Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 26 Maret 2011

Ajal di Cahaya Cerlang Matamu

Oleh: @StephieAnindita


Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang cahaya matamu
Kulafalkan sajak ‘Lagu Siul’ Chairil Anwar itu ketika aku menatap cahaya yang berbinar di hadapanku. Aku tidak menyangka, akhirnya aku akan menemu ajalku di binar matanya. Ia yang selama ini kucintai bahkan sebelum aku muncul di dunia ini ... ia yang membuatku percaya ada kehidupan di balik cahaya... ia yang memberiku nafas kehidupan ...
Sajak indah itu yang membuatku terbujuk ... ia merayuku dengan sajak indah karya Chairil Anwar itu ... sehingga aku terbuai dan rela meninggalkan buaian kegelapan yang selama ini menjadi rumahku, demi dia. Aku percaya padanya. Aku rela meninggalkan semuanya demi dia. Andai saja aku tahu, kalau selama ini sajak-sajak indah itu bukan untukku. Sajak-sajak indah itu palsu. Tidak pernah ada ‘cinta’ yang ada di dalam jiwanya. Jiwanya kosong melompong.
Mendengar buaian kata-kata indahnya ... dengan begitu bodoh aku terbujuk ... aku tertarik dari kegelapan dunia imajinasi ... menjelma menjadi zat entah apa namanya ... kemudian terus berubah dan berubah ... hingga akhirnya menjadi sesosok makhluk tidak jelas apa namanya ... perjalananku juga bukannya mulus tanpa halangan ... aku setengah mati berusaha bertahan walau bertubi-tubi mengalami serangan yang mematikan ... menahan nyeri yang membakar sekujur tubuhku ketika aku menelan cairan hitam yang dipaksa masuk ke dalam kerongkonganku ... aku tetap menolak untuk mati. Tidak sebelum aku mempunyai kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku harus bertemu dengannya.
Hei lihatlah, aku di sini ... di hadapanmu ... aku mencintaimu ... aku adalah belahan jiwamu...
Jangan biarkan aku mati ... kumohon ...
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.
“Maafkan Ibu, Nak ... tapi tidak seharusnya kamu hidup ...” ujarnya lirih. Cahaya di matanya semakin menusuk. Membakar tubuhku yang sudah separuh hangus.
Aku semakin takut. Aku meronta-ronta dalam cengkeramannya yang dingin. Samar-samar aku melihat cahaya yang semakin terang. Aku menjerit sekuat tenaga, berusaha melarikan diri dari cahaya itu. Aku takut cahaya. Jangan, jangan ada lagi cahaya. Aku harus kembali ke kegelapan ... di sana aku aman... Mama benar, tidak seharusnya aku lahir ke dunia dan menatap cahaya ... cahaya merupakan kutukan untukku ...
“Sudah cepat bawa sini jabang bayi itu, perempuan goblok! Matahari sudah mau terbit! Kamu mau tetangga tahu?!” ada suara lain membentak.
Aku merasakan nafasku semakin sesak ... semakin sesak ... semakin sesak ... paru-paru kecilku meledak ... dan aku melihat letupan terakhir di binar mata Mama sebelum semuanya gelap ...
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros


Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.


Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka

Penggalan puisi di atas merupakan kutipan dari puisi Chairil Anwar ‘Lagu Siul’ 25 November 1945

1 komentar:

  1. wah, ide ceritanya bagus. kalo di edit/dirapikan lagi pasti jadi tambah bagus ^^

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!