Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 06 Maret 2011

Saat Sepi

Oleh: Nadya Nabila (@winterfireworks)



Rasanya mau menangis saja jika sepi begini.



Aku mengusap titik – titik keringat yang terbentuk di dahiku. Matahari musim kemarau pun seakan enggan meneduhkan teriknya untukku, seperti ingin meambah sulit keadaanku yang sudah teramat sulit saat ini. Udara berdebu yang disemburkan kendaraan – kendaraan umum yang berhenti di sembarang tempat dengan kondekturnya yang berkoar merayu penumpang pun menambah sesak dadaku yang rasanya sudah sesak, menahan miris memandang nasib diriku hari ini.



Sepi. Beberapa orang berjalan melewatiku hari ini. Tapi tak seorang pun yang sadar akan keberadaanku. Melangkah begitu saja saakan tidak melihat wujud rupaku dan membuatku serasa seperti hantu, tak terlihat dan memang sengaja dihindari. Ha. Aku tahu seharusnya aku sadar diri. Aku bukan siapa – siapa yang perlu diberikan atensi berlebih. Aku bukan orang penting, yang perlu diakui eksistensinya di dunia. Aku hanya seseorang yang dapat diabaikan keberadaannya, seseorang yang menempati satu tempat di bumi yang sebenarnya lebih baik di biarkan kosong.



Intinya, aku mati pun dunia tak akan kehilangan.



Mereka, orang – orang yang lewat itu, bahkan tidak sudi menoleh saat aku mencoba menyapanya dengan senyum. Malah, beberapa dari mereka melempar pandangan sebal kepadaku, seakan akulah penyebab buruknya suasana hati mereka. Aku tetap bertahan. Tetap mencoba tersenyum, meski rasanya lelah mulai merayapi setiap jengkal tubuhku. Letih rasanya, menahan senyuman palsu saat diriku ingin menjerit keras – keras. Mengadu kepada siapapun yang mau dengar tentang segala apapun yang kurasakan. Lalu menangis, hingga air mataku tak mau mengalir lagi. Kadang aku lelah, aku ingin menyerah saja. Memilih mati daripada Tapi ayahku? Ibuku? Adik – adikku? Bagaimana perasaan mereka saat menemukan anak gadisnya mati sia – sia karena putus asa?



Lagi, aku mengelap keringatku. Telapak tanganku kugerakkan dalam gerakan mengipas demi mengurangi rasa panas sang surya yang sedang asyik menggoreng bumi.



Sepi. Sepi yang mencekik. Ingin rasanya aku berlari ke tempat lain, dimana aku bisa melupakan ini semua dan menjadi orang lain yang bukan diriku. Dimana aku bisa hidup enak. Makan enak, tidur enak, tanpa ada beban pikiran yang terus menghantui hingga kian lama kian membuatku sinting. Tapi tidak bisa, kakiku seakan enggan beranjak dari tempat ini. Ah, enggan mungkin bukan definisi yang tepat. Tak bisa melangkah mungkin lebih tepat. Ya, aku tak bisa beranjak dari tempat ini. Tidak dengan sepi yang perlahan menggerogotiku.



Aku menghela napas, mencoba bersabar. Seperti yang biasa kulakukan jika sepi datang. Tanganku mengibas, mengusir lalat yang berseliweran di depanku. Sekali lagi tanganku bergerak cekatan, merapikan nampan dan isinya di hadapanku agar terlihat lebih menarik, setidaknya bagi diriku sendiri.



Seseorang datang. Laki – laki. Usianya kira – kira tidak jauh dariku. Ah, aku sering melihatnya. Tampan dan populer. Aku sering sekali melihatnya berjalan dengan teman – temannya, atau hanya berdua dengan seorang gadis cantik. Tapi kali ini ia hanya sendiri.



Ia menatapku, dan sejenak ia tertegun, seperti mempertimbangkan sesuatu. Lalu detik selanjutnya ia bergerak, menuju tepat ke arahku. Jantungku melompat senang. Ekspresi wajahku sedikit mencerah.



“Mbak, beli kuenya tiga ribu.”



Senyumku merekah. Pelanggan pertama di siang yang sepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!