Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 21 Maret 2011

Pelangi Malam Hari

oleh: Rendy Doroii (@doroii)



Rembulan bersinar pucat malam itu, layaknya perawan tengah lelah setelah bersenggama. Aku mencibir suara tikus di halaman itu. Dan ranting menggaruk angin yang lewat sendiri malam itu. Tampaknya kesendirian tak hanya jadi temaku malam ini. Kalau begitu mengapa tak ku ajak saja mereka turut serta dalam sendiriku. Mari!

Langkahku berdenting piano. Semuanya riang. Berbalet dalam alunan lembut pelangi. Hei, kata siapa tak boleh ada pelangi malam hari? Selamat datang di duniaku. Dimana pelangi malam hari adalah hal yang biasa. Dan patah hati sebelum bercinta menjadi ramuan harian. Kutatap wanita bergaun merah itu. Ia turut menari dengan langkah kikuknya. Tak apalah, semuanya adalah tamuku malam ini. Ayo, bahkan kau pun kuundang. Cepat tinggalkan sepatu kacamu dan mulai menghentak kejang dalam tarian malam ini. Panjat tangga menuju pelangi malam hari kita dan turun penuh tawa menuju kubangan cokelat merah muda. Lihat burung hantu itu, mereka berkecipak dalam ceria malam. Bersama tikus-tikus yang menuangkan teh untuk jamuan kita. Bersenandung dalam gegap gempita bintang yang bergoyang bersama angin laut. Sayang mentari akan terlambat tiba kali ini.

Aku menatap dalam mata wanita bergaun merah itu. Ia cantik dalam balutan rasa malu-malunya. Aku mengaguminya. Pelukkanku disambutnya dalam-dalam. Semua indah. Semua indah? Semua indah! Tentu saja! Hei kalian! Ini duniaku, tentu saja semua indah! Hei! Atau kalian berniat mengacaukan semuanya? Sudahlah, bukankah kalian sudah kuundang serta dalam pesta pribadiku ini? Banyak undangan akan disebar, tapi hanya sedikit yang diantar. Banyak cinta akan kusebar, tapi hanya sedikit yang berbinar. Wanita itu kuharap berbinar. Dalam alun nada biola tengah malam, dari atas pelangi malam hari, ku ajak dia bercinta dengan alam. Bersatu dengan semua. Denganku, diriku, duniaku. Mimpiku.

Mentari terlambat datang. Sayang semua pesta nyaris selesai. Pelangi malam hari tetap berdansa dengan kesendirianku. Aku tak sedikitpun lelah dalam pestaku. Duniaku bersinar dalam malam. Mentari sedikit bersungut karena bukan ia yang bersinar indah satu-satunya sekarang. Senyumku mengembang indah. Kurangkul mentari, dunia dan wanitaku dalam dansaku. Hingga aku terpeleset ceceran keringatku sendiri. Terjerembab.

Tawaku membahana dunia. Tanganku memanjang hingga memeluk tubuhku dengan eratnya. Tak bisa kulepas. Tak apa. Itu berarti tak seorang bisa mengambil aku dariku. Aku dan duniaku. Kesendirianku.

Dalam ruang dilapis busa itu, dia menari dengan tangan terikat. Sudah 6 bulan ia terus begini. Tertawa dan menari.

"Tak ada kemungkinan untuk sembuh Dok?"
"Kurasa bisa, tapi butuh waktu cukup lama. Semua harus dimulai dari dirinya. Tampaknya ia menikmati keadaannya sekarang"
"Latar belakang penyakitnya apa Dok?"
"Ia sebelumnya seorang pelukis. Tak terlalu terkenal memang, tapi lukisannya cukup mengagumkan. Hingga suatu hari ia kecurian. Kerugian materinya tak banyak. Tapi pencuri yang menemukan sasaran yang salah itu mengamuk, merusak semua lukisannya. Semuanya dibakar. Dalam kobaran api, ia berhasil menyelamatkan satu lukisan. Lukisan wanita dalam gaun merah belum selesai dilukisnya. Ia terus memeluk lukisan itu. Sejak itu ia terpukul. Hingga dia mulai melukai orang yang mendekatinya. Karena itu dia dipindahkan kesini"

Mahasiswi kedokteran itu terus mencatat semua keterangan tentang pasien ini. Ia mengangguk-angguk dalam diam.

"Data latar belakang penyakit yang Dokter ketahui sangat lengkap. Apa Dokter kenal sebelumnya dengan pasien? Kalau saya tidak salah, Dokter memang berasal dari daerah sini kan?"

Sembari tersenyum, Dokter itu berlalu. Ia meninggalkan tempat itu. Jawabannya lirih, mungkin tak terdengar oleh si penanya,
"Akulah wanita bergaun merah dalam lukisannya."

Ia tersenyum menatap lelakinya,
"Dan sampai selamanya aku hanya akan hidup di lukisan dan mimpinya."

Dokter muda itu meraih ponselnya, sebuah pesan singkat disana, ia tersenyum ditemani air mata,
"Jangan lupa makan siangmu sayang. Ingat, si kecil dalam perutmu harus kau beri makan juga. Salam sayang, suamimu"

3 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!