Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 15 Juni 2011

Mosaik


Oleh Yuska Vonita (@yuska77)


“Fin, tolong aku sekali ini aja. Temui aku di kafe La Rosa jam tujuh. Penting.” Risa memencet tombol send lalu merebahkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang. Ya, aku lelah. Sangat lelah.

***

Tiga Tahun Sebelumnya

Dua pasang kaki meninggalkan jejak di atas pasir putih yang dalam sekejap hilang tersapu buih. Matahari berada di ujung bBarat, memendarkan warna jingga yang menyapu langit. Risa dan Aldi berpegangan tangan, saling beradu pandang lalu bibir mereka menyunggingkan senyum. Bulan madu. Awal pernikahan yang selalu indah semanis gula.
“Kok kamu tahu sih ada pantai bagus di sini?” Aldi menatap pemandangan yang memanjakan matanya sejak pukul empat sore tadi. Risa menghirup udara segar pantai Bayah lalu menyeruput air kelapa muda segar dari batoknya.
“Dulu waktu Papa masih ada, aku sering diajak ke sini. Kalau Papa lagi suntuk, beliau pergi memancing. Aku bermain pasir di pantai ini ditemani Mama. Lagipula, pantai Bayah nggak jauh dari Jakarta, cuma tiga jam perjalanan.”
Aldi menatap istrinya penuh kagum. Risa suka berpetualang. Sebelum menikah, ia sering bepergian ke pelosok negeri juga mancanegara. Ia tak ingin mati penasaran karena belum melihat dunia. Aldi yang workaholic tidak pernah sempat menikmati perjalanan dengan santai. Setiap kali ia traveling, ia dikejar oleh waktu untuk seminar atau training.
“Terus, kenapa kamu mau nikah sama aku, Ris?” Aldi menggoda Risa dengan pertanyaan tricky-nya, berharap Risa mengeluarkan jawaban konyol.
Risa menatap suaminya lalu tersenyum.
“Selain karena cinta, aku percaya sama kamu.”
“Hmm, percaya. Kalau seandainya aku bajingan yang pandai menipu, gimana?”
Risa terbahak. Angin pantai menerpa wajahnya yang polos tanpa sapuan make up.
“Aldi, kamu itu lelaki paling polos yang pernah aku kenal. Nggak mungkin lah kamu ngebangsatin aku. Bukannya seharusnya kamu yang takut sama aku?”
Aldi tersipu malu, sadar pertanyaannya malah balik menyerangnya.
“Aku masih belum percaya aja kamu mau jadi istriku. Karena kamu tuh mandiri, kuat dan nggak takut menghadapi apapun dan siapapun. Aku cuma mikir kayaknya kamu malah nggak butuh cowok.”
Risa menggenggam kedua tangan Aldi.
“Hati nggak pernah bohong, Di. Aku percaya lahir batin kamu bisa jadi tempat aku bersandar dan teman seumur hidup yang setia. To me, marriage is not a rehearsal. Nggak ada tuh kata cerai dalam kamus hidupku. Kamu boleh catat itu.”
Aldi memeluk Risa dengan erat lalu mengecup keningnya dengan lembut.
Tuhan sungguh baik. Hidupku sungguh sempurna.
Ujung kaki Risa membentuk gambar hati di atas hamparan pasir yang kemudian hilang tersapu buih pantai.

***
Mata Aldi menatap gambar sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berpelukan mesra di dalam genggamannya. Tak terasa tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipinya. Dengan kasar ia menyeka tetesan air tabu bagi pria dan meremas foto berukuran 4R itu. Sudut matanya menangkap langkah kaki di belakangnya. Risa, istri tercintanya, baru pulang entah dari mana.
“Aldi, kamu kenapa?” Risa menangkap pandangan penuh amarah dari sinar mata Aldi.
“Ini apa, Risa?” Aldi melempar foto itu ke hadapan Risa. Bibir Risa kelu, wajahnya memucat.
“Tega ya kamu nyakitin aku, Ris. Apa salahku, coba jawab!” Aldi membentak Risa dengan kasar. Suaranya menggelegar seakan mampu merobohkan pilar beton tempat Risa bersandar.
Risa tak mampu berkata-kata. Tetesan air mata jatuh dari pelupuk matanya. Saat itu, jika ia bisa memilih, ingin rasanya Risa menukar rasa sakit yang dirasakan oleh Aldi. Risa tak kuasa, ia sungguh tak berdaya.
Aldi mencengkeram wajah istrinya lalu berkata, “Selama ini aku mencintaimu dengan tulus, Risa. Aku banyak berkorban untuk kamu. Aku rela memutuskan tunanganku dengan Dini demi kamu. Tapi, kamu balas aku dengan ….”
“Di, ceraikan aku. Kamu benci kan sama aku? Kamu muak kan sama aku? Tolong, ceraikan aku,” Risa tak kuasa membalas tatapan Aldi. Ia menutup matanya dan membiarkan air matanya meleleh.
“Seharusnya aku sadar dari dulu, kamu tuh emang nggak butuh aku. Dulu kamu janji nggak akan mau bercerai. Sekarang, seenaknya kamu pergi dengan laki-laki lain dan tiba-tiba minta cerai. Aku bodoh, bisa-bisanya diperdaya sama perempuan ular macam kamu.” Aldi menghempaskan tubuh Risa ke sofa dan pergi meninggalkannya sambil membanting pintu dengan keras.
Sudah saatnya, Aldi. Aku tak sanggup lagi.

***

Delapan Bulan Kemudian

Puluhan pria dan wanita berpakaian hitam hitam datang silih berganti. Terdengar isak tangis dari beberapa tamu dan kerabat yang hadir. Rangkaian bunga tanda bela sungkawa rapi berjajar di depan pagar berwarna hitam.
Aldi menggenggam tangan Dini yang duduk di sampingnya dengan sikap kikuk. Ia mulai merasa tak nyaman berada di antara orang lalu lalang yang tak di kenalnya.
“Maaf, kamu Aldi kan?” Sseorang pria berkaca mata berdiri di hadapannya. Wajahnya familiar.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Aldi penuh selidik. Ia menggeleng. Lalu ia menyerahkan amplop berwarna biru pastel.
“Saya mau menyampaikan amanat dari Risa. Ia menyuruh saya menyerahkan ini padamu.”
Aldi ragu-ragu menerima amplop itu. Dini menatapnya dengan penuh curiga. Pria itu mengangguk lalu pergi meninggalkan Aldi dan Dini yang hening di tengah keramaian.
“Sebentar ya, Sayang. Aku mau ke kamar kecil.” Aldi berjalan ke dalam rumah orang tua Risa. Ia hafal betul seluk beluk rumah itu. Aldi melangkah ke arah perpustakaan kecil yang terletak di lantai dua. Perlahan ia buka amplop itu dan membaca surat dari mantan istrinya.

Aldi, I’m sorry that I did not bid goodbye properly. Tiga tahun pernikahan kita adalah tiga tahun yang paling membahagiakan dalam hidupku. That’s my golden moment. Aku nggak tahu dan nggak sadar kalau sesungguhnya menikah dengan kamu malah membuat kamu menderita. Sekali lagi aku minta maaf. Dua bulan terakhir sebelum kita bercerai, aku merasa sakit kepala yang luar biasa. Tapi, aku anggap itu hanya sakit kepala biasa, atau migrain. Lalu sakit kepala itu muncul setiap malam. Mungkin kamu ingat beberapa kali aku minta diambilkan aspirin. Suatu waktu aku ke dokter untuk memeriksakan kepalaku. Dokter membuat surat rujukan untuk dokter spesialis. Ternyata aku menginap meningitis dan dokter memvonis hidupku sudah tidak lama lagi. Aku nggak berani berterus terang karena kamu akan bersikukuh untuk merawatku. Aku sakit, Aldi. Hatiku hancur mengingat saat-saat itu. Kamu nggak akan mungkin meninggalkanku, dan aku juga nggak tahu akan hidup berapa lama lagi. Lalu, aku merancang skenario perselingkuhanku dengan Fino, sahabat karibku yang tinggal di Amerika. Suatu saat ia liburan ke Jakarta, dan aku meminta dia untuk menemuiku. Kenny yang aku minta untuk menjadi fotografer gelap dan mengirimkan fotoku kepadamu. Karena dengan cara itu kamu mau melepasku Ketika rasa benci menguasai hatimui, maka dengan mudah kamu melepasku. Rencanaku berhasil. Aku melepaskan ikatan suci hati kita demi kebaikan kita bersama. Jika saat ini kamu bersama Dini, aku doakan agar kalian bisa berbahagia. Maafkan aku karena aku tak sekuat yang kamu kira, Aldi. Aku lebih lemah daripada selembar daun kering. Berbahagialah, Aldi. Aku selalu mendoakan. Aku selalu mencintaimu hingga hembusan nafas terakhirku.
Kecup sayang, Risa.

Aldi meremas surat itu lalu tangisnya pecah menghantam hatinya yang juga pecah hingga jutaan keping. Kepingan yang membentuk mosaik wajah Risa yang tersenyum penuh cinta kepadanya. Hanya kepadanya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!