Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 12 Maret 2011

Monolog dengan sang Ombak

Oleh Bunga Istyani (@bungaistyani)


Titik-titik hitam bersayap melambai-lambai kesana-kemari, mereka selalu optimis untuk bermigrasi dengan cuat-cuit suara bergerombol serupa huruf V, terlihat hampir tertangkap oleh gumpalan-gumpalan air bergelombang semakin meninggi bersetubuh bersama sayup-sayup angin sepoi, bergemuruh kian berlari mencipta buih-buih semakin mendekat, menelan kilau-kilau pasir di bibir.



“Maksudmu, menyindir, layaknya orang tak berpendirian maju mundur tak jelas apa maumu?”



Sang ombak hanya mundur ketika sosok lelaki duduk menempel menguasai batu-batu karang hitam yang kokoh namun rapuh di antara batu alam.



”Sekarang kau mundur. Apakah kau tak sadar bahwa kemunduranmu adalah persiapanmu untuk berlari kemari. ”



Sekarang buih-buih itu berlari menantang darat hampir menghujam tak sampai hati, hingga hanya menjilat kaki hampir busuk dalam keraguan.



“Lalu, tak sempatkah kau berpikir, wahai Penari-penari lautan, aku berada di depan orang–orang yang berpangku terhadapku, terhadap orang-orang yang berharap di pundakku. Namun, aku adalah orang yang berposisi di belakang orang-orang yang menentukan mereka yang bersandar dalam pundak lemahku. Aku.. aku ragu.”



Berlutut ia di bibir pantai mengecap pasir basah dengan lutut beratnya, meremas gundukan pasir berbuih dengan kepalan berkecamuk, dalam hati yang gelisah.



“Sekarang kenapa kau ragu, untuk orang yang kau lindungi beserta cintamu, kenapa tak kau korbankan saja dirimu untuk mereka yang kau nafkahi, hanya satu nol saja semua selesai!” Kini buih itu menjawab dengan gemuruhnya yang tajam.



“Untuk jawaban seorang penari lautan tak ragu lagi karena kau takkan merasakan sedapnya sebuah konsekuensi, kau tidak akan tahu semua keluargaku akan kehilangan hidung, ketika aku bersemayam dalam bui, kepentingan orang-orang tertindas akan semakin kutindas, dan negara yang bejad ini kian punah tertindih perut yang kehilangan afektifitasnya. Apakah kau tidak berpikir, wahai Penjilat-penjilat pasir yang hitam!”



“Semakin kau libatkan humanismemu, semakin jauh kau dengan kegelimpangan, wahai Pecundang!”



“Aku, aku bukanlah penjilat pasir karena kilaunya. Aku takkan berlari ketika kulihat kilau-kilau dari kejuhan yang sesungguhnya itu adalah pasir hitam yang akan membuatku kahabisan buih. Aku bukanlah kau ombak, karena pasir takkan berkilau-kilau jika warnanya menunjukan keputihan, dan semua orang pun lebih memburu pasir nan putih bersih, tidaklah sama dengan kau, Gelombang jahanam. Kau hanya makhluk yang tertipu dengan kilau-kilau bentukan mentari. Kilau-kilau yang akan hilang sesampainya engkau untuk menelannya bulat-bulat.”



Sebuah batu karang kecil melambung terbang mengejar gelombang ombak yang semakin mundur, memercik di kejauhan yang semakin sunyi di tengah kegemuruhan gelombang-gelombng pasang. Kini seketika gelombang pasang semakin meninggi memburu dengan lantang menelan lelaki gundah, menggulung-gulung membasahi bara-bara yang berkecamuk dalam hati. Beberapa teguk sempat menghentikan nafas sosok itu, ia basah dengan kegeraman.



“Kau marah, Ombak?”



“Aku benci dengan keraguan, dengan orang yang tak bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Jika kau takut dengan terali-terali besi, ceritakan saja pada pamong-pamong rakyat, para pelindung-pelndung berseragm yang buncit itu.”

Ombak hitam semakin meninggi menabirkan sinar mentari, membayangi sang karya.



“Apakah kau gila? Itu sama saja dengan aku menenggak racun yang akan membunuhku, yang akan menghancurkan keluargaku sendiri.”



“Lalu, di manakah jiwa juangmu itu, jiwa yang selalu mencintai tanah airnya, tanpa peduli keluarga pribadi, tanpa melihat ke belakang untuk menyerang ke depan, apakah semua itu sudah susut hanya karena angka nol yang berlubang?”



“Ah, omong kosong dengan perjuangan. Toh, mereka yang mengkhianati negeri, tetap dipuja negeri. Toh, mereka yang merampas perut rakyat tetap dihormati rakyat. Lantas apakah ini yang disebut dengan mengkhianati? Jika yang disakiti masih mau membanggakan yang telah mendzaliminya, masih mau mendukung di kala meminta?”



Dengan suara lantang, pria busuk itu semakin membusungkan dirinya. Ia hampir kalah dalam kerapuhannya dengan penuh tekanan yang menyesakkan. Ia tertawa dalam kesedihan, terbahak-bahak setelah kalah bagaikan keledai yang mengumpankan dirinya dalam mulut harimau kelaparan. Kini sebuah gelombang yang semakin tinggi, hitam, kelabu menenggelamkan bertubi-tubi, menegukkan beberapa volume asin pekat.



“Hai Pecundang sejati, kau takkan merasakan kenikmatan, kau takkan merasakan kebahagiaan meskipun kau dalam kegelimpangan, kegelimpangan dari hal menjijikan, meskipun hanya satu null kau tambahkan dalamworksheetmu, namun berjuta-juta balasan akan kau terima nantinya, dari-Nya. Sebanyak orang-orang yang telah kau minum keringatnya, yang telah kau cekik perutnya, tahukah kau itu!”



“Diam kau, Setan laut. Apakah kau mau di belakangku? Apakah kau sudi memberiku sedikit kekuatan jika aku menantang eksekutif itu? Pastilah tidak! Kau hanya akan tertawa ketika aku menjadi pahlawan kesiangan di antara gundukan-gundukan perut buncit, dan kau pun terus berlari pergi bersembunyi meninggalkanku sendiri.”



“Dasar Manusia bodoh, lupakah kau dengan Penciptamu? Lalaikah kau dengan kekuasaan-Nya? Bersimpuhlah di hadapan-Nya maka kau akan menemukan pintu terang yang kau bingungkan itu. Memohonlah untuk kebenaran, jika perlu menangislah kalau kau merasa lemah.”



Kini, ombak kelam itu pergi, pantai kembali tenang dengan kecerahan yang biru. Di kejauhan kembali gelombang seraya berkata, “Jika kau yakin dengan pertolongan-Nya, pastilah selamat kau dengan penuh kedamaian.”



Kaki-kaki lemah itu kini berhenti membusuk, berganti wangi kian semerbak berdifusi dalam pelarian. Tangannya telah bebas dari borgol-borgol kedustaan sebuah kultur dalam negeri nan elok lagi kaya ini, ironis.



”Bapak polisi, aku akui aku telah mendapatkan mandat langsung dari manajer keuangan di dalam instansi yang di sana aku menyambung hidup, untuk menambahkan satu nol dalam laporan keuanganku. Niat itu aku urungkan. Bukan apa-apa, aku hanya tidak bisa membutakan mataku terhadap orang-orang di luar sana dan, sesungguhnya aku takut dengan Tuhanku, sekarang terserah Bapak selanjutnya.”

***

Bunga Istyani, hampir tenggelam di dasar tsunami. Maret 2011.

4 komentar:

  1. Ah, tidak. Bahasanya berat... +_+
    Sebagian besar tidak bisa saya cerna maksudnya. hahaha... itu artinya perbendaharaan kata dan gaya bahasa saya masih kurang nih.

    terima kasih buat tulisannya. :D

    BalasHapus
  2. salut buat karya sastra ini, walo sedikit tapi jelas yang tersirat dari karya ini..
    maju terus...buat terus karya-karya sastra lainnya.......

    BalasHapus
  3. sastra yang berat ahhhh~

    BalasHapus
  4. membaca karya ini mengingatkan saya ke kutipan yang diberi oleh teman:

    Where shall I go? To the left where nothing’s right? To the right where nothing’s left?

    mungkin seperti ini kali ya dilema yang dirasakan si tokoh... maaf kalau salah tangkap :) maklum masih pemula hehe...

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!