Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 29 Juni 2011

RAHASIA KITA


Oleh Jama'atun Rohmah (@MissRohmah)

Mutia terduduk lemas di tepi ranjangnya. Pandangan matanya kosong,
begitu juga hatinya. Hasil rapat keluarga barusan bagaikan petir di
siang hari, yang mendadak tanpa didahului oleh mendung atau gerimis.
Keluarganya sepakat untuk menikahkannya dengan pria itu. Pria yang
hanya dia temui sekali. Dia merasa dibohongi, tak pernah terpikir
olehnya kalau bersedia bertemu artinya setuju untuk menikah.
“3 bulan lagi.”
Dia mendesah. Dia hanya punya waktu 3 bulan untuk mengubah statusnya
dari lajang menjadi menikah. 3 bulan? Dia bahkan belum mengenal pria
itu dan sekarang dia harus menyebutnya sebagai calon suami. Tanpa dia
sadari dia sesenggukan.
Lalu dia meraih HP di atas meja, masuk ke menu whatsapp dan mencari
nama Agra. Hanya dia yang terpikir untuk dia hubungi malam itu.
“mas, kamu di mana sekarang?”
Lima menit kemudian.
“ini baru pulang kerja. Ada apa?”
Mutia menimbang sejenak, perlu menceritakan tentang perjodohan ini
atau tidak. Akal sehatnya melarang untuk melakukan itu, namun dorongan
untuk mengeluarkan uneg-unegnya begitu besar. Ah bodoh amat. Pikirnya
kemudian.
“besok siang bisa ketemu ngga?
Aku butuh bantuanmu.”
Agra membalas.
“bantuan apa? Ngga ngomong sekarang aja?”

“ngga. besok kita makan siang di dekat kantormu ya.”

“ok.”

Siang itu Mutia sengaja meninggalkan kantornya lebih awal, toh
pekerjaannya sudah selesai. Dia melarikan motornya dengan kecepatan
sedang menuju ke sebuah resto keluarga yang terletak persis di samping
bank tempat Agra bekerja. Agra sudah menunggunya di sana. dia bahkan
sudah memesan makanan untuk mereka berdua. agra sudah hafal dengan
menu favorit Mutia. Ikan bakar bumbu rujak dengan sayur asam yang
segar.
“Jadi ada apa?”
“Aku akan dijodohkan?”
Agra tidak langsung menjawab. Dia menatap Mutia lama, dahinya berkerut
dan matanya seolah menyiratkan banyak pertanyaan.
“Kamu? dijodohkan?”
Mutia mengangguk, lemah.
“Sebentar aku tertawa dulu ya… sukses banget nih kamu menghiburku.”
Agra tertawa terbahak-bahak hingga sempat menarik perhatian pengunjung
lain yang langsung menoleh ke arah mereka. Namun tawanya kemudian
menghilang, bukan karena risih dengan pandangan orang di sekitarnya
melainkan melihat ekspresi wajah Mutia yang tetap kusut dan lesu. Dia
bahkan belum tersenyum sejak Agra bertemu dengannya di sini. Mutia itu
‘kan biasanya banyak tertawa dan hampir tidak pernah Agra melihatnya
tanpa senyum.
“Kamu serius?”
“Jadi kamu kira aku jauh-jauh ke sini hanya untuk bercanda?”
“Kukira kamu hanya mencari alasan untuk makan siang denganku.”
Mutia melemparkan tatapan kesal padanya, bibirnya mengerucut dan
matanya melirik ke arah lain. Agra jadi serius menghadapinya.
“Jadi?”
“Aku ngga mau, Gra. Gila apa aku harus menikah dengan orang yang ngga
aku kenal? Dan hanya dalam waktu 3 bulan?”
Mutia mulai bercerita awal mula ide perjodohan ini. Ibunya mengatakan
ada seorang anak temannya yang ingin berkenalan dengannya. Mutia
menyanggupinya. Tidak disangka itu adalah awal musibah baginya.
Ternyata setelah melihatnya sekali pria itu sudah hendak melamarnya.
Sampai di situ Mutia terisak. Agra terdiam. Kedua tangannya yang
tertumpu di atas meja saling terkait dan kedua jempolnya sesekali
saling bergesek.
“Kamu ngga bilang ke orangtuamu kalau ngga mau?”
“Sudah. Tapi mereka bilang aku tetap harus menikah dengannya.”
“Ya sudah kamu menikah saja.”
“Ya sudah kamu menikah saja? Kamu sudah gila ya? menikah dengan orang
yang aku ngga kenal.”
“Jadi intinya? Apa peranku di drama perjodohan ini?”
“Kamu dan teman-temanmu ‘kan punya proyek pembangunan ruko di Madiun,
beri aku pekerjaan di sana. kalau hanya mengurusi administrasi ringan
aku bisa banget. Aku akan resign dari kantorku hari ini juga biar
bulan depan sudah bisa kerja denganmu.”
Agra yang sedang menyesap es jeruknya langsung tersedak.
“Apa?”
“Kurang jelas? Beri aku pekerjaan!” ujarnya dengan nada judes.
“Tia, kamu serius?”
Mutia mengangguk. “Aku ngga mau menikah. Titik. Dan jika tetap harus
dipaksa maka aku terpaksa pergi dari rumah.”
“Hm… ngga heran. Kamu banget.”
“Jadi ada pekerjaan untuk aku, ‘kan?”
“Tentu saja ada. Kalau tidak ada kamu pasti akan membunuhku sekarang juga.”
“Baguslah kalau kamu tahu diri.”
Agra melotot kesal.
“Oh ya, ingat ini adalah rahasia kita. Jangan ngadu ke orangtuaku.”
“Iyaaaa…”
“Good boy.”
“Ya sudah sekarang kamu makan dulu. Jangan sampai pingsan di tengah jalan.”
“Tentu saja, aku sudah lapar sekali.”
Kini wajah Mutia kembali cerah. Dia akan terbebas dari perjodohan yang
menurutnya tidak masuk akal itu. Dan dia tahu dia bisa mengandalkan
Agra. Kakak seniornya di SMA yang masih bersahabat baik dengannya
hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!