Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 25 Juni 2011

Bohong



Oleh: Yudho Murphy Hrp

            Aku mendekati ayah dan berkata, “Yah, apa ayah akan memulai hari ini dengan kebohongan?“. Ya, itu pasti jawaban yang akan diberikannya. Percakapan kecil yang menggambarkan masalah yang kuhadapi di rumah. Bohong. Entah harus berapa kali aku pindah sekolah hanya gara-gara keluargaku melakukan kebohongan. Ini sungguh-sungguh masalah yang merusak hidupku. Ayahku sangat gembira setelah berhasil membohongi seseorang sekalipun ia harus dipenjara karena itu. “Aku senang melihat orang percaya apa yang kukatakan sampai ia sendiri terheran-heran dan akhirnya percaya“ itulah yang dikatakannya kalau aku tanya alasannya berbohong. Lain halnya dengan ibuku, ia penggemar terbesar dari kata bohong. “Aku menemukan kegembiraan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.“ Aneh, menurutku. Kalau aku tanya Suri jawabannya lebih aneh lagi. “Bohong dapat melatih aku untuk berakting.“ Bisa dibilang Vera itu pantas menerima piala oscar untuk akting hebatnya dalam membohongi orang. Menangis darah pun ia bisa kalau membohongi orang.
           
Sudah berbagai saran dari berjuta-juta ahli aku ikuti, tapi tidak ada satu saran pun yang berhasil menyembuhkan mereka dari kebohongan. Aku bahkan sampai berpikir bahwa mereka itu bohong menjadi keluargaku. Itu harapan yang amat kosong bagiku. Tapi aku masih mengharapkannya sampai detik ini. Apa kau bisa hidup jika seluruh orang yang ada didunia ini benci kepada keluargamu. Aku tidak melebih-lebihkan, percayalah karena itu semua benar. Rumahku penuh dengan lemparan tomat dan tulisan yang berisi kata-kata yang mengupat keluargaku. Ini semua karena bualan ayah sudah membuat orang habis kesabaran. Mungkin aku akan pindah hari ini karena keadaan sudah amat gawat.
            “Kapan kita akan pindah?“ Tanyaku pada ayah.
            “Sampai seluruh barang yang ada dirumah ini dibuang ke luar rumah.” Jawabnya santai. Apa? Itu yang langsung terlintas dipikiranku.
            “Tapi… Yah…” Kata-kataku terpotong dengan lototan ayah yang berarti ‘cepat pergi sekolah, Putra’.

Aku benci jika harus pergi sekolah. Tidak ada satu orang pun yang mau berteman denganku. Maksudku semua orang yang ada di sekolahku. Aku ini virus dari kebohongan itu yang selalu mereka katakan jika aku ingin berteman dengan mereka. Kakakku, Suri satu sekolah denganku. Banyak hal yang membuatku malu karena ulahnya yang amat bodoh. Tapi masih ada satu hal yang membuatku bangga memiliki kakak seperti Suri. Ia adalah artis di masa yang akan datang. Ia sangat hebat dalam berakting. Semua peran dapat dilakoninya dengan amat baik di setiap pementasan drama yang ada di sekolahku. Bohong itu tidak selamanya merugikan, ya? Aku tidak mengerti dengan perasaan yang berkecambuk didalam hatiku. Kadang jika melihat Suri entah mengapa aku merasa ia adalah sosok kakak yang terbaik di berikan Tuhan kepadaku. Begitu juga dengan Ibu sentuhan lembut tangannya membuatku jatuh ke dalam indahnya mimpi. Meskipun Ayahku adalah pembual, tapi ia selalu siap untuk melindungi kami, keluarganya.
           
Aku sangat iri kalau melihat seluruh orang disekolah pulang bersama teman-temannya. Tertawa bersama, menangis bersama, bercanda bersama dan semua hal menyenangkan lainnya bersama-sama. Ingin rasaya aku pulang bersama-sama teman yang mau menghargai dan menerimaku apa adanya meskipun keluargaku adalah keluarga yang amat dibenci. Satu lagi harapan kosong yang aku punya. Di saat pulang sekolah seperti ini aku selalu pulang bersama Suri. Hari ini aku terbebas dari Suri, ia tidak sekolah. Malas. Itu katanya dan yang parahnya ayah dan ibuku mengizinkannya. Tidak seperti biasanya Ibu mau memberikan izin untuk bolos sekolah. Jika 1 tahun ada 320 hari sekolah, aku dan Suri tidak boleh bolos satu hari pun apapun alasannya.   

            Ada apa dan apa yang akan terjadi  terus menggangu kepalaku. Perjalanan menuju rumah yang biasanya berjalan dalam hitungan menit menjadi hitungan detik. Apa yang kutakutkan selama ini terjadi. Semua warga berkumpul di depan dirumahku. Mereka menerubungi keluargaku.

            “Dasar pembohong!” Teriak mereka sambil meludahi.
            “Hentikan!” Aku berlari menerobos kerumunan mereka. Ibu memeluk Suri erat seakan mereka berada di arus sungai yang deras. Ayah di depan mereka seperti anjing yang siap menerkam siapa saja yang menyentuh orang yang dicintanya.
            “Pergi dari sini. Kalian sungguh memalukan, menyebarkan hal-hal bohong di lingkungan ini; rusa yang bisa bernyanyi, alien yang membunuh jutaan manusia di halaman belakang, dan meneror semua warga dengan rumor penyakit mano-entah apa itu! Apa-apan!” Orang paling depan berteriak sejadi-jadinya di depan muka Ayah. Aku tidak suka melihat Ayah tidak melawan hinaan dia, bukan seperti yah yang ku kenal selama ini.
            “Jangan salahkan mereka hanya karena mereke memiliki otak yang lebih besar dari kalian semua.” Aku berteriak sambil berlari menerobos ke arah ayah. Keadaan bertambah buruk akibat ucapanku, semua orang yang ada di situ merasa terhina. Mereka bergerak semakin kedepan untuk menghajar kami semua. Aku jatuh ke kaki Ayah akibat dorongan yang begitu besar.
            “Hentikan! Kami akan pergi sekarang, jika kalian menyentuh anakku membunuh kalian semua. Lagipula, lingkungan ini tak pantas bagi pengetahuan kami.” Ayah berteriak dan seketika semua kerusuhan berganti menjadi cemooh menghina ke keluarga.
           
Kami pun mengambil barang-barang yang berserakan di jalanan. Setelah itu kamipun pergi meninggalkan rumah yang amat kami cintai. Kurasa ini adalah kejadian yang amat berharga bagi keluargaku. Aku harus mengabadikan ini pikirku. Kurasa mereka tahu akibat dari apa yang mereka lakukan.
            “Kemana kita pergi sekarang?” Tanyaku. Ayah menunjukkan sebuah hotel yang amat mewah kepada kami. Apa? Itu yang langsung kukatakan dengan mulut ternganga. Jauh beda dengan reaksi Ibu dan Suri yang seolah-olah berkata ‘ayolah’.
            “Tapi…” Kata-kataku terhenti. Kali ini ayah menunjukkan uang yang amat banyak di dalam tasnya kepadaku.
            “Dari…” Lanjutku.
            “Aku sudah tahu akan terjadi hal seperti ini jadi Aku mempersiapkan uang untuk jaga-jaga.” Katanya santai. Sungguh konyol memang, meskipun bohong adalah hobi mereka,  mereka adalah keluargaku yang amat kucintai.
            “Kalau kalian suka berbohong kenapa kalian tidak membohongi aku saja. Jadi kitakan gak perlu susah seperti ini.”
            “Putra, kau adalah keluarga kami. Keluarga itu gak ada yang boleh saling membohongi satu sama lain. Kita itu harus jujur dan terbuka. Karena kita adalah keluarga. Mengerti?” Aku diam. Karena kita adalah keluarga. Satu kalimat konyol yang dapat merubah pandanganku terhadap mereka. Meskipun keluargamu tidak normal kau harus menerima mereka karena mereka adalah keluargamu. Mungkin itu pesan yang kau dapat dari kisahku ini. Mungkin? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!