Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 22 Maret 2011

Kisah Seonggok Hati

oleh: (@mazmocool)


Semua orang pasti pernah merasakan ini. Aku yakin itu, tapi mungkin hanya sedikit yang rasanya sama dengan yang aku rasakan saat ini. Rasa yang timbul karena sering bertatap muka dan bertukar cerita. Sudah tahu kan rasa apa itu, pastinya. Tapi ada sesuatu yang berbeda dengan rasaku ini.

Rasa itu mulai tumbuh saat aku menginjak SMA. Seragam abu-abu putihku masih juga belum aku ganti. Kakiku mendamparkanku pada sebuah gubuk kecil di tepi sungai di desaku. Sepulang sekolah, aku selalu sempatkan diri untuk kesana. Tak ada tujuan lain, selain untuk berjumpa dengan pujaan hati, anak seorang janda.

Entah sudah berapa kali matahari menyengat bumi dengan radiasinya. Membakar ilalang tepian sungai dengan segenap amarahnya di suatu masa. Langkahku tetap sama. Jalan setapak yang kulaluipun tidak jauh berbeda. Rerumputan di sekitar jalan setapak itu, sepertinya tidak pernah merasa terganggu dengan langkahku. Mereka justru tampak menari mengiringi hatiku yang berbunga-bunga.

Senyumku mengalahkan panasnya matahari yang mengukir peluh di wajahnya. Gumpalan-gumpalan bening itu adalah semangatku hari itu. Baju putihku sudah terasa lengket berpadu dengan tubuh kurusku.

Tak sampai lima belas menit, langkahku terhenti di pelataran gubuk kecil itu. Tak ada tanda-tanda kehidupan disana. Pintu tertutup rapat seperti hati ibuku. Tak ada sedikitpun celah bagiku untuk sekedar mengintip isi hati ibuku.

Aku mengetuk pintu, dan keluarlah sosok rapuh membuka pintu. Seketika aku bisa melihat seluruh isi rumah itu dengan sempurna.

"Ah, seandainya aku bisa membuka pintu hati ibuku, pasti aku akan tahu segala yang tersembunyi di dalamnya," pikirku dalam hati.

"Eh nak Nino, mari masuk nak," kata perempuan tua itu.

Suara parau itu seketika membuyarkan anganku yang tengah mencoba mengetuk hati ibuku.

"Eh eh iya bu. Oya bu Nina ada bu?" tanyaku.

"Ada," jawab ibunya Nina singkat dan berlalu dari pandanganku.

Kulangkahkan kakiku ke dalam gubuk itu. Kupegangi kepalaku saat kurasakan sedikit sakit pada bagiannya. Sakit karena terantuk kusen pintu yang tak lebih tinggi dari tubuhku. Kulihat sepasang mata teduh menyambut kehadiranku. Aku menghampiri dan menyambut tatapan mata itu. Tatapan mata penuh cinta yang membuatku tak pernah bisa melihat dari sisi sebaliknya.

Senyum Nina merasuk dan membawaku ke gumpalan awan kelabu. Tak ada sesuatupun kutemukan disana, kecuali seonggok hati yang mengharapkan iba. Mengiba akan sentuhan penuh kasih, mengiba akan sanjungan penuh makna. Aku berusaha menggenggam seonggok hati itu. Hati itupun meleleh dan menciptakan butiran-butiran bening. Ya..awan kelabu itu pecah saat aku menggenggam hati itu, dan mengubahnya menjadi tetesan di sudut mata Nina. Aku segera menghapusnya dengan ujung baju seragamku.

Aku masih terpaku menatap rambut keritingnya. Di beberapa bagian tampak terjalin tak rapi satu dengan yang lainnya. Kusut. Mungkin sekusut perjalan hidup si empunya rambut. Namun tetap saja, bagiku hal itu tak sedikitpun mengurangi kadar kecantikannya. Kecantikan yang keluar dari dalam hatinya yang tak pernah terkontaminasi dengan kebusukan di sekitarnya. Aku mencoba mengurai helaian kusut itu dengan sentuhan lembut tanganku. Meski tak seratus persen rapi, tapi setidaknya bisa membuatnya lebih terlihat cantik dari sebelumnya.

Tanpa jalinan kata bermakna, aku merangkai cerita dengan Nina. Bahasa tubuhnya, senyumnya, dan tawanya membuatku merasa sangat dekat dengan dirinya. Entah itu apa, yang jelas aku dan Nina sangat menikmati kebersamaan itu.

Dering telpon genggam yang menggila, membuatku memutuskan untuk mengakhiri kebersamaanku dengan Nina, hari itu. Ternyata ibuku yang menanyakan dimana keberadaanku. Ibuku tak pernah tahu kemana pergiku sepulang sekolah, karena memang aku tak pernah membuka gerbang cerita sampai nanti saatnya pintu hati ibu terbuka.

Aku segera berpamitan, setelah gelas berisi air putih itu tergeletak pasrah di meja kayu di depanku. Ibu Aminah, ibunya Nina, mengantarkan aku sampai depan pintu. Sebelum aku melangkah dan berlalu, sepintas kulihat Nina yang masih terduduk di singgasananya, menggigit ujung kukunya. Kurasakan kekecewaan hatinya di setiap gigitannya.

***

Matahari masih hangat menyinari deretan bangunan itu. Suara meracau orang-orang yang hilir mudik dengan berbagai tingkah polah, seperti penari yang tidak memahami arti setiap gerakannya. Perempuan-perempuan tua muda lalu lalang asyik bercengkrama dengan dunianya masing-masing.

Sesekali nampak beberapa orang berpakaian putih bersih, membuka komunikasi dan masuk ke dunia perempuan-perempuan di teras bangunan itu. Berbagai bahasa mereka sampaikan dengan deretan kata untuk mencoba membangkitkan memori indah di sudut-sudut kepala yang terlupa.

Tak jauh dari mereka, aku duduk meluruskan kaki bersandar pada tembok. Kukembalikan lamunanku yang terserak pada suatu padang bernama masa, lima tahun lalu. Kukumpulkan agar aku bisa kembali ke masa kini. Masa dimana aku tengah dengan sabar menanti kesembuhan Nina, pujaan hatiku masa lalu.

Sebuah mobil mewah masuk gerbang Rumah Sakit Jiwa itu dan langsung parkir dengan congkak di pelatarannya. Terlihat olehku seorang perempuan berusia sekitar empat puluh lima keluar dari mobil dengan anggunnya. Perempuan anggun itu adalah ibuku. Sorot mata yang berbeda kulihat, setelah ibuku membuka pintu hatinya dan aku bisa melihat segala misteri di dalamnya. Sesuai janjiku akupun membuka gerbang cerita tentang kisah kasihku dengan Nina, lima tahun yang lalu.

Di sampingnya nampak berjalan perlahan seorang perempuan renta. Ibuku menggandeng ibu Aminah dengan sabar. Lima tahun membuat segalanya berbeda, kondisi Nina dan ibu Aminah, sorot mata ibuku, dan termasuk dengan kisah kasihku.

"Nino, kenapa kamu sendirian disini? Nina mana?" tanya ibuku dengan sorot mata penuh kasih.

"Di kamarnya bu," jawabku beranjak menjemput kedua perempuan kebanggaanku itu.

Langkahku membawa hatiku dan mereka ke sebuah kamar VIP. Kamar dimana Nina dirawat. Aku, ibuku, dan ibu Aminah segera masuk ke kamar itu. Tampak olehku Nina tengah disuapi oleh seorang perawat. Nina yang terlihat bersih dan cantik tersenyum dalam jiwa yang tenang. Perawat itupun berlalu dan menyerahkan sepiring bubur kepada ibuku. Suapan demi suapan dari ibuku masuk penuh kasih ke tubuh Nina. Setelah selesai, ibu membersihkan sisa-sisa bubur di pinggir bibir Nina. Air mata meleleh di sudut mata ibuku ketika dia memeluk Nina, anak perempuannya. Aku dan ibu Aminah hanya terpaku menyaksikan kejadian itu. Air mata ibu Aminah, yang telah merawat Nina, meleleh bersamaan dengan kesedihanku yang tumpah saat aku harus mengubur dalam-dalam keinginanku untuk memiliki Nina, saudara kembarku.

2 komentar:

  1. Sampah! Pantesan tidak ada yang mau komentar! Saya kecewa kalau sampai tulisan ini jadi BOTN!

    BalasHapus
  2. Hush! Jangan bilang begitu. Karya ini 'bersinar' dengan caranya sendiri. Memang yang terpilih jadi BOTN adalah karya lain. Tapi ini juga bagus kok. Tetap menulis ya :)

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!