Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 15 Juni 2011

AKU DAN API

Oleh Reza Nurul Fajri (@rezanufa)


Beberapa hari yang lalu, saat hujan turun di gelap hari, aku masih termangu pada tungku api. Ia berkobar menemani lamunan piluku yang kembali terhampar ... tentang masa muda dan cinta yang tak memberi kabar. Desaku yang dingin dan sepi, mendengar suara hati cinta yang lunglai ini. Dosa peradaban; aku yang menjadi istrimu atas dasar kebutuhan pangan, bukan cinta. Engkau yang mencintaiku, katamu atas dasar kepedulian, pernah berjanji kan kembali bersamaan dengan musim rambutan. Nyatanya, semua ini tak lagi memberiku harapan untuk bertahan. Terlalu lama, dan aku butuh makan. Tanpa nafkahmu, aku kembali si jalang yang dihakimi kelaparan. Padahal engkau memang baik, engkau ramah, engkau tampan, dan segala hal baik lelaki ada pada dirimu. Kenapa engkau tidak kembali?

Mencari sebuah kehangatan dalam api. Memeluk dinginnya sela jemari, dalam kesendirian tanpa genggaman selain kulit sendiri. Tentang kesedihan masa lalu yang telah kulupakan itu, ternyata aku menebusnya dengan seluruh airmata. Mati rasa tepatnya, menunggumu tanpa kepastian, menunggumu untuk kembali membeli cintaku ini.

Janji setia yang pernah terucap, kini jadi arang-arang hitam yang perlahan hancur.

Kini, saat malam begitu tak bersahabat, untuk pertama kalinya aku merasakan udara malam Jakarta. Di apartemen mewah, tubuhku berurai peluh meski hanya kain tipis jadi bungkusnya. Panas, karena tepat di punggungku, ada seorang lelaki. Iya, dia suamiku yang baru. Aku terlalu gugup untuk memulai kisah yang baru. Entah karena ranjang megah ini, atau karena wajah suamiku yang lalu—yang melayang mempertanyakan janji suci yang dulu. Janji untuk setia, dan menunggu...

“Sayang...,” sahut suami baruku dari belakang. Bibirnya serasa tepat di pundakku,  berbisik pelan memberi perhatian, berupa kecupan rapat yang menghangatkan.

Aku hanya diam. Bukan dia yang ada dipikiranku, bukan pula di hatiku! Meski ragaku mengiyakan setiap nafsu dan kelakar manusiawi, jiwaku menjerit. Lagi-lagi, demi sebuah kehidupan badani, demi sepiring nasi, aku mematikan hidup nurani dan kepercayaan akan cinta sejati. Aku cinta suamiku yang dulu, aku masih berharap dia kembali. Perasaan ini kembali justru ketika aku harus mulai mencinta lelaki baru ini. Tetiba, hatiku merasakan dingin melebihi saat hujan di desa. Aku pilu.

Aku tidak berharap yang seperti ini terus berulang. Sungguh melelahkan ketika harus belajar mencintai tapi bukan karena butuh terhadap cinta, melainkan karena raga ini butuh keduniaan. Aku pernah mencintai yang kumau untuk dicintai, saat yang sama tubuhkku terus menahan lapar, namun itu begitu sulit, karena cinta tidak dapat mengganti nasi.

Suamiku yang dulu, dia adalah yang pertama, yang melingkari jemariku dengan cincin permata, yang melengkapi akhir keperawananku di ranjang bambu. Dialah yang sebenarnya aku harap jadi pembeli cintaku, untuk selamanya... Aku sesungguhnya setia, tapi peradaban memaksaku untuk selingkuh. Semoga saja, ini suamiku yang terakhir. Dan maafkan aku, duhai suamiku yang lalu.

Setiap dari mereka bisa menggantikan api, namun tidak menjelma dalam hati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!