Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 06 Maret 2011

Ramai

Oleh: Ajeng Wismiranti (@a23nk)


“Sepi sepi, sepi sepi, sepi sepi…..”
Senandung wanita cantik tanpa ekspresi. Ya, wanita gila berpakaian kantor rapi, yang selalu bernyanyi ketika melihat keramaian di hadapannya. Apapun itu, entah anak-anak kecil yang sedang bermain, anak muda yang mendendangkan lagu dengan gitar, atau sekumpulan bapak-bapak yang sedang asyik bermain kartu.
“Hush, pergi sana! Jangan berisik!” Seorang bapak yang merasa terganggu konsentrasinya memerhatikan kartu, tiba-tiba mengusir wanita gila itu. Wanita gila itu lalu pergi dengan sedikit manyun.


“Kalian jahat! Aku benci kalian.” Seorang gadis berteriak, lalu sedikit berlari setelah membanting daun pintu. Sambil mengusap air matanya, ia mempercepat larinya. Di jalan sepi ia duduk, di samping tong sampah hijau yang kumuh dan berserakan sampah. Ia menangis, berair mata, tapi ia diam. Menaruh kepalanya di atas lutut belianya.
Beberapa menit berlalu. Sang gadis perlahan menghentikan tangisnya, meski sembab masih mencoreng wajah cantiknya.
“Hai, apa kabarmu cantik?”
Sapa wanita gila yang tak sengaja menemuinya.
Sang gadis mengangkat kepalanya, dan tersenyum heran.
“Mengapa kau tahu namaku?” Tanya sang gadis.
“Aku selalu tahu dan mengerti, Nak, tapi semua orang tidak mengerti aku.” Dengan wajah girang, wanita gila itu menyampaikan perasaannya. Seketika, Hai, gadis itu memeluk si wanita gila dan menangis dengan lepasnya. Wanita gila itu tersenyum senang. Bahagia. Seakan memeluk anak gadisnya yang berusia 5 tahun.
“Ayo nak, ibu usapkan dulu air matamu. Kau juga lapar kan. Ayo ini makan.” Sambil mengeluarkan roti yang ada di kantongnya dan menyuapkannya pada Hai. Hai tersenyum lalu menangis.
“Terima kasih, bu.”
“Hai, anakku, aku tahu nak, kau merindukan ibu. Ibu bahagia sekali, Tuhan mengantarmu dari surga untuk menemui ibu kembali. Untuk ibu suapi, ibu jaga, ibu lindungi. Ibu bahagia karena Tuhan selalu saja menitipkan ibu jiwa-jiwa berharga yang tak pernah ibu miliki sebelumnya. Seperti kakakmu dan ayah yang lebih dulu pergi ke rumah Tuhan dan tak sempat pamit pada ibu, juga kau. Maafkan ibu karena terlalu sibuk bekerja ya. Nak, ayo habiskan makanannya. Sebentar lagi, Tuhan menjemputmu kembali.” Wanita gila itu terus membelai Hai sambil bergegas menyuapkan rotinya ke mulut mungil Hai.
Hai kembali menangis. Ia mengingat ibunya yang terakhir menangis memohon maaf padanya, karena tak punya banyak waktu utuk Hai, meski hanya datang ke sekolah untuk mengambil rapor Hai.
“Ibu tidur ya.” Wanita gila itu bersandar di bahu Hai hingga tertidur.Hai memlukknya dan merasakan keramaian yang telah lama hilang dari hari-harinya, Ia tersenyum dan berair mata. Bahagia karena wanita itu telah membuka mata hatinya. Tak lama pak satpam menghampiri.
“Pak, tolong bawa ibu ini ke rumah sakit jiwa. Pinta Hai.
“Baik dik.” Jawab Pak Hari. Hai lalu berjalan pulang. Sambil berlari mengejar bulan, Hai tak pedulikan hujan lebar menampar pipinya. Di depan rumah ia terhenti, berjalan perlahan, membuka pintu dan menangis ke arah ibunya dan memeluk sang ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!