Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 01 Juni 2011

Permen

Oleh: Stephie Anindita
@StephieAnindita


Namaku Dysta. Usiaku tiga belas tahun kurang delapan bulan. Aku suka sekali makan permen. Apa kamu juga suka makan permen?
Ketika usiaku baru lima tahun kurang delapan bulan, aku pernah terjatuh dari sepeda. Aku menangis meraung-raung melihat luka mengerikan di dengkulku. Warna merah darah yang bercampur dengan titik-titik hitam debu jalanan itu seperti meyakinkanku kalau aku akan mati. Sebagai seorang anak kecil, yang bisa aku lakukan hanya meraung-raung dalam ketakutan dan kesakitanku.
“Cup cup cup ... anak pinter! Jangan menangis, ya?”
Pengasuh bayi yang ditugaskan untuk menjagaku baru datang setengah jam kemudian. Itupun karena seorang tetangga memanggilnya dari rumah Bu RT, tempat ia biasa memelototi televisi yang menyajikan berbagai macam sinetron dan gosip setiap jamnya. Ketika ia mengangkatku yang nyaris kehabisan nafas karena terlalu banyak meraung, aku berontak. Rasa sakit di dengkulku semakin berdenyut ketika dengkulku tergesek baju seragam putihnya yang kaku dan kasar.
“Mau permen? Mau kan? Nih ... Mbak punya permen enak!”
Ia memberiku sebutir permen berwarna merah. Begitu lidahku tersentuh permen itu, rasa manis langsung menghentikan aliran air mata dan jeritanku. Aku membiarkan diriku larut di dalam rasa manis saat permen itu mulai meleleh. Begitu nikmat. Begitu manis. Menyebar ke seluruh bagian indera pengecapku. Ketika permen itu mulai mengecil dan kehilangan rasa, aku melahap butiran permen lain yang tidak kalah manisnya untuk mengantisipasi kepanikanku akan kembalinya rasa sakit.
Ada berbagai macam permen yang aku sukai. Permen rasa Susu, permen rasa Strawberry, permen rasa Anggur, permen rasa Jeruk ...
Tetapi ada satu rasa permen yang aku tidak bisa melukiskan bagaimana rasanya. Yang jelas aku menyukainya. Pengasuhku yang memperkenalkannya padaku. Ia mencampurkan permen itu ke dalam botol susu dan kemudian meminumkan susu itu padaku. Permen itu memberi sedikit rasa aneh di susu yang kuminum, tetapi aku tidak begitu keberatan.
Sesudah itu aku bisa terlelap dan berkelana ke dunia ajaibku dimana aku bisa berjumpa dengan Putri Salju, Putri Duyung dan Cinderella. Pengasuhku bisa bebas menonton televisi atau bercengkrama dengan teman-temannya. Permen itu mengajariku simbiosis mutualisme untuk pertama kalinya.
Hampir semua orang yang kukenal menyukai permen. Contohnya Mamaku, ia mempunyai berbotol-botol permen yang ia simpan rapat-rapat di laci meja kerjanya. Beberapa kali aku melihatnya mengeluarkan beraneka ragam permen dari botol-botol itu. Ada yang berwarna merah, kuning dan bahkan ada juga yang berwarna biru.
Mama tampak begitu menikmati permen-permen itu. Tidak ada lagi Mama yang berteriak-teriak marah sampai urat kebiruan muncul di pelipisnya. Mama akan terlelap dengan wajah manis sesudah memakannya. Walau begitu, Mama tidak pernah mengijinkanku mencicipinya. Permen-permen itu milik Mama. Tidak ada yang boleh mengambilnya.
Aku mengerti seutuhnya. Sulit juga bagiku untuk membagi kenikmatan permenku dengan orang lain. Aku akan marah atau menangis setiap kali ada yang mencuri permenku. Kepalaku otomatis akan menggeleng setiap kali ada yang meminta permenku.
“Ih, Dysta pelit! Dysta pelit!”
Biarin. Kalian boleh menyebutku pelit. Kikir. Apa saja boleh. Aku tidak perduli. Kata-kata apapun tidak akan menjebol pertahananku. Permen-permen ini milikku. Tidak ada yang boleh mengambilnya dariku.
Orang lain yang kutahu sangat menyukai permen, adalah kakak perempuanku yang berusia dua puluh tahun. Ia rutin makan permen setiap harinya. Permen-permen itu tidak bermerk, jadi aku menamakannya sendiri. Ada permen anti nangis, ada permen tidur, ada permen tertawa juga. Semuanya kunamakan sesuai dengan efek yang ditimbulkannya terhadap kakak.
“Jangan berani-berani kamu ngadu ke Mama kalau aku punya ini! Kalau kamu ngadu, aku pukul kamu!”
Mungkin saja kakak takut Mama meminta permennya. Aku bisa mengerti. Setiap orang mempunyai permen kesukaannya sendiri-sendiri dan orang lain tidak boleh meminta.
Suatu hari kakak pulang bersama seorang cowok teman sekelasnya. Mereka berdua makan permen bersama di ruang tamu. Mataku membesar melihat teman kakak ternyata punya banyak sekali permen di tas ranselnya. Warna-warna permen yang belum pernah aku lihat, kini terpampang jelas ada di hadapanku. Permen-permen yang mereka miliki begitu bervariasi. Bahkan lebih bervariasi dari yang dipunyai Mama. Aku begitu ingin mencicipinya, tetapi aku tahu pasti aku tidak akan diberi sebutirpun.
Kakak dan temannya cukup sopan. Mereka merasa tidak enak juga kalau terus-menerus melahap permen itu di hadapanku tanpa berniat sedikitpun untuk menawariku. Karena itu mereka segera masuk ke dalam kamar kakak dan melanjutkan pesta permen mereka disana.
Tanpa setahu mereka, sebutir permen jatuh ke bawah meja. Aku menatap ke arah meja dengan hati bimbang. Aku ingat Mama pernah menjentik tanganku ketika aku hendak memungut sebutir permen yang jatuh ke lantai. Permen itu sudah kotor, kata Mama. Aku bisa sakit perut kalau memakannya.
Aku bingung. Permen itu seakan memanggilku dari bawah meja. Mengajakku untuk segera mengulurkan tanganku ke bawah meja dan segera melahap permen itu agar aku dapat memuaskan kehausan rasa penasaranku.
Ayolah, Dysta! Mama toh sedang tidak ada di rumah hampir sebulan terakhir ini, kan? Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku mengambil permen biru itu dan segera lari ke kamarku. Aku mengunci pintu kamar dari dalam, agar tidak ada yang bisa masuk dan mengambil permen itu dariku. Penemu adalah pemilik. Permen itu milikku sekarang.
Ketika aku mulai mengulumnya, tidak ada rasa manis yang kurasa. Hanya rasa pahit yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Tidak sopan memuntahkan makanan yang telah masuk ke mulut. Aku pernah mendapatkan tamparan berulangkali karena itu, jadi aku menelan permen itu tanpa berpikir panjang. Kepalaku terasa ringan dan hatiku dipenuhi rasa gembira ketika aku menelan permen itu bulat-bulat.
Aku merasa seperti seperti ada letupan-letupan kecil keluar dari sekujur tubuhku. Tanganku terentang, begitu juga kedua tungkaiku saat aku membiarkan cahaya-cahaya itu meletup keluar. Menghiasi kegelapan yang perlahan-lahan mulai menaungiku. Mengatasi segalanya.
Permen itu meninggalkan sedikit rasa pusing saat aku terjaga. Mama memberiku dua butir obat sakit kepala karena ia mengira aku masuk angin. Aku benci obat sakit kepala itu. Pahit mereka tidak membawa apa-apa. Tidak seperti permen biru itu. Namun aku tidak berani memintanya pada Mama, apalagi kakak.
Kakak jadi semakin rakus makan permen sekarang. Aku tidak heran, karena ia pasti ingin melupakan rasa pusing dan mual yang ia rasakan hampir setiap pagi. Kakak membeli berbagai macam permen dari berbagai toko untuk membantunya mengusir rasa pusing dan mualnya.
Di beberapa majalah anak-anak yang pernah aku baca, aku tahu kalau terlalu banyak makan permen bisa membuat gigi berlubang. Aku sudah mendapatkan lima tambalan di gigiku karena terlalu banyak makan permen. Tetapi yang membuatku heran, kenapa kakak tidak sakit gigi sama sekali? Hanya perut kakak saja yang sedikit buncit.
Wih, kakak marah sekali waktu aku mengatakan hal itu. Biasanya aku akan tertawa geli setiap melihat kakak marah. Mukanya pasti akan berwarna merah seperti udang rebus, hidungnya berkeringat, bibirnya membentuk kerucut dan pipinya gembung. Tetapi sekali ini kakak tidak tampak seperti itu. Ada sedikit ketakutan di balik tatapan matanya yang dipaksanya tampak galak.
Di televisi yang sering kutonton bersama beberapa orang pembantu, aku tahu kalau berat badan adalah masalah utama para wanita. Karena itu juga berbagai macam permen, metode olah raga dan bahkan operasi ditawarkan untuk menjaga kerampingan tubuh. Apa karena itu juga kakak jadi takut perutnya gendut? Ia takut kalau temannya yang waktu itu datang ke rumah tidak mau datang lagi untuk berbagai permen dengannya.
Kakak mengatasi masalah perutnya yang membuncit itu dengan cepat. Hanya seminggu kakak pergi bersama teman-temannya ke luar kota dan ia pulang dengan perut datar. Entah bagaimana caranya, aku tidak tahu. Tetapi kakak memakan lebih banyak permen lagi semenjak ia pulang.
Aku tidak melupakan kehausanku akan permen warna biru itu. Aku mencarinya ke berbagai supermarket dan toko permen. Aku melihat banyak permen berwarna serupa, tapi tidak sama. Aku hampir frustrasi. Aku menginginkan permen biru yang sama! Aku tidak mau yang lain.
Ketika aku sedang melamunkan permen biru itu sendirian di halte bus depan sekolah, seorang pemuda seusia kakak menghampiriku. Ia menawariku sebutir permen biru. Aku langsung mengenalinya dan melonjak kegirangan. Ia mengeluarkan lebih banyak lagi permen beraneka warna. Merah. Kuning. Hijau. Semuanya untukku, katanya. Asal aku mau ikut membagikan permen-permen lain kepada teman-temanku. Awalnya memang aku keberatan berbagi, tetapi apa boleh buat. Aku rela melakukan apa saja untuk mendapatkan permen aneka warna itu.
Aku semakin banyak mengeluarkan letupan dari tubuhku, bersama-sama dengan teman-teman baruku. Tubuhku terasa begitu lemah, tetapi aku tetap ingin dapat mengeluarkan letupan-letupan itu. Semakin lama letupan-letupan itu semakin samar. Hingga akhirnya, aku hanya melihat satu letupan kecil sebelum semuanya gelap gulita ...
***
Anak SMP Ditemukan Tewas Over Dosis
Dysta(13) ditemukan tewas di kamar mandi rumahnya yang terletak di bilangan Jakarta Selatan pada hari Senin 5 Juni 2006, sekitar pukul 15.45 WIB. Ketika ditemukan oleh warga yang curiga karena mencium bau busuk yang menyengat dari dalam rumah, terdapat sejumlah plastik berisi obat-obatan terlarang di sekitar tubuh Dysta. Hasil autopsi menyatakan Dysta tewas akibat over dosis. Dysta diduga sudah meninggal tiga hari sebelum ia ditemukan. Hingga berita ini diturunkan, belum ada seorangpun anggota keluarga Dysta yang berhasil dihubungi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!