Oleh : Destini P.L (@realdestini)
Jam menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Sambil menginggit roti bakar yang baru saja matang, aku memakai kaos kaki dan sepatuku. Ya, sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi dan hari ini ada ulangan matematika di jam pelajaran pertama. Aku menyisir rambutku secara asal-asalan (ini kebiasaan anehku selalu menyisir rambut setelah memakai sepatu), memasukkan kotak bekal ke dalam tas seenaknya, dan secepat kilat mengeluarkan sepeda motor bebek kesayanganku.
“ibu! Bias berangkat dulu!” kuucapkan salam kepada ibuku yang tengah asyik memilah-milah sayur dengan ibu-ibu tetangga, mengelilingi gerobak pedagang sayur sampai abangnya tak kelihatan hidungnya. Ibuku hanya mengangguk dan melambaikan tangannya. Ah, itu berarti ibu mendengar teriakanku, aku cukup lega.
Bel masuk berbunyi, aku segera berlari menuju kelas. Kulihat miss Erna (walapun hampir berkepala empat miss Erna belum juga menikah) tengah berjalan menuju kelasku, XI IPA 1. Dengan kecepatan angin aku menambah kecepatan lariku.
“huaaaah akhirnya sampai juga!” aku duduk terengah-engah di bangku paling belakang.
“lo telat lagi Bi? Ya ampun mending nggak usah berangkat kalee,” celetuk Irene yang duduk di depanku. Tumben cewek mak lampir itu duduk di depanku, kemana juga si Dion? Dia sudah janji mau join-an saat ulangan matematika nanti.
“Bias! Gue disini!” Dion melambaikan tangannya.
“gue telat, maaf,” kataku. Dengan wajah kecewa Dion kembali sibuk dengan buku catatannya, mencoba menghafal ulang rumus-rumus logaritma. Aku mencoba menenangkan diri. Semalam suntuk aku habiskan untuk belajar matematika, pelajaran paling horor yang pernah aku temui. Aku rela melewatkan nonton acara komedi favoritku, aku rela nggak chatting, nggak online fesbuk dan nggak main game. Oh Tuhan, tolonglah aku. Aku tak yakin bisa mengerjakan soal ulangan matematika walaupun hanya 70 persennya.
Miss Erna masuk ke kelas, suara ketukan sepatu heelnya yang khas sudah membuatku merinding. Miss Erna mengeluarkan setumpuk kertas ulangan, aku menghela nafas. Apa yang harus aku lakukan jika soal-soal yang aku pelajari semalam tak ada yang keluar? Apa jadinya kalau rumus-rumus horor itu mendadak hilang dari ingatanku. Hah, aku ingin pingsan!
Miss Erna mengatur posisi duduk kami sedemikian rupa agar kami tidak bisa mencontek atau saling bekerja sama. Aku duduk tepat di bangku ketiga dari depan, sebuah posisi strategis jika aku terpaksa mencontek. Duduk di depanku, seorang gadis berambut panjang, memakai gaun berwarna putih polos dan punggungnya bolong, oh bukan, itu hanya khayalanku tentang sundel bolong kepagian,hehe.
Miss Erna selesai membagikan kertas ulangan. Oh my god! Ini soal ngomong apa sih? Ya ampun, acara belajar semalam suntuk yang aku galakkan sama sekali nggak berguna! Dari dua puluh soal aku hanya yakin lima nomor. Keringat dingin mulai membasahi kening, baju, celana, sampai kaos kakiku ikutan basah. Aku berusaha tenang, kukerjakan terlebih dahulu lima soal yang paling gampang itu. Setengah jam terlewati, aku hanya mampu mengerjakan lima soal, tidak kurang dan tidak lebih. Perasaan takut harus remedi mulai menghantuiku. Selama ini aku kan selalu duduk di peringkat lima besar, masa’ ulangan matematika seperti ini remedi sih?
Kulirik Alisyya, cewek berdarah indo-jerman yang cantik dan juga menarik, ia duduk tepat di depanku. Dengan santai Alissya asyik melahap habis ke-20 soal matematika horor itu. Iseng aku melirik kertas ulangannya. Wow! Hampir semuanya penuh! Dan Alisyya seakan membiarkan jawaban itu terlihat jelas olehku.
Malaikat jahat ternyata sedang menguasai pikiranku, tanpa pikir panjang kusalin semua jawaban Alisyya, apalagi Miss Erna terlihat sibuk dengan paper-paper nggak jelasnya. Oh, kenapa hidup ini begitu indah?
“ehemm!”
Aku tersentak kaget.
“waktunya tinggal lima belas menit lagi Bias, cepat selesaikan ulanganmu,” Miss Erna melotot tajam ke arahku.
“Bias, ayo cepat selesaikan, kenapa baru dapet sedikit?” Bagus yang duduk di belakangku berbisik kepadaku.
Sedikit? Aku sudah selesai mengerjakan, kok dibilang sedikit sih?
Lagi-lagi Miss Erna melirikku dengan ujung matanya. Aku terdiam, tak bisa berkutik, bahkan melihat kertas jawaban Alisyya pun aku tak berani. Aku hanya bisa menatap rambut panjangnya yang pirang.
Tanpa kusadari sebuah kertas kecil berpindah dari tangan Alisyya ke mejaku. Apa ini contekan? Tanyaku dalam hati.
Bias, tadi tidur ya?
Sebuah tulisan singkat yang membuatku tersadar, lima menit lagi ulangan selesai. Aku bahkan tak berani melihat kertas ulanganku. Pasti lima nomor itu yang baru terisi. Aku pasrah, ternyata belajar semalam suntukku tidak efektif sama sekali. Aku menyesal kenapa dari dulu tidak berlatih mengerjakan latihan soal? Kenapa aku harus tidur saat ulangan? Dan kenapa aku harus bermimpi menyontek?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!