Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 14 Maret 2011

Untuk Seseorang Yang Bersamanya Aku Sedang Mencari Jalan Keluar Dari Labirin Ini

Oleh: @amalia_achmad

Lima belas tahun yang lalu, setelah percakapan lama tanpa jeda, setelah semua kira- kira, setelah kendur marah berganti sedu, setelah banyak sangsi, kita, ah tidak, kamu memutuskan “Baik, kita jalani saja dulu, ya? Ingat, tidak ada yang serius. Kita bersenang- senang. Hubungan ini tidak akan bisa kita bawa kemana- mana, yang jelas tidak akan bisa kita bawa ke rumah masing- masing.”
Lalu, aku bisa apa? Begini saja sudah bahagia, jadi aku jawab pernyataan setengah pertanyaanmu itu dengan “Ya, terimakasih.”
Aku menangkap matamu yang berkabut, dan aku sentuh pelan punggung tanganmu, saat itu. Kita tak tahu perangkap apa yang sedang kita tebar sendiri, saat itu. Kita tak menyadiri labirin panjang yang akan kita masuki, saat itu.
***
Sementara aku berlutut di hadapan- Mu, Tuhan, dengan jemari kedua tanganku bertautan, aku memikirkan kata- katanya; “Nabi Muhammad pernah berkata; ‘Even as the fingers of the two hands are equal, so are human beings equal to one another.’ Aku, kamu, dan tiap- tiap manusia adalah setara.”
***
Seperti yang pernah kamu bilang dulu kita tak pernah bisa membawa pulang hubungan ini ke rumah. Kita mengerti benar, kita bisa saja pergi ke ujung dunia, tempat dimana kapal- kapal di lautan itu akan berjatuhan ke bawah entah menuju apa, pada akhirnya rumahlah tujuan kita. Aku ingin mengetuk pintu rumahmu baik- baik seperti kamu ingin mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahmu baik- baik, tapi tak bisa. Kita menghabiskan banyak waktu selama lima belas tahun bersama mencari jalan keluar untuk ini. Sewaktu- waktu kamu bilang “Cukup. Aku sudah selesai!” Setiap waktu- waktu itu datang, aku berdiri menghalangi kamu pergi atau mengejar sampai jauh jika perlu. Kamu selalu kembali.
***
“Apa yang akan kita lakukan pada hari seperti ini jika kamu dan aku tidak pernah bersama?” tanyamu tiba- tiba. Binar matahari dari sela- sela rimbun daun pohon jatuh seberkas di wajahmu, aku berbaring di sebelah, di atas rumput dengan bau yang kita sukai itu.
“Aku… “
“Mungkin kamu sedang berdiri gugup di depan altar sementara pengantin perempuanmu berjalan pelan ke arahmu… oh… ayahnya dengan bangga akan menyerahkannya padamu.”
“Pengantin perempuan itu kamu, kan? Ayahnya adalah ayahmu, kan?”
“Kalau pengantin perempuan itu aku… hmmm… aku akan tertunduk menahan tangis di bawah kerudung putih sementara ayahku mengucapkan ijab, menunggu kabul darimu… “
Setelah kira- kira yang sebenarnya tak aku harapkan itu, ada jeda lama, lalu tanpa marah atau sendu apalagi sangsi, kamu memutuskan “Baik, aku bisa menjalani ini lima belas tahun lagi, mungkin lebih, mungkin selamanya! Labirin ini pasti ada jalan keluarnya”
Kamu memejamkan mata, menikmati kehangatan pada wajahmu. Aku menyentuh pelan punggung tanganmu, kamu tersenyum
***

P.S. Seseorang, semoga kita ngga perlu mencari jalan keluar sampai selama itu, ya. Lima tahun saja, ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!