Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 19 Juni 2011

Telat

Oleh D. Purwanningrum (@dinarisni)


Juni 2011
Hari ini sudah masuk awal bulan kedua. Dan dia, masih tetap sama seperti kali pertama. Masih dengan senyum manis dan tatapan syahdu yang berhasil menggetarkan kalbu. Tidak ada komentar, kritik dan saran. Masih seperti biasanya. Bahkan seakan seperti tak terjadi apa-apa.
Terkadang, aku pun ingin seperti dirinya. Tetap memasang senyum manis dan menatap mesra kepadanya. Sama seperti saat kami pertama berjumpa. Sama sekali tidak ingin berpikir macam-macam.
Aku masih dengan kebiasaanku. Bangun pagi, beres-beres rumah, mandi, sarapan bersama perempuan paruh baya yang sudah ku anggap ibuku sendiri. Kebiasaan yang aku lakukan selama seminggu.
Saat berangkat, perempuan paruh baya ini menatapku iba. Seakan wajahku ini sungguh pantas untuk dikasihani. Matanya tak lepas dari ujung rambut sampai kaki. Susah memang kalau sendiri di usia yang sudah tidak muda lagi.
“Dina berangkat dulu, bu. Insya allah, nanti malam mas Febri sudah pulang”.
Perempuan paruh baya itu tersenyum, sambil melepas kepergianku ke kantor.

“Kamu sudah ke dokter??”.
Aku menggeleng. Buat apa?? Sebulan yang lalu pun aku sudah kesana. Dan dokter menyatakan semuanya dalam keadaan baik-baik saja.
“Besok lagi, jangan pulang terlalu malam. Kalau bisa, sebelum magrib sudah dirumah”, lanjutnya.
Aku meringkuk dipelukan mas Febri. Menghirup aroma badannya yang masih sama seperti seminggu yang lalu. Bahkan mungkin tidak berubah sejak sebulan belakangan ini. Dan mungkin inilah yang selama ini aku rindukan.
Mendadak perutku bergejolak. Rasanya mual. Ingin muntah. Otakku secara otomatis me-rewind apa saja yang aku makan seharian. Sarapan, masih tetap dengan tumis tauge, dan berbagai macam sayuran yang memang ibu siapkan selama sebulan ini. Makan siang, dengan sup buntut favorit didepan kantor. Makan malam, dengan empek-empek oleh-oleh dari Mas Febri dan segelas telur setengah matang. Jangan-jangan keracunan??
Rasa mual tak kunjung henti. Apalagi aroma rumah sakit macam ini, sukses memancing hasratku untuk terus muntah. Ibu tak henti menggosok-gosok punggung dan leher belakangku. Mas Febri terus melihat keadaanku. Di matanya, aku melihat kekhawatiran. Ya, dia khawatir dengan keadaanku.
“Selamat, pak. Istri anda hamil”. Seorang dokter jaga menjabat tangan Mas Febri. Dan lagi-lagi Mas Febri menatapku gusar.
“Iya, mas. Sudah sebulan ini aku telat”.
Ibu menatap dan memelukku hangat. Pelukan yang sama kurasakan saat aku sah menjadi istri Mas Febri. Tatapan hangat yang selama dua bulan ini hilang, akhirnya kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!