Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 06 Maret 2011

Tunggal

Oleh: Yulsi Rahmawati

Jam dinding yang menempel pada tembok berwarna putih kusam itu
menunjukkan hampir pukul dua belas tengah malam. Kena insomnia lagi,
pikirku sambil menatap kosong pada langit-langit kamar. Aku sudah
bengong selama lebih dari dua jam, belum mengantuk juga. Suara cicak
yang berdecak dan jarum detik jam mulai beradu. Ditemani suara gerimis
air hujan di atas genteng rumah. Harusnya suasana syahdu seperti ini
bisa membuat orang lebih gampang tidur. Aku sudah menghitung domba
melompati pagar. Seperti banyak orang sarankan kalau tidak bisa tidur.
Tidak berhasil. Setiap mulai menghitung, aku malah sibuk membuat
visualisasi di otak tentang bagaimana bentuk dombanya. Gemukkah?
Bulunya. Sangat putih atau agak buluk? Pagar. Warna kayunya. Coklat?
Ah, aku ingin ada tumbuhan rambat yang menempel pada pagar kayunya.
Aku semakin tidak bisa tidur.

“Semoga aku tidak kemasukan.” gumamku lirih. Aku hanya takut dengan
keadaan bengong dan setengah melamun begini, jangan-jangan ada setan
lewat dan mencoba mampir ke ragaku. Maklum rumah sebelah kosong,
tetangga yang hobi bergosip pernah nyeletuk, “Situ ada hantunya
lho!”.Bulu kuduk di tengkuk agak meremang. Aku mengubah posisi tidurku
dari telentang menjadi miring.

“Anak tunggal. Wah! Berarti gak bisa berkelahi sama adik atau kakak
ya? Sepi dong!”

Ucapan Aninda di sekolah tadi pagi terus terngiang. Jalan
mondar-mandir di kepalaku tanpa stop. Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi
kepikiran.

Tadi Aninda, anak baru di kelasku bertanya tentang jumlah kakak dan
adik yang dimiliki saat berkenalan denganku. Aku anak tunggal.
Satu-satunya. Selama ini aku bahagia saja sebagai anak tunggal. Dari
TK hingga saat ini aku senang-senang saja dengan status ‘tanpa saudara
kandung’. Biasa menuliskan tanda strip pada ‘jumlah kakak’ atau
‘jumlah adik’ dalam rapor sekolah. Tapi entah kenapa ucapan Aninda
menciptakan gusar di benakku. Malam ini, saat aku disergap insomnia.

Bagaimana ya rasanya punya saudara kandung?

Dari kecil aku terbiasa memiliki semua barang sendiri. Tidak perlu
berbagi. Baju, tidak ada yang namanya bekas pakai kakak. Mainan, tidak
ada yang namanya rebutan dengan adik. Jajanan, tidak ada yang namanya
berbagi setengah-setengah. Semuanya mutlak jadi milikku. Orang tua
juga membelikannya hanya untukku. Dan aku senang, karena tidak perlu
berbagi.
Aku tentu punya sahabat karib. Tapi sahabat kan beda dengan saudara
kandung. Memang kita sangat akrab dan dekat. Aku menganggapnya
saudaraku sendiri. Tapi kan, sahabatmu tidak berasal dari perut ibumu.
Sedikit banyak rasanya pasti berbeda.

Gimana ya rasanya?
Gimana?
Sepi dong!

Aku menarik napas. Sepi. Rasanya sepi. Iya, aku sadar bahwa aku sering
kesepian. Hanya saja aku mengacuhkan rasa itu. Detik ini semua potret
kegiatanku dari balita hingga berumur 17 tahun sekarang mulai berputar
mirip film di benakku. Aku terbiasa bermain boneka sendiri. Aku biasa
ditinggal di rumah sendiri. Jika mengerjakan PR dari sekolah,
teman-temanku bisa bertanya kepada kakaknya. Aku, paling akan bertanya
pada ayah dan ibu. Di sekolah, teman-teman senang sekali bercerita
tentang tema kakaknya yang keren-keren. Atau bercerita tentang
menjengkelkannya tingkah si adik saat diajari perkalian.

Aku belum pernah merasakan punya saudara kandung. Cerita-cerita dengan
kakak. Menjahili adik sampai menangis. Bersekongkol untuk membuat
jengkel orang tua. Saling menutupi kebohongan satu sama lain.
Marah-marahan dan tidak saling bicara.

Bulir-bulir air yang dijatuhkan awan dari angkasa perlahan habis.
Suaranya mulai redam. Menebarkan sepi yang menangkupi malam. Tiba-tiba
aku mulai menangis dalam diam. Sepi di sekitar membuatku benar-benar
kesepian sekarang. Seperti ada yang kosong. Sepi bagiku adalah tidak
punya saudara kandung. Dalam ramainya tawa dan canda teman-temanku. Di
dalamnya ada sepi yang berwujud kakak atau adik.

Aku melongok ke arah jam. Astaga! Jam satu lebih. Aku besok kan masuk
pagi, ada upacara bendera pula. Takut bangun kesiangan, aku berusaha
memejamkan mata erat-erat. Kupaksa tidur.

“Aku hampir lupa berdoa.” gumamku lagi. Tapi kali ini aku berdoa
dengan isi yang agak berbeda dari biasanya.

“Ehm… Tuhan yang sungguh baik hati. Yang sungguh baik hati. Tidak ada
yang tidak mungkin bagi-Mu kan? Boleh aku minta Engkau turunkan
seorang kakak besok pagi di depan rumahku. Aku ingin diantarkan ke
sekolah oleh kakakku. Sekali saja. Aku kesepian Tuhan,”



“Oya, kalau boleh memilih. Tolong turunkan kakak laki-laki… Terima kasih.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!