Oleh: Andi Wirambara (@baracoedaz)
----
Hari ini kutemui siang yang paling sepi
Sebab baru saja kau telah jadi hikayat; di hati.
Seolah lirih, Fara memandangi Janu yang semakin mengecil dan semakin tak terlihat jelas raut pilunya dari kaca spion. Baru lima belas menit mereka berpapasan di lobby kampus, suasana langsung mengeruh, sebuah keluh adalah alasannya.
“Jadi, kamu sudah… dengan Dadan?” Tanya Janu. Fara menunduk.
“I-iya, kami jadian dari kemarin lusa.”
Janu mengela napasnya, melipat-lipat bibirnya berkali-kali. Sesekali lidah nampak menjulur menyusuri bibirnya yang agak menghitam karena kebiasaannya merokok. Janu mulai tak jelas menggerakkan kepala—tepatnya pandangannya—ke setiap sudut ruangan. Jika matanya kembali tiba pada wajah Fara, bibirnya sedikit menaikkan ujungnya, seperti senyum yang ditahan-tahan. Memang, Janu sedang ingin memaklumi—merelakan—sesuatu, yaitu Fara sendiri. Mereka berdua dekat sejak awal masuk kuliah. Berawal dari presentasi kelompok, Janu melemparkan banyak pertanyaan pada kelompok Fara hinga saling berdebat. Setiap jawaban ia sela pertanyaan lain. Fara geram, ia menjawab dengan emosi hingga mahasiswa lain menggeleng kepalanya. Entah mengapa, sejak saat itu mereka jadi sering menyapa jika bertemu. Semakin akrab. Dekat.
Sementara, di kepala Fara berputar bermacam penjelasan, alasan, dan bermacam dalih bersama dengan sederet diksi yang akan digunakan untuk menghadapi Janu dalam lanjutan pembicaraan ini.
“Ya sudah. Selamat, ya.”
Fara terkejut. Jelas saja, ia tak menyangka kalau Janu hanya berbicara seperti itu. Aku tahu, kegundahan besar mengendap di hati Fara. Janu seorang pencinta yang luar biasa. Sebuah salut kulemparkan padanya saat ia benar-benar menjadi Fara sebagai prioritas utamanya. Otak cerdas nan cerdiknya membuatnya mampu mencari solusi untuk membagi waktunya dan waktu untuk Fara jika Fara memerlukannya—dan memang Fara pasti perlu seorang Janu.
Ya, Janu memang pintar mencari solusi suatu masalah. Tapi untuk yang satu ini, ia seperti orang bodoh. Jujur saja, aku tak bisa berkata apapun untuk Janu ini, kecuali miris! Fara menolak cinta Janu tepat siang hari sebelum Fara menerima pernyataan cinta lelaki lain. Dadan.
***
Waktu mengetuk-ketukkan jemarinya. Seolah menghitung berapa lama sudah mereka berdiam di lobi itu. Setelah mengucapkan selamat yang nampak tanpa adanya keihklasan itu, Janu seperti kehabisan kata-kata untuk melanjutkan pembicaraan. Terlebih Fara, ia tahu sejak awal mereka berpapasan, rasa segan mengucurinya. Ia tak mau menyakiti hati Janu. Tapi bagaimanapun hal ini pasti akan segera Danu tahu. Merasa berhadapan dengan lelaki cerdas, Fara berkali-kali memutar otaknya untuk melanjutkan pembicaraan. Akhirnya mereka saling diam. Ah! Ingin sekali rasanya aku menyeruak ke antara bisu mereka!
“Janu, kamu masih ada kuliah?”
“Nggak, sudah habis. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, nanya aja,” Janu tersenyum. Seolah tahu gundah Fara terhadap dirinya. “Ma-maaf ya, Jan,” lanjut Fara.
“Maaf? Buat apa?” Fara kembali diam.
Tak bisa dipungkiri, perhatian dan setiap kesediaan Janu hadir saat Fara benar-benar memerlukannya, membuat riak ketertarikan tumbuh di hati Fara. Namun hanya ketertarikan. Hati Fara terlanjur terpaut pada Dadan, seorang lelaki yang kuliah di tempat sama dengan mereka, hanya berbeda fakultas. Dan sialnya—bagi Janu, Dadan membalas kode di hati Fara. Maka tinggal menghitung waktu hingga Dadan menyatakan perasaannya dan langsung disambut oleh Fara yang baru saja mematah hati seorang Janu.
Kalau boleh kutanya, apa ada yang harus disalahkan?
***
Tanpa komando, Fara dan Janu melangkah keluar dari lobi. Nampaknya diam menjadi penutup segala kelu lidah masing-masing dari mereka.
“Mau kuantar pulang?” Janu mengeluarkan suaranya. “Oh iya, nanti ada yang marah. Hehe..” Lanjutnya sebelum Fara menjawab. Fara tersenyum saja seraya menundukkan kepalanya. Fara memang sangat manis, bahkan saat kebingungan begitu ia masih sangat memikat hati para lelaki.
“Pacarmu sudah datang?” Tanya Janu lagi. Fara menggeleng. Sungguh, kupikir Fara sangat ingin melarang Janu kembali menyinggungnya soal Fara. Tapi bagaimanapun, aku yakin Janu masih menyimpan setiap asa dan harapannya. Meski kecil. Teramat kecil.
Mereka duduk di bangku dekat tempat parkir. Janu sepertinya hendak menemani Fara meski ia tahu segala bentuk resikonya. Sedikitpun Janu tak mematikan hatinya pada Fara meski ia merasa hari-harinya sendiri akan terasa mati. Melihat Fara yang dijemput dengan rangkulan mesra kekasih yang bukan Janu. Bahkan kecupan yang bukan Janu. Siang terik, menguapkan mereka yang saling membisu itu. Janu terseret dalam dunia peluhnya. Ya, ia merasa hatinya kosong. Sepi.
Tak ada siang sesepi siang ini. Bagi Janu, duduk berdua dengan Fara seperti kali ini selalu menciptakan debar di hatinya. Dan siang ini seperti dihujam mendung. Mendung yang dibuang langit menuju relung Janu yang paling lunak. Waktu seperti semakin lambat, semakin lambat, lalu berhenti. Galau lahir hingga Janu terus berteriak-teriak dalam sunyi matanya. Lelaki tetaplah manusia, Fara. Aku benar-benar tak tahu harus memihak siapa.
Mobil hitam itu nampak menikung di persimpangan itu, seiring laju rodanya, bayangan kecil semakin tampak besar. Dari kaca depannya bisa nampak raut lelaki itu. Dadan!
“Pacarmu?”
“Iya,”
Janu tersenyum, lalu menggapai lengan Fara yang halus itu. Telapak tangan Janu terus bergeser ke telapak tangan Fara. Cepat-cepat Janu menyelipkan sesuatu di telapak tangan Fara. Fara melirik sesuatu itu. Seperti carik kertas. Janu langsung melenggang pergi dengan senyumnya yang khas, menjauh dari tempat Fara.
***
hari ini kutemui siang yang paling sepi
sebab baru saja kau telah jadi hikayat; di hati
sebab baru saja kau telah jadi hikayat; di hati
Pintu mobil terbuka. Fara masuk ke dalam mobil hitam itu meski matanya masih memandang nanar wajah sayu Janu dari kaca spionnya. Mobil bergerak membawa Fara pergi. Dengan hati-hati—dan diam-diam—Fara menyelipkan kertas itu di bukunya dan membukanya pelan agar tidak mencurigakan untuk lelaki di sebelahnya. Kekasihnya.
Wanita tetaplah wanita. Fara membaca apa yang tertulis di kertas itu. Ada sebuah puisi tertera di sana. Mengabar suatu sepi. Mengabar suatu sunyi yang sepertinya akan membuat Fara tidak akan berhenti terisak malam ini. Nampak sebutir air mata jatuh di atas kertas itu.
…hari ini kutemui siang yang paling sepi
sebab baru saja kau telah jadi hikayat; di hati
sungguh, di sana tak kutahu sebagai apa kau dikisah
meski selipat-lipat kata sudah kucoba tempuh
meski setumpuk senyum telah berkali tuk kuterjemahi
tetap saja terik masih sama
seperti hendak membukti
betapa kerdil bolamata hanya bongkahan salju
yang kapanpun mampu mencair
seolah meraju, seolah-olah meraju
lalu jatuh di helai mana aku menemukanmu
pada sekian lembar hikayat itu
buat bolamataku sungguh terasa berat
untuk membacamu
untuk membacamu
dan terdapat sekian luka di sana
yang lalu kujumpa
sebab baru saja kau telah jadi hikayat; di hati
sungguh, di sana tak kutahu sebagai apa kau dikisah
meski selipat-lipat kata sudah kucoba tempuh
meski setumpuk senyum telah berkali tuk kuterjemahi
tetap saja terik masih sama
seperti hendak membukti
betapa kerdil bolamata hanya bongkahan salju
yang kapanpun mampu mencair
seolah meraju, seolah-olah meraju
lalu jatuh di helai mana aku menemukanmu
pada sekian lembar hikayat itu
buat bolamataku sungguh terasa berat
untuk membacamu
untuk membacamu
dan terdapat sekian luka di sana
yang lalu kujumpa
Fara menangis. Ia tak dapat menahan pilunya yang kini merasa serba salah. Ia tak tahu harus menyesal atau memang sebenarnya tak ada yang disesalkan. Sementara dari pantulan kaca spion, sosok Janu semakin hilang. Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkan Fara menangis. Aku tak bisa melarangnya.
Sungguh, mengapa tak sejak dulu kau ceritakan padaku? Kalau kau juga mencintai kekasihku ini, Hei sahabatku, Janu! *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!