Oleh @geeshaa
Sudah sekitar sebulan ini, kerjaanku hanya jalan-jalan kesana kemari. Sama seperti siang hari yang terik ini, aku mengetuk satu pintu ke pintu lain—seperti seorang salesman yang menawarkan barang dagangannya. Tapi sayangnya, tak ada yang menyahut. Bukan, aku bukan mengetuk untuk mengemis atau meminta makan. Aku hanya ingin menemui mereka, tetangga-tetanggaku, yang dulu selalu ada menemaniku setiap kali aku pulang kampung.
Ini sudah rumah kedua belas—dan masih belum ada yang menanggapi, apalagi mempersilakanku masuk ke dalam. Oh ya ampun, aku benar-benar sudah kelelahan. Aku lalu mengeluarkan sisa bekal makananku di ransel yang sudah lusuh, tinggal ada dua potong roti lagi, dan setengah botol air mineral. Cukup untuk hari ini, dan setelah itu, aku harus mengambil lagi ke toko.
Mengambil, ya, mengambil—aku tidak perlu membelinya lagi sekarang. Sebulan terakhir ini.
Rumah ketiga belas, dan aku mematung di depan papan namanya. Karasawa, itu adalah nama keluargaku. Singkatnya, ini adalah rumahku. Aku kemudian menarik napas panjang dan mencoba mengetuk pintu sekali lagi, walaupun rasanya jari-jariku sudah kapalan terantuk papan pintu.
Dok! Dok! Dok!
Tidak ada jawaban.
Aku menunggu beberapa saat, lalu kuulangi lagi, “Ayah! Ibu! Ada orang di dalam?” aku memanggil cukup keras dari luar dan ternyata hasilnya masih nihil. Jangankan ada yang menyahut, sepinya seperti kuburan, sama seperti rumah-rumah sebelumnya. Aku celingak-celinguk melihat keadaan sekitar yang sunyi senyap. Pandanganku lalu jatuh ke arah pegangan pintu yang ada di hadapanku, dan saat kutahu bahwa pintu itu tidak terkunci, aku membukanya pelan-pelan dan menyelinap masuk. Haha, mengendap-endap ke dalam rumah sendiri, konyol rasanya.
Rumah ini ternyata tidak menunjukkan tanda-tanda kehadiran penghuninya di sana. Aku tidak begitu tahu kemana mereka pergi sekarang—Ayah, Ibu, dan kedua adikku. Yang jelas aku berharap mereka berada di tempat yang lebih baik daripada di sini. Kampung halaman yang sepi, dimana tidak seorangpun bisa kutemui—terlepas dari penampilanku yang lusuh dan terlalu lecek untuk dikira salesman (dan mereka tidak mau membukakan pintu, tapi aku tahu itu tidak mungkin).
Langkahku terhenti saat memperhatikan foto keluargaku yang terpajang di dinding, satu potret keluarga yang berbahagia, diambil pada saat kelulusanku dari Universitas Tokyo, dua tahun yang lalu. Aku tersenyum, tapi sayangnya, miris. Perih rasanya, saat aku mengetahui bahwa gelar itu menjadi sia-sia saat ini. Gelarku tak berguna untuk melakukan apapun saat terjadinya tragedi itu. Aku lalu meraih foto itu dan mendekapnya dengan kuat di dadaku.
Sungguh, aku merindukan mereka. Aku rindu keluargaku.
Pikiranku melayang-layang ke saat kami masih berada di rentang waktu saat foto itu ditangkap, sehari sebelumnya, dan hari-hari sebelumnya. Alangkah bahagianya kami, dan yang pasti, semua orang di dunia ini sangat bahagia—sebelum terjadinya tragedi yang menakutkan itu. Tanpa kusadari, ternyata air mataku menetes jatuh. Sedetik kemudian, aku menangis sejadi-jadinya—aku tidak peduli, toh tidak akan ada yang mendengarnya, apalagi protes karena terganggu dengan suara tangisanku ini. Aku merasa sangat kesepian sekarang. Sangat kesepian.
Tuhan, terima kasih telah mengabulkan permintaanku untuk selamat dari tragedi itu. Terima kasih karena telah menjadikan doa mereka di setiap ulang tahunku—semoga panjang umur. Tapi Tuhan, bolehkah aku memintamu satu permintaan lagi?
Kumohon, ciptakanlah satu orang teman untukku, karena aku tak kuasa hidup menjadi satu-satunya manusia terakhir di Bumi seperti sekarang ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!