantulan cermin aku melihat warna biru yang membalut jaketku.
 
Kemudian kami turun ke bawah dan menyebrang jalan.
 
***
 
Delapan tahun sudah aku dan mama mengunjungi makam di sebelah pasar malam. Setiap sore, ketika banyak orang tengah mempersiapkan beberapa wahana.
 
Sayang, kini mama telah tiada.
 
Banyak hal yang kurindukan darinya. Hangat tangannya ketika menuntunku, juga senyumannya yang diterpa sinar jingga milik senja. Sepanjang perjalanan ia kerap menceritakan banyak hal. Mengenai wanita tua serakah yang tinggal di sebelah kamar kami, sampai gadis remaja yang buta warna di lantai bawah. Kami tinggal di rumah susun. Dari setiap petak ruangannya berhembus kisah yang tak akan ingin kau dengar.
 
Biasanya, sepulang kami dari makam mama membawaku ke pasar malam. Ia menemaniku bermain komidi putar. Membelikanku arumanis. Aku melihat banyak pasang mata menatap ke arah kami, juga gadis kecil yang mendelik iri. Karena kebanyakan orang tua mereka tak mengizinkan mereka melumat arumanis, katanya gulungan kapas itu akan merusak gigi.
 
Sayang, kini mama telah tiada.
 
Maka kutelusuri jalanan menuju makam sendiri. Jingga milik senja rasanya tidak indah lagi. Entah mengapa aku membenci setiap orang yang kutemui di jalan. Mereka mencuri senyum dan tawaku. Lalu mereka memamerkannya padaku. Tak'kan ada lagi koin untuk komidi putar. Tak ada lagi arumanis.  
 
Aku menghampiri antrian. Berharap dapat beberapa koin untuk komidi putar. Tapi orang-orang di belakang menyorobot. Aku seperti kotoran di sebelah mata yang biasa diambil lalu dibersihkan. Kini kucoba menghampiri penjual arumanis, tapi permintaanku tak jua dihiraukannya. Aku menyerah.  
 
Aku meninggalkan hiruk pikuk pasar menuju makam. Kulihat seseorang memunggungiku di sana. Menaruh setangkai kamboja dan berbalik.
 
Mama.
 
Rupanya ia bukan tiada, melainkan hanya terlambat. Tepat ketika aku mendekat, ia berjalan pergi meninggalkanku sendiri.
 
"Hei! Lampunya masih hijau!" Teriakanku pada gadis remaja delapan tahun silam kembali menggema di telinga saat kutatap sebuah nisan bertulisan nama yang selalu kudengar sepanjang hidupku.
 
Aku menutup telinga. Berbalik dan menyaksikan mama menaiki komidi putar, sambil menggenggam segulung arumanis. Namun malam ini, aku memilih untuk tidak menghampirinya. Delapan tahun sudah. Kasihan, selama itu Tuhan menanti kedatanganku, aku khawatir Ia lelah.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!