Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 29 Juni 2011

Ups!


Oleh melissa olivia (@moliviatjia)

"Hmmm, kyknya kamu harus curiga deh, Len. Jangan terlalu 100 persen percaya sama dia. Masa tiap kali pulang malam atau batalin janji, alasannya rapat melulu? Udah keseringan kaleee...," tutur Rika mengompori.

"Hush! Jangan sembarangan ngomong! Berpikir negatif tuh nggak baik tahu, Rik. Salah-salah nanti kamu yang kena batunya! Mau kamu dituduh penyebab rusaknya rumah tangga orang?" tukas Yola. Ya, Yola memang sosok yang selalu berpikir positif dan selalu menempatkan diri di posisi netral. Dia tipe yang bijaksana.

"Ya siapa tahu, kan? Laki jaman sekarang susah dipercaya, La! Kamu beruntung dapat suami yang nggak neko-neko. Sayang dan setia sama kamu." Rika mencibir, membela diri.

Wajar saja Rika berpikir begitu, karena ia memang pernah beberapa kali dikhianati kekasihnya. Entah kenapa kisah cintanya tak pernah berjalan mulus. Maka itu, ia agak antipati terhadap pernikahan. Takut gagal, dalihnya. Jadi, dia memilih menjomblo saja hingga kini.

Tinggallah Lena termangu. Tak tahu mana yang harus ia dengar. Di satu sisi, ia juga sudah mulai curiga belakangan ini suaminya kerap pulang malam atau membatalkan janji dengan alasan meeting mendadak. Istri mana yang tidak khawatir ataupun curiga? Apalagi, sudah 2 tahun mereka menikah, tapi rahim Lena masih saja kosong.

Lena tergugu. Ia merasa resah dan tak percaya diri. Ia takut suaminya sudah tidak mencintainya lagi dan berpaling ke wanita lain. Pikiran buruk mulai menghantui otaknya.

"Len? Len?" Yola mengibaskan tangannya di depan wajah Lena. Segera Lena tersadar dari lamunannya.

"Ya sudah toh, nggak usah terlalu dipikirin omongan ngawur Rika. Kamu harus percaya sama suami kamu. Kalau kamu ragu, tanyakan, bicara baik-baik. Pasti suamimu akan menjawab jujur," ujar Yola lagi.

Lena tersenyum tipis. Keraguan masih membayangi hatinya. "Makasih, La."

***

"Besok aku akan pulang malam, Len. Aku ada meeting di hotel Sayuri. Kamu langsung tidur aja. Nggak usah tunggu aku," kata Adnan.

"Kok pulang malam terus, sih? Emang kamu rapat dari jam berapa? Nggak bisa meeting di siang hari?" tanya Lena penasaran.

"Itu dia, sayang. Klienku itu sangat sibuk di jam kantor, jadi dia cuma bisa rapat tentang proyek kita selepas jam kerja," jawab Adnan sabar.

"Lagi ada proyek apa?"

Adnan tersenyum. "Proyek pembangunan perumahan yang mau dibangun dalam waktu dekat. Sudah malam, tidur yuk," tukas Adnan sembari mencium kening Lena. "Selamat malam, sayang," bisiknya.

Lena mengangguk perlahan dan berbalik. Hatinya benar-benar tak karuan. Ia tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Mendengar kata hotel, segera membuat imaji-imaji buruk bergentayangan di benaknya.

Sudahlah, daripada aku resah begini terus, lebih baik besok aku ikuti dia. Benar atau tidak dia meeting, putusnya dalam hati.

***

Sejak jam 4 sore, Lena sudah mengamati area lobby hotel tempat pertemuan suaminya dengan klien misterius itu dari dalam taksi yang ditumpanginya.

Dua jam kemudian, masih belum tampak batang hidung Adnan. Ia gelisah. Ia putuskan turun dan bertanya pada resepsionis, apakah ada yang booking kamar atas nama suaminya. Hatinya semakin tak karuan. Jantung berdegup kencang, takut mendengar berita yang tak ingin didengarnya.

Resepsionis berkata tidak ada. Makin cemas saja pikiran Lena. Apakah Adnan berbohong padanya? Atau ia memakai nama lain? Jangan-jangan kliennya ini seorang wanita. Jangan-jangan dia bukan klien, tapi selingkuhan suaminya. Jangan-jangan...

Tepat saat kepala Lena terasa pening, ia menangkap sesosok raga yang sudah tak asing. Adnan! Dan... Seorang wanita! Lena terkesiap. Nyaris saja ia terhuyung jatuh jika tak segera berpegangan pada meja respsionis. Dadanya terasa sesak. Hatinya terbakar rasa sakit. Ia berbalik, tak ingin tepergok suaminya. Dari sudut matanya ia melihat suaminya membimbing wanita itu ke sebuah lounge di hotel itu. Mereka berbicara akrab sekali.

"Lena?" Sebuah suara yang sangat akrab memanggilnya. Lena tersentak kaget. Ia bergeming. Bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan pada suaminya? Bagian ini di luar skenarionya. Buru-buru ia mengusap air matanya yang hendak jatuh.

Tangan Adnan menyentuh pundaknya, mengarahkannya agar Lena berbalik.

"Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu kelihatan pucat begini? Kamu sakit, hah?" Suara Adnan terdengar khawatir. Tangan dan matanya memeriksa wajah Lena.

Dengan tergagap, Lena menjawab, "A-aku nggak apa-apa... Ha-hanya sedikit kurang enak badan saja. Ma-maaf udah mengganggu waktu kamu. Kamu meeting saja dulu. Aku akan pulang..."

Baru saja Lena hendak melangkahkan kaki, terdengar sahutan, "Istri Anda, Pak Adnan?" Wanita itu, yang tadi berjalan beriringan dengan suaminya.

"Ah, iya. Dia istri saya, Bu Mita. Perkenalkan, Lena."

Mau tak mau, Lena mengulurkan tangan, berusaha tersenyum, "Lena. Senang berkenalan dengan Anda." Wanita yang bernama Mita ini kelihatannya tak berbeda jauh darinya. Muda, ramah, elegan, dan terlihat berkharisma. Siapa dia?

"Mita. Senang berkenalan dengan Anda. Wah, ternyata Anda lebih cantik dari yang saya bayangkan. Pantas Pak Adnan sering sekali bercerita dan begitu memuja Anda. Kalian benar-benar serasi. Pantas aja, dia berkali-kali minta rapat di siang hari. Rupanya nggak tahan tinggalin istri lama-lama. Wong istrinya geulis begini. Saya jadi iri. Haha... Maaf ya, Bu Lena... Saya cuma bisanya setelah jam kantor, jadi suami ibu harus pulang malam terus... Jangan marah yah...," guraunya. Renyah dan bersahabat sekali suaranya. Lena melirik suaminya yang tersipu malu.

Lena tersenyum. "Ah, tidak, Bu... Tidak apa-apa," dustanya. Kenyataannya ia nyaris saja tidak percaya pada suaminya sendiri dan bepikir yang bukan-bukan.

"Ah, Bu Mita bisa saja. Jangan bongkar rahasia, dong. Saya jadi malu," jawab Adnan sumringah dan merangkul Lena erat. "Bu Mita dan suami juga, kok," balas Adnan.

"Hahaha... Bisa aja. Masih kalahlah sama Anda... Ohya, kenapa kita jadi berdiri di sini? Ayo, masuk ke dalam. Bu Lena, ikut saja sekalian..."

"Ah enggak, enggak usah. Saya sudah mau pulang. Saya tadi cuma mau..." belum selesai Lena berbicara, Adnan keburu memotongnya, "Tadi istri saya mau ketemuan sama temannya di sini, eh, tapi begitu sampai, temannya mendadak bilang nggak bisa. Makanya nih tadi dia sempat bete gitu... Haha... Sudah, kamu ikut saja. Sudah jauh-jauh datang terus pulang kan nggak enak. Santai dulu saja yuk..." Adnan mengusap kepala Lena dengan penuh rasa sayang.

Lena jadi malu dan merasa bersalah. Ia sudah berburuk sangka terhadap suaminya. Tapi suaminya justru membelanya dan mengijinkan ia ikut rapat bersama. Bu Mita sedang butuh desainer interior untuk kantornya yang sekarang. Ia ingin penyegaran. Tadinya ia minta dicarikan desainer oleh Adnan dan Adnan merekomendasikan Lena yang lulusan desainer interior. Lena juga sudah pernah memegang beberapa proyek besar dan diakui kualitasnya. Proyek penyegaran ruangan rencananya dilakukan setelah pemancangan batu pertama di lokasi perumahan yang hendak ia bangun akhir bulan ini. Dan tadinya juga, Adnan hendak menjadikan proyek ini sebagai kejutan untuk Lena.

Malam itu mereka habiskan dengan perbincangan seputar pemancangan batu dan proyek penyegaran ruangan. Bu Mita minta Adnan mengatur persiapan selebrasi pemancangan dan hal-hal apa saja yang dibutuhkan dari Bu Mita berikut pengajuan budget. Sesekali Lena menimpali hal-hal apa yang masih kurang untuk perehelatan itu. Minggu depan mereka akan mengadakan meeting lanjutan untuk membahas progress kedua proyek ini. Bu Mita akan mengenalkan staffnya yang bertanggung jawab untuk redekorasi ruangan.

***

"Hufff... Gagal deh rencana aku kasih kejutan ke kamu," keluh Adnan setibanya mereka di rumah.

Lena tertunduk. "Maaf."

Tiba-tiba saja Adnan malah tertawa terbahak-bahak. Menggoreskan keheranan di wajah Lena.

"Kamu tuh ya...! Masa sama suami sendiri gak percaya. Kamu pikir aku selingkuh kan? Ayo ngakuuu..." Adnan mencubit hidung Lena dengan gemas, yang segera ditepisnya.

Lena manyun dan memilin-milin ujung kemejanya seraya berujar, "Istri mana yang bisa nggak curiga suaminya pulang malam terus. Apalagi aku juga belum bisa..."

"Hush... Ssssttt..." Adnan menghentikan ucapan Lena dengan menaruh telunjuknya di bibir Lena. "Soal anak, itu urusan Tuhan. Ada atau tidak ada, rasa sayang aku ke kamu tidak akan berubah. Ingat itu... Tapi aku salut sama usaha kamu barusan. Itu tandanya kamu sangat sayang sama aku, sampai kamu takut kehilangan aku, ya kan?" goda Adnan lagi sambil mengelus pipi Lena.

Lena semakin tertunduk malu. Adnan mengangkat wajah Lena dengan kedua tangannya hingga mata mereka beradu pandang, dan kemudian ia mengecup bibir Lena dengan penuh rasa sayang. "I love you, my dear."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!