Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 03 Agustus 2011

Kejutan di Hari Spesial


Oleh Rahmi Afzhi Wefielananda (@Afzhi_)

Aku masih menunggu. Menunggu datangnya hari Selasa besok. Tepatnya
lima hari lagi. Hari dimana umurku semakin berkurang dan juga hari
pengumuman hasil lomba cerpen di majalah ABCD. Aku tidak sabar
menunggu hari itu. Aku berharap semoga Tuhan mengabulkan permintaanku
selama ini. Aku ingin menjadi pemenang di perlombaan cerpen itu. Aku
tidak memikirkan hadiahnya. Tetapi, prestasinya. Suatu kebanggaan
bagiku untuk melihat namaku dan cerpenku terpajang indah di majalah
ABCD, salah satu majalah terlaris di kotaku.
“Celsy, bangun! Sudah pagi. Katanya hari ini mau pergi sama Gagaga ke
toko buku? Majalah yang kamu incar terbit hari ini bukan?” Ibu
bersorak dari luar kamarku. Beliau tidak bisa masuk ke dalam. Pintu
kamarku, selalu kukunci dari dalam.
“Apa? Toko buku? Baik bu. Aku segera laksanakan perintah.” Aku merasa
selalu senang jika sudah datang hari ke toko buku. Bukan hanya untuk
membeli majalah ABCD, aku juga punya satu majalah langganan lagi,
majalah Ceritaku. Juga memuat tentang cerpen-cerpen yang selalu
kuharap ada cerpen hasil karyaku dimuat di sana. Selain itu,
akhir-akhir ini ada satu lagi alasan yang membuatku ingin ke toko
buku. Farid. Dia adalah keponakan pemilik toko, yang sedang libur
sekolah. Aku tidak pernah menyangka kalau wajah pemilik toko yang
biasa itu, memiliki keponakan yang wajahnya bisa membuatku
berbunga-bunga jika melihatnya. Mukanya bulat, matanya sipit,
hidungnya nggak terlalu pesek, rambutnya pendek, dan cara berbicaranya
yang bersahabat. Kalau sudah ngomong sama dia, terasa sudah kenal
bertahun-tahun deh. Duh, aku jadi teringat saat-saat pertama kali
melihat wajahnya.
***
“Om Winu mana ya? Kok nggak ada? Aku mau bayar nih,” omelku pada orang
baru itu. Tampaknya seumuran denganku. Makanya aku bisa berlaku santai
kepadanya.
“Kalo mau bayar, sama gue juga bisa kok. Lo kira gue nggak bisa
ngitung apa?” Jawabnya dengan nada menyindir sambil tersenyum usil.
“Emang lo siapa? Kenal juga enggak. Pegawainya Om Winu nggak ada yang
wajahnya mirip lo tuh.”
“Lo kalo ngomong asal banget ya. Masa udah ngira gue nggak bisa
ngitung, sekarang lo bilang wajah gue mirip pegawai toko. Ketuaan
banget tau. Umur gue masih 16 tahun. Gue keponakannya Om Winu.”
“Oh, maaf. Bilang dong. Gue kira lo tukang hipnotis yang kaya di
teve-teve. Makanya gue nggak terlalu ngeh sama lo.”
“Ok deh. Ini yang pertama dan yang terakhirnya lo cari masalah sama
gue. Sini bukunya. Gue itung semuanya,” aku langsung menyodorkan dua
majalahku kepada orang yang berdiri di depanku ini.
“Tiga puluh lima ribu,” ujarnya setelah menghitung belanjaanku di
kalkulator di sampingnya. “Oh ya, besok-besok kalau belanja di sini,
ingat gue ya. Nama gue Farid. Jangan di kira tukang hipnotis lagi,”
lanjutnya.
“Ya. Nih uangnya,” ujarku sambil menyodorkan sejumlah uang yang
dimintanya lalu beranjak keluar toko dengan sedikit kesal. Masa ada
sih cowo sebawel itu?
Malamnya, aku teringat dengan Farid. Aku tidak tahu mengapa. Aku ingat
dengan semua kejadian tadi siang. Dan entah mengapa pula, rasanya aku
ingin kembali ke toko buku itu lagi besoknya. Membeli majalah atau
sekedar lihat-lihat aja. Yang penting, bisa ketemu sama Farid lagi.
***
Aku baru selesai sarapan pagi dengan keluargaku. Tak berapa lama
kemudian, suara ketokan pintu dan ucapan salam dari beberapa anak
perempuan yang tergabung dalam Gadis-gadis bahagia atau Gagaga
terdengar di telingaku. “Itu mereka. Mereka sudah datang. Aku pergi
dulu ya Yah, Bu,” aku segera menciumi tangan kedua orang tuaku dan
berlari keluar pintu rumah.
“Jadi pergi ke toko buku juga nih?” Vani membuka pembicaraan pagi itu.
“Iya dong. Aku mau kenalin kalian ke orang itu,” jawabku mantap.
“Emang kamu udah ketemu berapa kali sih sama dia?” Giliran Poppy yang
mengajukan pertanyaan.
“Baru tiga kali. Tapi rasanya kita udah deket banget. Udah tau satu
sama lain aja rasanya.” “
Jadi, dia udah nembak elo?” Kinta yang selalu antusias jika seseorang
baru jadian bertanya berapi-api.
“Belum kok. Siapa bilang? Yuk ah. Cepetan.”
Setibanya di tempat tujuan, aku langsung menyapa Farid.
Memperkenalkannya kepada teman-temanku. Farid tampaknya tidak sungkan.
Malah sekilas tampak seperti orang yang sudah kenal lama dengan
teman-temanku. Lama kami bercerita-cerita setelah aku membeli majalah
yang kukatakan tadi. Menyenangkan. Jarang ada waktu buat ngobrol
santai bareng Farid kaya gini.
“Eh Cel, coba buka deh majalah itu. Siapa tahu, ada cerpen lo yang
mejeng di sana,” Farid seperti tahu apa yang kuinginkan. Krek, krek.
Kubuka plastik pembungkusnya. Kutelusuri halamannya satu persatu.
Namun, hasilnya nihil. “Nggak papa. Nggak usah dipikirin amat, Cel.
Mungkin majalah yang satu lagi, bakalan jadiin lo juara minggu depan,”
teman-temanku kaget melihat pengetahuan Farid tentangku. Mereka saja
tidak tahu tentang hal ini. “Ajaib, Cel. Si Farid kayanya udah tahu
semua seluk beluk hidup lo ya. Hehehehe,” ejek Poppy.
***
Lima hari berikutnya. Aku datang lagi ke toko itu. Di hari ulang
tahunku. Berharap akan mendapati cerpenku bisa membahagiakanku hari
ini. Kapan lagi aku akan menjadi pemenang lomba cerpen kan? Aku
melangkah memasuki toko. Mencari majalah ABCD. Dan… itu dia. Aku
dapat. Langsung aku menuju tempat pembayaran. Lagi-lagi ada Farid di
sana. “Ayo! Buka sekarang,” Farid berkata berapi-api. Seperti dia yang
ikut perlombaa itu. Satu...dua...tiga... aku buka perlahan-lahan
majalah itu. Dan ternyata hasilnya... yes! Aku juara 3. “Aku menang,
Rid. Aku berhasil,” ujarku kegirangan.
“Hah? Beneran? Kalau gitu selamat ya. Terus selamat ulang tahun juga.
Nih buat kamu. Hadiah karena keberhasilanmu dan ulang tahunmu. Hmmm,
BTW kamu mau nggak jadi pacar aku?” Farid memberikan sebatang cokelat
dengan pertanyaan yang membuatku ternganga. Aku diam. Tak berkata satu
patah pun.
“Ok, kalau kamu nerima aku, kamu terima cokelat ini. Kalau nggak,
jangan terima cokelatnya.” Ragu pastinya. Namun, beberapa saat
kemudian, aku mengambil cokelat itu dari tangan Farid. Nampaknya Farid
gembira. Aku pun juga begitu. Di hari ulang tahunk, aku mendapat dua
kado spesial. Terima kasih Tuhan■

2 komentar:

  1. Penulis terlihat sangat antusias dalam mengerjakan naskahnya. Semangat itu adalah salah satu hal yang paling penting dalam menulis, lho! Tanpanya, nggak bakal deh naskah beratus-ratus halaman beres! :D

    Yang perlu diperhatikan adalah banyaknya kalimat pendek-pendek di seluruh cerita. Membacanya menjadi memerlukan energi dan kesabaran ekstra karena terkesan terputus-putus.
    Kalimat yang singkat dan lugas memang SANGAT BAIK digunakan untuk menggambarkan adegan dengan tempo cepat. Misalnya adegan kejar-kejaran, adegan dengan suspense tinggi, atau adegan yang menakutkan.

    Akan tetapi untuk menggunakannya di seluruh badan cerita, nampaknya bukan merupakan keputusan yang baik. Ada baiknya jika penulis belajar merangkai kalimat menjadi lebih kompleks menggunakan tanda baca koma (,) dan kata sambung seperti 'dan', 'atau', 'akan tetapi', 'meskipun', dsb

    Perlu diingat, kalimat yg dibuat jangan terlalu kompleks juga, nanti bingung bacanya :)

    BalasHapus
  2. Terima kasih writing session atas komentarnya.

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!