Oleh: Melissa Olivia (@moliviatjia)
Butiran keringat dingin sudah berbentuk biji jagung di sekujur wajahku. Otakku terus berpikir keras, bagaimana aku bisa melewati semua ini dengan lancar dan aman, tanpa ketahuan oleh seorangpun.
Aku melihat sekelilingku. Wajah-wajah yang kulihat sangat jauh berbeda, mereka semua tampak tenang dan santai. Asyik masyuk mengerjakan kegiatan mereka. Seolah mereka sudah menguasainya dan tinggal menumpahkan apa yang ada di otak mereka. Tak ada yg nampak gelisah dan takut sepertiku.
Ah, aku jadi menyesal. Kupejamkan mata, merutuki apa yang kulakukan semalam. Betapa bodohnya aku bisa ketiduran di atas meja belajar? Tanpa kusadari. Mungkin karena kelelahan sehabis membantu ibu melayani pelanggan restoran kami hingga malam, tubuhku tak mampu menahan rasa lelah lebih lagi. Bahkan ketika esoknya aku harus menghadapi saat yang terpenting dalam hidupku, tubuh ini tak mau berkompromi.
Seminggu ini warung makan ibuku cukup ramai pelanggan. Kami jadi sering tutup lebih larut dari waktu biasanya. Demi meringankan pengeluaran, ibu tak ♍άǔ memakai banyak pegawai. Hanya aku sebagai kasir dan pelayan, ibuku sebagai koki, dan satu asisten untuk membantu mengelola warung makan khas Pekalongan ini, yang besarnya tidak seberapa. Ayahku sudah lama berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. Alhasil, ketika warung ramai kami semua kewalahan melayaninya. Apalagi pelanggan sekarang maunya serba cepat. Tak sabar menunggu makanan sementara perut mereka sudah berteriak minta diisi.
Sambil menghela napas, kubuka mataku yang langsung menatap selembar kertas yang baru terisi beberapa baris tulisan. Otakku benar-benar buntu. Kusanggah kepalaku, seakan kalau tidak, kepalaku bisa jatuh ke meja. Aku tak tahu harus bagaimana lagi mengerjakannya. Ya Tuhan, haruskah aku menggunakan jalan terlarang demi menyelamatkan beasiswaku?
Satu sisi hatiku mencegahku melakukannya, "Itu dosa, Nia. Bagaimana kamu akan menghadap akhirat nanti? Itu perbuatan terlarang! Tuhan dan ayahmu bisa kecewa berat! Ingatlah ajaran Tuhan. Jangan kau buat amal ibadahmu ini sia-sia. Jika kamu ketahuan, ibumu bisa malu. Katanya anaknya pintar, tapi kok berbuat curang saat ujian? Pikirkan baik-baik Nia. Jika kamu dapat nilai jelek pun, guru pasti akan memanggilmu dan bertanya. Jika kau jujur, kau pasti diberi kesempatan perbaikan. Jangan sampai kau menyesal."
Hatiku yang lain berkata sebaliknya, "Hai, Nia. Kamu sudah di jalan buntu, kalau kamu tidak melakukannya, bisa-bisa beasiswamu tamat! Kamu mau perjuangan kamu untuk sekolah sia-sia? Bagaimana nanti kalau ibumu tahu kamu gagal? Bagaimana kamu bertemu dengan ayahmu di akhirat nanti, ketika ia tahu impiannya agar kamu jadi orang sukses, ternyata gagal? Aku yakin, kamu akan selamat melewatinya. Lakukanlah dengan tenang, seolah tak ada apa-apa. Kalaupun ketahuan, gurumu akan maklum, karena kamu biasanya anak baik dan tidak macam-macam, ia pasti memaafkanmu..."
Argh! Ingin rasanya aku berteriak. Aku tak tahu mana yang harus kudengar. Tapi, perlahan-lahan tanganku mulai merogoh laci meja, berusaha membuka tas dan meraih buku yang kutaruh di sana. Jantungku semakin berdegup kencang. Mataku melirik ke seluruh ruangan, mengawasi apakah ada yang tengah memperhatikanku. Keringatku makin mengucur deras. Kemudian, tiba-tiba pandanganku kabur dan menjadi gelap. Hal terakhir yang kuingat adalah kepalaku membentur lantai, disusul teriakan kaget teman-temanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!