Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 29 Juni 2011

Namaku Diven



By: @MikaylaFernanda



Ruangan itu temaram. Semua lampu dimatikan kecuali lampu kuning yang menyorot panel-panel presentasi. Di depan sana, sebuah perspektif terpampang lewat proyektor, menggambarkan suasana interior hotel bintang lima yang sedang ditangani kantorku.

Aku sebenarnya tidak berperan apa-apa selain menemani bossku, Mister Luke Rowe terhormat. Pemanis ruangan, istilahnya. Pajangan cantik. Satu-satunya wanita di antara kaum Adam. Cuma sekretaris yang terbengong-bengong di antara para desainer. Yah sedikit-sedikit bisa menangkap sih, antara warna sofa merah atau abu-abu. Tapi istilah minimalis, Art Deco, Decorous atau tetek bengek lainnya tidak lebih jadi permainan suku kata aneh dengan bahasa Latin.

Untuk keseratus kali aku menguap dan menutupnya dengan notesku. Sekilas aku melirik boss besar, memberikan kode supaya diijinkan meninggalkan ruangan. Dan sudah kuduga, ia cuma menggeleng sambil tersenyum.

Aih... Apa gunanya aku di sini? Sepatah kata saja nggak nyambung. Kubuka notesku dan mulai menggambar Donald bebek, bajak laut, sampai Upin-Ipin. Sekedar mencari kesibukan supaya tidak mati gaya.

Di saat aku nyaris tertidur, ponselku bergetar. Dengan cepat aku meraih ponsel itu dan menekan tombolnya.

“Halo?” Kukatupkan tangan di speakernya, sambil berucap dengan suara ekstra pelan.

“Selamat siang Bu, bisa dengan Pak Diven? Ini dari bank.”

Aku mengernyitkan dahi. Sejak kapan aku ganti kelamin??

“Pak Diven nggak ada Mbak,” ucapku acuh.

“Apakah ini Bu Diven?”

Ah, finally orang ini nyadar.

“Ya, ini Bu Diven.” Aku berucap lega.

“Ow, selamat siang Bu...” Suara itu mulai ramah yang dibuat-buat. "Pak Divennya keluar?"

Hukks! Aku nyaris tersedak.

"Lah tadi saya bilang, Pak Diven kan nggak ada!" Aku spontan memekik. Beberapa orang di ruang rapat menoleh ke arahku, termasuk Luke yang menatapku tajam. Aku meringis, memberikan kode maaf tanpa suara.

"Oh, keluar ya. Baik, saya akan coba telpon sejam lagi. Terima kasih, Bu."

Kuletakkan ponsel itu dengan kesal. Ini bukan yang pertama kali orang salah memanggilku dengan sebutan 'Pak'. Nama Diven Soegondo memang terdengar maskulin, tapi kenyataannya aku orang yang sangat-sangat feminim. Lah iya, aku seorang sekretaris yang wajib tiap hari memakai rok, stocking dan highheels. Kurang feminim bagaimana?

Lima puluh lima menit berlalu dalam kesunyian, sampai ponsel jelek itu mulai bergetar lagi. Aduh, nomor yang sama. Tidak ada pilihan lain. Kuraih ponsel itu dan mengangguk sopan ke Luke, lalu meninggalkan ruangan meeting dengan cepat.

"Halo!"

Suara centil itu mulai berkicau lagi. "Selamat siang Bu. Apakah Pak Divennya sudah kembali?"

Kali ini serasa ada petir menyambar di ubun-ubun. Aku terpaku mendengar sapaan itu. Begitu ringan, begitu casual. Seakan tidak ada apa-apa.

"Eh, Mbak..." Aku menekan nada suaraku hingga turun beberapa oktaf. "Apakah saya terdengar seperti laki-laki?"

"Hah? M-maaf... Maksudnya?"

"Saya tanya anda. Tadi nangkap nggak kalau saya bilang Pak Diven tidak ada?"

"Eerr.. Iya..."

"Pak Diven tidak ada..." Sumbu di kepalaku mulai tersulut. "Dan tidak akan pernah ada karena yang ada cuma Bu Diven. Catat baik-baik! BU DIVEN!"

"Oh... Eh... Maaf...."

"Kamu orang bank, bisa membedakan Miss dan Mister nggak? Sudah jelas-jelas di dokumen saya titelnya Miss, bukan Mister."

Keheningan mendadak hadir. Aku sampai takut dia kena serangan jantung, atau mendadak jatuh dari kursi dan pingsan. Tapi aku harus kecewa, ketika suara itu menyahut lagi.

"Oh, Iya Bu. Hehehe..."

Dia kembali berubah centil, setelah sebelumnya terdengar panik. Ditambah ekstra ketawa pula!

"Lah? Kok malah ketawa, mbak?" Keningku mulai mengernyit. "Ini saya ngomel beneran loh."

Suara di seberang line telpon itu terdiam sesaat, kemudian menyahut dengan sangat-sangat menyebalkan. "Ibu marahnya lucu sih. Hihihihi... Mana bisa saya takut kalo suara ibu ngegemesin begitu. Hehehe..."

Aku menganga, melorot ke sofa di lobby sambil menepuk kepalaku berulang-ulang. Di ponselku, si bacot terus saja menceracau tentang hal-hal yang nggak penting.

"...Hehehe... Anu... Begini, Bu. Aduh, saya jadi malu.... Hehehehe. Habisnya nama Ibu beneran kayak laki-laki sih. Maaf, ya... Saya dimaafkan ya, Bu. Ya, ya, ya?"

Tabah. Tabah, Diven. Tabah.

"Ya sudah, nggak papa." Aku menjawab sambil mendengus. "Kenapa mbak cari saya?"

"Oh, iya... Hehehe. Saya jadi lupa. Gini loh, ada program dari bank kita untuk nasabah pilihan. Bu Diven termasuk nasabah yang beruntung nih..."

Dahiku mulai berkerut lagi.

"...Kami melihat record kartu kredit Bu Diven di tahun ini dan bla-bla-bla...Transaksi-transaksi yang bagus, saldo juga kwek-kwek-kwek... Hehehe, asuransi juga nya-nya-nya-nya..."

Aku nyaris tertidur.

"...Jadi gimana, Bu Diven. Apakah tertarik?"

Tanpa sadar kutepuk dahiku untuk kesekian kali. Tertarik apa? Keracunan malah iya.

"Kesempatan yang jarang didapat..."

"Ya, ya, saya tahu." Segera kupotong suaranya sebelum ia kembali berbla-bla-bla nggak jelas. "Tapi saya belum butuh kartu kredit tambahan saat ini."

"Oh, begitu. Sayang loh, soalnya bla-bla-bla, kwek-kwek-kwek...."

Kujauhkan ponselku dari telinga sambil menggoyangkan kepala kiri-kanan, berharap si empunya suara akan tobat dan berhenti menceracau. Tak sabar, kumatikan telpon itu sambil menggerutu.

Hari masih belia dan aku masih mau hidup panjang. Aku cuma bisa tersenyum simpul ketika Pak Erwanto, sekuriti kantor tertawa terbahak-bahak.

"Jadinya Pak Diven atau Bu Diven, mbak? Hahaha..."

Aku terpaksa ikut tertawa. Kukirimkan sms ke rumah, supaya Mama menyiapkan bubur merah-bubur putih. Besok aku ganti nama jadi Astuti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!