Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 01 Juni 2011

Saat Manisan Tak Lagi Manis

Oleh: Momo DM (@mazmocool)
http://bianglalakata.wordpress.com

Malam menjelang saat langkahku bergerak perlahan menyusuri jalanan. Keindahan purnama seakan bukan lagi sebuah keindahan. Temaram malam mengantarkan aku meninggalkan suatu tempat. Tempat yang pernah aku kunjungi seminggu yang lalu.

***

“Dina,” kataku lembut pada seorang gadis yang duduk di sampingku.

“Iya Rama. Ada apa?” jawabnya sambil tersenyum manis seperti biasanya.

“Kita kan sudah kenal hampir seminggu,” kataku berusaha menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.

“Terus kenapa Ram?” tanya Dina hampir tanpa ekspresi.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” jawabku mencoba meyakinkan hatiku.

Tetapi sepertinya keyakinan hatiku enggan untuk berpadu dengan bibirku. Tiba-tiba saja bibirku tak bisa digerakkan. Kerongkonganku terasa tercekat. Aku pun terdiam begitu saja. Kata-kata yang sudah aku persiapkan sejak pertemuan pertama dengannya seperti hilang bersama embun malam yang mulai jatuh di sudut taman itu. Taman tempat pertama kali bertemu itu sebagian telah basah oleh embun yang menyapa. Dingin yang menerpa tak lebih dingin dari hatiku. Bahkan tak lebih dingin dari suasana malamku bersama Dina di kursi taman itu.

“Kok malah diam Ram?” tanya Dina sambil menatap wajahku keheranan.

“Ram..Rama kamu kenapa?” tanya Dina lagi.

Kali ini dengan nada yang berbeda. Dina memegang bahuku dan mengguncang-guncang tubuhku. Aku tak bisa bicara. Aku hanya menunjuk pada leherku. Dina tampak bingung karena tidak bisa memahami bahasa isyaratku. Seperti dia yang sedari tadi tidak bisa memahami bahasa hatiku. Dina semakin kebingungan dengan kondisiku.

“Rama, kamu kenapa?” tanya Dina dalam nada penuh kecemasan.

Aku masih tak bisa menjawab dan hanya bisa menunjuk-nunjuk leherku. Dina memperhatikan leherku dengan seksama. Tetapi sepertinya dia tidak menemukan keanehan di leherku. Dina yang bingung campur cemas hanya bisa memandangku dengan heran.

Menyadari Dina tidak mengerti dengan keadaanku saat ini, aku pun segera berlari ke arah penjual asongan yang tengah duduk di bawah sebuah pohon tak jauh dari tempat aku duduk. Aku segera meraih sebotol air mineral dan dengan tergesa-gesa segera membukanya. Tanpa basa basi aku meminumnya dalam tatapan heran Dina.

Kurasakan kelegaan luar biasa saat butiran permen penyegar yang tertelan di kerongkonganku meluncur ke dalam saluran pencernaanku. Aku segera membayar air mineral itu dan mengambil permen sebagai kembaliannya. Dina menyusulku dan mengajakku kembali ke kursi taman.

Lampu taman masih merona menjadi saksi bisu malam itu. Malam penentuan bagi pelayaran sebuah hati yang ingin menemukan dermaganya. Tetapi sepertinya malam ini bukan malam yang tepat bagiku untuk berlabuh di dermaga hati Dina setelah kejadian tadi. Dina memutuskan untuk mengajak pulang. Kekhawatiran akan kondisiku membuat Dina memutuskan hal itu.

Aku segera mengantarkan Dina pulang ke rumahnya. Di pintu gerbang rumahnya aku mengulurkan sederet tulisan isi hatiku dalam genggaman Dina. Dina melihatnya sekilas dan tersenyum sambil memasukkan deretan kata itu ke dalam saku rok panjangnya.

“Seminggu lagi di tempat yang sama ya,” kata Dina saat aku berlalu dari hadapannya.

Seminggu lagi. Ya..seminggu lagi aku akan memperoleh jawaban dari Dina. Menunggu sesuatu selama seminggu serasa hari memenjarakan aku dalam dua kemungkinan. Kemungkinan yang harus aku hadapi. Apapun itu. Kekuatan hati akan sebuah tekad yang telah terpatri membuatku merasa lebih mudah dalam menjalani perputaran hari. Berat tak lagi sebuah kendala. Waktu bukan lagi sebuah kelelahan hati.

***

Malam ini, malam ketujuh sejak terakhir aku bertemu Dina. Aku bergegas melangkah pada jam yang sama menuju tempat yang sama. Aku tertegun saat pandangan mataku menatap kursi taman yang kosong. Ternyata Dina telah membohongiku. Aku tak habis pikir kenapa Dina tega membohongiku. Aku yang tak pernah berbohong dengan perasaanku padanya.

Aku bergegas menuju kursi taman itu. Pandangan visualku tertumbuk pada sebuah bungkus permen yang tergeletak di atasnya. Bungkus permen bertuliskan “I Love You”. Aku memungutnya. Itu adalah bungkus permen yang aku berikan dalam genggaman Dina malam itu.

Sosok Dina yang kuharapkan hadir untuk mempercantik semesta malam itu ternyata tidak terlukis di sana. Dalam hati aku berharap semoga saja kejadian malam itu bukanlah pertanda buruk.

Sampai akhirnya, kenyataan itu membuat tubuhku terasa bergetar. Ternyata HP-ku yang bergetar bersamaan dengan getaran hebat dalam hatiku. Aku menjawabnya dan kudengar suara lembut di ujungnya. Suara Dina.

“Kamu sudah mengambil bungkus permen itu?” katanya lembut seperti biasa.

“Sudah. Tapi itu kan bungkus permen yang aku berikan padamu malam itu,” jawabku dalam nada penasaran.

“Iya memang. Itulah jawabanku,” jawab Dina yang melambungkan rasaku ke langit ke tujuh.

“Tapi maaf Ram. Meskipun begitu, aku tidak bisa menerima cintamu malam ini, karena besok pagi aku harus berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan studi selama beberapa tahun,” jawab Dina sesenggukan.

“Kenapa kamu tidak member tahu aku dari awal Din?” tanyaku dalam kebimbangan.

“Aku hanya tidak ingin melihatmu bersedih menerima kenyataan yang ada. Tapi yakinlah aku pasti kembali,” jawab Dina penuh keyakinan.

Jawaban Dina mengantarkanku pada sebuah kenyataan pahit bahwa aku tidak bisa memiliki Dina, setidaknya saat ini. Kenyataan pahit yang tidak semanis permen penyegar yang tengah menari-nari dalam rongga mulutku malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!