Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 01 Juni 2011

Kamu itu manis.

Oleh: Jenny Thalia Faurine (@JennyThaliaF)

Kamu itu manis.

Ingin sekali aku dipuji seperti itu. Tapi aku sadar, aku ini kan jelek. Tidak cantik apalagi manis. Aku hanya gadis biasa. Dengan tinggi tubuh yang cenderung pendek. Kulit yang tidak putih. Hidung ku pun juga tak bangir seperti teman-temanku yang cantik secantik dewi kahyangan itu.

Ups, oke, aku mulai berlebihan.

Tapi itu lah kenyataannya. Sampai umur 17 tahun seperti ini, aku belum pernah pacaran sama sekali. Tak ada yang tertarik padaku. Tak ada yang pernah bilang aku ini cantik atau manis.

Aku ingin sekali ada yang bilang bahwa aku ini cantik.

Kapan itu terjadi?

Hhh, sudah sudah. Lupakan ini semua!
***
Brak!

"Please, jalan liat-liat dong..." kataku sambil menahan marah. Kalimat klise yang pasti keluar kalau aku bertabrakan dengan seseorang.
Cowok itu hanya menatapku sekilas--yang aku yakin bahkan ia akan lupa dengan diriku kalau ia sudah tak melihatku lagi--lalu pergi dengan seenaknya.
Aku menghela napas. Dasar cowok! Makiku dalam hati.
Koridor sekolah masih ramai dengan murid yang hilir mudik. Ada yang berjalan ke kafetaria, lapangan, dan tentu saja ke arah gerbang sekolah. Ini sudah jam pulang sekolah.
Aku berjalan kembali menuju gerbang, pulang. Seperti biasa.

Datar tidak sih hidupku?
***
"Woy!!"
Aku tersentak kaget, apa-apaan sih cowok ini? Aku mendelik ke arahnya dengan tatapan sinis. Cowok itu terlihat kotor, seragamnya penuh lumpur. Rambutnya pun acak-acakan. Tapi dalam hati aku mengakui, dalam keadaan seperti itu, ia tetap tampan kok. Hidungnya yang bangir dan matanya yang ekspresif itu, makin mendukung penampilannya. Tinggi tubuhnya pun ideal. Kulitnya kecokelatan--ala tennis tan. Mungkin dia sering bermain tenis.
"Daritadi gue panggilin, gak nengok-nengok juga. Jangan bengong dong."
Aku hanya tersenyum kecut. "Ini kan taman umum, bebas dong gue mau ngapain." elakku.
"Yee, tapi gak juga harus bengong kali."
"Terus lo mau ngapain manggil gue? Kenal juga enggak."
Ia menunjuk ke arah bola yang ada di hadapanku, aku baru sadar ada bola itu. "Itu. Daritadi aku minta ambilin, lo gak denger-denger."
Setelah itu ia langsung mengambil bolanya dan pergi ke tengah taman yang sekarang dijadikan lapangan sepak bola dadakan.
"Hey, lo gak mau minta maaf apa soal tempo hari? Lo kan udah nabrak gue!" seruku tak tahan.
"Kalo gitu sorry deh!!"
Dasar cowok gak jelas!
***
"Kannya, kamu sekelompok sama... ah, Daniel."
Aku menautkan alis, tak tau yang namanya Daniel. Saat aku menoleh mencari ke sekeliling kelas, ternyata cowok yang waktu itu menabrakku dan kutemui di taman!
Jadi namanya Daniel?
Aku hanya mengangguk, aku tak berharap sih sekelompok sama dia. Dan... kok aku baru sadar ya kalau aku sekelas dengannya? Padahal sudah sekitar dua minggu aku di kelas baruku ini. Ya , ketika kelas dua, kami semua diacak, jadi, aku punya kelas dan teman-teman baru.
"Jadi nama lo Kannya? Kayak nama penyanyi gitu ya?" godanya di tengah-tengah keseriusanku mengerjakan tugas Biologi ini.
"Itu Kanye West. Beda jauh."
Kami hanya tertawa. Saat Daniel tertawa, ada lesung pipi yang muncul.
"Nah gitu dong, ketawa kek sekali-sekali. Kan manis kalo ketawa." ujarnya yang langsung membuatku tersipu malu dan melanjutkan lagi tugas itu dengan... sedikit gugup?
Entahlah.
"Kalo di kelas, elo diem banget. Kalo lo enjoy kayak gini kan, enak. Ketawa itu bikin sehat lho."
"Sok tau lo." gumamku pelan.
"Yee, gak percaya."
"Hei, jangan makan melulu dong. Bantuin nih." kataku sambil menyodorkan buku Biologi yang sudah membuatku mual itu.
Ia tertawa lalu mengambil pulpen dan buku itu. Gantinya, ia malah menyodorkan sebatang permen lolipop kepadaku. "Nih, sementara gue ngerjain, makan aja itu. Biar mood lo gak jelek-jelek amat dan gak suram kayak biasanya."
Ia sukses membuatku tertawa dan memakan permen itu.
***
5 tahun kemudian...
"Ih, dari dulu lo seneng banget deh melamun di sini."
Aku mengangkat bahu sambil tersenyum kepadanya. "Seneng aja, belum sampe kesurupan ini kok."
"Tapi gak apa-apa sih, kalo lo bengong gitu, lo juga keliatan manis kok. Tapi lebih manis lagi kalo lagi senyum sambil makan permen dari gue." katanya penuh percaya diri.
Aku menonjok pelan lengannya. "Dasar gombal. Dari jaman SMA, gak berubah deh."
Daniel menaikkan alisnya. "Tapi suka kan?"
Aku tertawa.
"Gue seneng deh, kita dulu ketemu dan sampe sekarang masih pacaran." ujarnya. Ia memainkan jemariku, lalu berhenti di jari manisku yang tersemat cincin platina bermata blue safir. Itu cincin darinya.
Entah bagaimana caranya, semenjak pertama kali bicara dengannya, kami lama-kelamaan dekat. Aku suka ada di dekatnya. Ia selalu menjagaku, menemaniku, dan membuatku tersenyum. Ia membuatku melupakan semua 'keminderan'ku akan kondisi fisikku.
"Dari dulu sampe sekarang, lo selaluuu aja ngasih gue permen. Gak takut apa kalo gigi gue jadi rontok semua?"
"Biar elo lebih manis, tau. Eh, tapi tanpa permen aja, lo udah manis kok. Lebih manis dari permen..."
"Tuh kan, mulai lagi gombalnya."
Kami tertawa. Senja di taman itu kembali mengisi satu lembaran hidupku dengannya. Hidupku tidak datar kok. Dan hidupku... manis, tentu saja. :)
Ia tersenyum padaku, matanya memantulkan pendaran senja yang mulai kembali ke peraduan. "Kamu manis. Pasti tau tentang fakta itu kan?"
Aku balas tersenyum.
Kamu manis. Aku ingin dia terus mengucapkan itu padaku.
***
Selasa. 310511. 10:06 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!