Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 19 Juni 2011

Emak



by @RyanJepank


"Mak, aku ingin sekolah," pintaku dengan sedikit memaksa.

Pagi itu datang lagi. Siluet kemerahan membentuk garis horizontal. Pancaran hangatnya mentari sampai menembus lubang-lubang gubuk kami. Suara cicit burung-burung membahana menjadi alunan melodi yang indah, sempurna.

Semalaman aku nyaris tak tidur. Memikirkan banyak hal. Lihat, wajah Emak tak secantik dulu. Ia menjadi pekerja keras setelah lama di tinggal Ayah. Lebih keras dari apa yang Ayah pernah lakukan. Sebenarnya aku kasihan melihat Emak harus seperti itu. Ada perasaan tak tega dan ingin selalu dapat membantu pekerjaannya. Paling tidak dapat memberikan pemasukan lebih untuk Emak agar setiap hari aku tidak memakan makanan sisa-sisa restoran melulu. Emak selalu saja melarangku.

Pagi itu wajah Emak sangat teduh. Aku ulangi perkataanku sekali lagi, "Mak aku ingin sekolah."

Emak hanya tersenyum. Senyum yang mengembang dari wajah tuanya seperti memangkas usianya. Perlahan ia menyapu seluruh bagian wajahku dengan tangannya.
"Iya Ren tahun ini pasti kamu sekolah, uhuuk uhuuk," jawab emak disertai batuk di penghujung jawabannya. Aku tersenyum dan gembira, karena setelah menunda sekolah dasarku selama dua tahun akhirnya tahun ini dapat merasakan atmosfir sekolah. Seperti apa ya?.

"Lalu uang pendaftarannya gimana mak?"

"Ini cukup," jawab Emak sambil memberikan uang hasil menjual gelang tangan kenang-kenangannya.

Tanpa komando dari Emak aku bergegas mendaftar sebagai murid baru sekolah dasar. Sungguh perasaan yang amat sulit digambarkan. Akhirnya aku resmi jadi siswi sekolah dasar.

Secepat kilat aku pulang ke rumah. Emak masih saja terbaring di ranjangnya.
"Mak bangun mak. Mak makasih yah, Reni sekarang udah bisa sekolah," ujarku girang.
Akan tetapi tak ada sambutan suara dari Emak. Tak seperti biasanya. Emak hanya diam.
"Mak...mak...emaaaaaaak."

Akhirnya bendungan air matapun pecah. Ketika kudapati Emak tak lagi bernyawa. Memang kali ini aku tak terlambat untuk sekolah, tapi terlambat untuk menyelamatkan nyawa Emak yang sangat aku cinta, selamanya. Penyakit kangker stadium IV merampas nyawa Emak dan aku terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!