oleh: Oleh: Ceria Firanthy Sakinah (@ceriafs)
http://meandnotes.tumblr.com/
Sulit untuk berbohong dan mengatakan bahwa aku tidak bosan berada di antara kepulan asap rokok, dan musik yang hingar bingar ini. Sejujurnya aku tidak suka musik dangdut, aku tidak suka Julia Perez, tapi aku harus tetap disini demi uangku. Ah, kadang aku berpikir jahat sekali orang yang pertama menemukan sistem uang untuk jual beli zaman dulu, tapi setelah kupikir lagi aku juga tidak tahu mengapa aku harus berpikir begitu sedangkan uang sendiri adalah hidupku. Setan. Aku ini lulusan sekolah ternama tapi malah terdampar di tempat hina.
Hah, kasihan aku ini.
Berkali kulihat Gucci ditanganku, tertera jarum pendeknya ke angka dua dan aku mulai bertambah risih tak sabar mengapa angkanya tak berubah-ubah. Aku sudah tak nyaman. Bukan, bukan karena sofa ini kurang empuk atau bagaimana, tapi tangan laki-laki berkumis cokelat tebal itu sejak dari tadi tak bisa diam. Kulemparkan bengis di dalam hati, tapi kusuguhkan senyum genit dihadapannya. Mungkin aku munafik, tapi bagaimana? Toh, aku memang berbeda dari mereka.
Ya, sejak lahir aku memang berbeda. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang sangat berbeda. Jika ibu lain bahagia ketika melahirkan anaknya, lain lagi dengannya, ia malah menaruhku di bawah sebuah pohon rindang, di samping sebuah panti asuhan di ujung jalan Jenderal Sudirman. Aku memang berbeda. Entah berapa kali aku dikurung di kamar rahasia karena membuat temanku celaka; jatuh dari tangga, tersedak ketika makan roti mentega atau hal-hal lain yang jika sekarang kupikirkan sudah tak ingat. Nah kan, aku memang berbeda. Ketika umurku delapan, seorang suami istri yang tampak bahagia mengangkatku jadi anak mereka. Aku senang, karena kalau mau tahu sejak dulu aku memang ingin punya sepasang orangtua. Mereka menyekolahkanku hingga SMA, harus kalian tahu aku masuk SMA ternama.
Tapi apa daya, karena aku berbeda, mereka itu—ibu dan ayahku sembari menyekolahkanku, juga, seakan tak mau rugi, mengharuskan aku bekerja. Berkerja sesuai bidang mereka.
Kalau kalian ingin tahu juga, aku ini mempunyai banyak saudara. Gadis-gadis muda dengan keseharian memakai rok mini, kaos you can see dan bergincu merah muda. Ketika berumur lima belas tahun akupun memakai pakaian yang sama, ibu yang menyuruhnya. Aku sangat menyayangi ibu. Ketika aku mulai memakai gincu, ibu selalu bilang padaku jika aku sayang padanya aku harus bekerja—melakukan sesuatu yang ia katakan. Ibu menyuruhku masuk ke sebuah kamar gelap. Awalnya aku takut tapi ternyata aku tidak sendirian disana, ada orang lain juga. Seorang laki-laki tua dengan perut besarnya. Karena aku berbeda, aku menurut saja.
Setelah dewasa aku baru tahu aku ini melakukan apa. Karena tahu aku berbeda, aku teruskan saja toh aku sudah terjerumus juga. Sudah 25 umurku sekarang dan anehnya sekarang aku baru mulai bosan. Seorang pemuda bernama Anda-lah penyebabnya. Pertama ia datang untuk kencan. Kedua dia datang bilang cinta. Ketiga dia datang berceramah tentang hidupku yang tak layak. Keempat dia mulai berani mengajakku keluar dari tempat ini bersamanya. Tiga kali kutolak, namun akhirnya akupun luluh juga. Hari besarpun kurencanakan bersamanya, namun karena aku berbeda, justru aneh jika rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja. Aku berhasil keluar, aku diajak ke rumahnya yang besar, namun aku akhirnya kembali juga ke tempatku semula. Ya, ibu Anda bilang ia tak rela anaknya bersama dengan bekas PSK.
Bekas?
Ha-ha.
Aku toh masih tetap berada dalam jalurku semula.
Aku masih diriku. Aku masih berbeda dari mereka.
Tapi Anda bilang, sudah terlalu jauh untuk menyerah begitu saja. Ia mencintaiku, begitu dia bilang. Pagi ini, pukul enam dia akan datang. Aku hanya diam, tapi entah mengapa aku juga tak sabaran karena Anda akan mengajakku kawin di Pulau Seberang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!