Oleh: Melissa Olivia (@moliviatjia)
"Hai, kamu sudah bangun?"
Sebuah suara asing menyapaku yang baru saja terjaga. Aku menengok. Seorang gadis cantik, dengan selang oksigen di hidung, tersenyum menatapku. Matanya yang sayu dan tampak pucat, tetap terlihat indah.
Aku balas tersenyum dan kemudian aku merasa masker oksigen tengah menyelubungi hidungku. Ah iya, kenapa aku bisa ada disini. Sejenak kupejamkan mata. Sebuah ingatan melesat di otakku, sebuah sinar yang sangat terang dan jeritanku sebelum semuanya menjadi gelap.
Aku mengerang pelan. Sejurus kemudian, aku menyadari hampir sekujur tubuhku terbalut perban. Kepala, leher, tangan kanan, dan kaki kananku. Sedikit rasa sakit menghentak di ulu hati. Aku mencoba bangkit.
"Jangan," katanya lagi, "jangan bangun, kamu pasti akan kesakitan."
Aku menyerah, ketika hendak bangkit, nyeri di ulu hatiku semakin menjadi.
"Maaf, siapa namamu?" tanyaku. Aku merasa tidak sopan tidak mengindahkannya.
"Arnetta," jawabnya sambil tersenyum lagi. Sangat manis. "Kamu?" Ia balik bertanya.
"Lucas. Maaf, apa kamu tahu sudah berapa lama aku di sini? Apa kau juga tahu apa yang terjadi padaku? Aku tidak begitu ingat," tanyaku lagi setengah menyeringai.
Ia mengangkat bahu sebelum menjawab, "Aku juga tidak begitu tahu. Aku baru saja bangun sejam yang lalu. Tapi, kalau kulihat dari kondisimu, sepertinya kamu habis kecelakaan yang lumayan parah."
Aku tertawa pelan. "Lalu, kamu sendiri? Apa yang terjadi padamu?"
Ia tersenyum lagi. Aku menyadari senyumnya sangat manis. Setiap kali ia tersenyum terlihat begitu damai, teduh, dan menenteramkan hati.
"Sepertinya aku kolaps lagi semalam...," tuturnya lirih. "Aku... mengidap gagal ginjal.. Kedua ginjalku sudah rusak. Sebulan yang lalu aku sudah menjalani transplantasi, tapi sepertinya belum berfungsi dengan baik...," jelasnya.
"Oh..." Aku turut prihatin dengan kondisinya. "Lalu? Kau sudah mendengar penjelasan dokter?"
Ia tersenyum lagi, tapi kali ini diiringi lelehan air mata. Aku jadi merasa bersalah. Mungkinkah dokter memberinya kabar buruk?
"Sepertinya tubuhku menolak ginjal ini. Ginjal ini memang hanya memiliki kemungkinan 50%. Dokter sepertinya akan mencarti donor baru. Ginjalku yang sekarang tidak bisa bertahan lama sepertinya. Ini kelima kalinya aku kolaps dalam sebulan."
"Astaga!" batinku. Aku benar-benar menyesal menanyakannya. Aku benar-benar bodoh!
Sejurus kemudian, ia berkata lagi, "Tapi aku tetap optimis. Aku pasti bisa sembuh dan aku bisa leluasa bermain lagi dengan teman-temanku! Aku juga masih punya banyak mimpi yang ingin aku raih!" serunya dengan mata berbinar.
Ah, dia benar-benar gadis yang penuh semangat. Bahkan di saat tersulitnya, ia masih berpikir bahwa ia akan segera sembuh dan menggapai mimpinya. Sungguh semangat yang tak banyak dimiliki orang biasa, apalagi bila mendapati kenyataan pahit. Ia gadis yang luar biasa dalam pandanganku.
"Berapa umurmu?" tanyaku lagi.
"Dua puluh. Kalau kamu?"
"Haha... Yang pasti jauh lebih tua darimu," aku tersipu malu, mengingat betapa jauhnya perbedaan usia di antara kami.
"Ah, curang. Aku sudah jujur kasih tahu..." Ia merengut.
Aku jadi tak tega dan akhirnya mengalah. "Dua puluh delapan," jawabku.
Ia menyeringai lebar. "Ah, nggak jauh-jauh amatlah. Masih kepala dua kok," guraunya.
"Kalau boleh tahu, apa mimpimu?"
Lagi-lagi ia tersenyum manis. "Aku ingin jadi perawat, supaya nanti bisa membantu merawat orang-orang sepertiku. Sambil merawat mereka, aku bisa menceritakan pengalamanku, pengalaman keberhasilanku mengatasi penyakitku. Menularkan semangat untuk sembuh!" Jelas terlihat ia sangat antusias dengan cita-citanya.
"Akan aku bantu dengan doaku. Kamu pasti bisa sembuh dan menjadi perawat teladan! Kamu pasti bisa jadi perawat malaikat. Haha... Uhuk..." Aduh, aku lupa dengan sakitku, aku jadi tersengal karena tertular semangatnya. "Tuh lihat, belum jadi perawat saja kamu sudah berhasil membuatku semangat, sampai lupa kalau aku tengah sakit di ulu hati," godaku sambil terbatuk pelan.
Kulihat, ia tergelak. "Ah, bisa saja kamu!"
Aku ikut tertawa. Pelan. Menikmati suasana ini. Bahagia di tengah rasa sakit. Arnetta benar-benar luar biasa. Aku yakin, kelak ia bisa menjadi wanita berpengaruh. Terutama dengan senyum manisnya, yang menurutku senyum paling manis yang pernah kutemui.
Pembicaraan kami terhenti. Dokter datang memeriksaku. Tak berapa lama, ia menyuntikkan sesuatu ke dalam botol infusku. Kurasa obat tidur, karena tak berapa lama kemudian aku merasa mengantuk. Sebelum mataku terpejam, sekali lagi aku melihat senyum Arnetta yang menenteramkan itu dan membalas senyumnya.
***
Aku terbangun lagi. Sinar matahari merasuk ke dalam ruangan melalui sela-sela gorden. Mataku menyapu seluruh ruangan, ingin menemukan sosok Arnetta di samping ranjangku. Namun, yang kulihat hanyalah ranjang kosong dengn sprai putih yang sudah tertara rapi dan licin. Tak tampak bekas ditiduri orang.
Perasaan was-was menghentak dadaku. Apakah terjadi sesuati yang buruk padanya? Ataukah ia hanya ilusi dalam mimpiku selama aku tak sadarkan diri? Dengan segala kepanikan yang menyesak jiwa, aku bertanya pada suster yang tengah memeriksa botol infusku.
"Sus, gadis yang di sebelahku..." Aku tak berani melanjutkan. Rasa takut sekejap menyerbuku. Takut mendengar jawaban yang tak kuinginkan.
Suster itu dengan ramah menjawabku, "Ia sudah diperbolehkan pulang tadi pagi. Sebelum dia pergi, dia sempat menitipkan ini kepada saya. Ia minta supaya diberikan kepada Anda." Suster itu lantas memberiku secarik kertas. Tanpa tedeng aling-aling, aku langsung membacanya.
Arnetta 0816 952 47xx
Senang bisa berkenalan denganmu. Kuharap, aku bisa segera mendengar kabar baik darimu. Get well soon! :)
Aku tersenyum lebar. Lega sekali perasaan ini. Aku jadi ingin segera sembuh dan keluar dari rumah sakit ini. Ingin segera menemui Arnetta lagi, menyemangatinya, melihat kesembuhannya, dan terutama melihat senyum manisnya. Senyum paling manis yang pernah kukenal di kamar UGD dan sangat membekas dalam hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!