Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 06 Maret 2011

Menunggu Harapan

Oleh: @rahmfath


Dua lilin yang bertengger di atas kue kotak berlapis coklat itu mempertontonkan nyala api kecil yang bertiup ke kiri dan kanan. Lilin merah berbentuk angka satu dan tujuh. Mereka seakan-akan menggodaku untuk meniupnya.
***
Ayahku bilang dengan tangannya yang tampak menari-nari di udara, aku cantik. Ia bangga memiliki putri tercantik di dunia. Selalu itu yang ia utarakan setiap hari ketika aku berada di pangkuannya. Ayahku orang yang hebat juga tampan. Aku bangga memiliki ayah seperti beliau.
Ibuku bilang dengan tangannya yang tampak menari-nari di udara, meskipun tanganku kidal, namun aku jauh lebih istimewa dibanding anak seumuranku lainnya. Dari tangan kiri inilah aku dapat menggoreskan kertas putih yang kosong menjadi penuh dengan imajinasiku yang tertuang disana. Kelak aku akan menjadi pelukis terkenal. Selalu itu yang ia utarakan setiap hari ketika ia menemaniku menggambar di kamar.
Itulah yang selalu mereka lakukan dimasa kecilku. Tahukah kalian, mereka selalu melakukannya hingga kini, hingga umurku yang menginjak remaja ini. Sudah tujuh belas tahun lamanya aku bersama mereka. Aku menyayangi mereka namun memang tidak bisa dibandingi dengan besarnya rasa sayang mereka terhadapku.
***
Rumahku tampak ramai. Banyak sanak saudara, sahabat, juga teman-temanku yang datang. Mereka terlihat glamour, begitu pula aku yang tak kalah glamour karena akulah si empunya acara. Hari ini aku merayakan umurku yang semakin berkurang. Aku memang sudah terbiasa dengan pesta ulang tahun karena orang tuaku selalu merayakan di setiap tahunnya. Namun kali ini berbeda. Lebih ramai, juga spesial karena umurku yang ke tujuh belas tahun ini.
Tidak ada yang berubah, hanya kondisi fisik dan umurku lah yang berbeda. Semua selalu sama setiap tahunnya. Mereka bertepuk tangan ketika aku meniup lilin yang berbentuk angka-angka itu. Selalu sama ketika kue dipotong lalu aku memberikannya kepada Mama juga Ayah terlebih dahulu sebelum aku membagikannya kepada teman-teman yang lain. Juga selalu sama, satu-satunya doa yang kucurahkan -sebelum meniup lilin-lilin itu- kepada Tuhan agar suatu saat dapat terkabulkan. Aku hanya ingin kedua telingaku dapat mendengar, agar aku terlepas dari sepi ini. Tujuh belas tahun yang kulalui benar-benar sepi. Aku tidak dapat mendengar apapun. Tahukah kalian seperti apa rasanya? Alat bantu pendengaran nyatanya sama sekali tidak membantuku untuk dapat mendengar. Ah, aku pasrahkan saja kepada Tuhan. Sepi ini memang amat sangat menyiksa. Tetapi aku yakin Tuhan akan memberikanku hadiah terbaik-Nya di umurku yang ketujuh belas tahun ini. Aku akan selalu menunggu harapan itu datang. Harapan dari Tuhan yang membebaskanku dari sepi ini.

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!