Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 27 Juni 2011

Catatan Harian Jaim

Oleh Achmad Ryan Setyadi a.k.a @RyanJepank



Malam seperti biasa sunyi bagi para penyendiri, ramai bagi para pemain kehidupan. Satu tempat yang kutuju saat itu, Kemang.


Malam bersambut ditandai tiupan angin yang mengelus begitu lembut. Akhirnya aku sampai disebuah café dan bar dikawasan Kemang. Ya, malam ini akan kuhabisi bersama dia, Yunita. Dari luar tampak begitu elegannya bangunan café dan bar ini. Dengan sorotan lampu temaram tapi menerangkan. Berderet mobil-mobil mewah lainnya yang pasti para pengemudinya sedang menikmati dentuman musik disco, dance-pop, hiphop, house music dan electric didalam.


Musik yang dimainkan dari dalam bar terus mengiringi matangnya malam. Aku telah duduk di dalam. Menunggu Yunita yang sedari tadi belum juga datang. Sambil menunggu kureguk segelas tequila yang perlahan mulai mengiris lambungku. Café dan Bar ini memang luar biasa. Semakin matangnya malam semakin banyak tamu yang datang.


Mataku tak pernah lepas ke arah pintu. Akhirnya gadis yang kutunggu-tunggu datang. Dari kejauhan nampak sorot matanya menyapu ke sekeliling ruang mencari-cari seseorang. Aku melambaikan tangan dan dari kejauhan ia pun melambaikan tangan pula. Ia menebarkan senyumnya padaku. Ah, cantik sekali gadis yang satu ini.


“Selamat malam Rey. Aku mohon maaf kali ini benar-benar terlambat.”


“Ok, Tak apa Yun. Kamu cantik sekali malam ini,” entah kata-kata itu dengan mudahnya meluncur dari goa mulutku.


“Aneh ya kamu Rey.”


“Aneh kenapa?”


“Ya aneh saja. Asli orang Jakarta tapi baru pertama kali datang ke tempat clubbing,” tawa kecil mengiringi saat ia selesai berbicara.


“Haha, maklum aku lebih takut izin dengan orang tua dari pada melebur dengan kehidupan malam.”


Nampak ia kembali tertawa kecil. Lucu sekali memang gadis yang satu ini. Aku mengelilingkan pandangan ke sekeliling bar mencari seorang pelayan dan kembali memesan minum untuk Yunita. Ia memesan segelas Jack Daniel. Ah, bukan. Bukan segelas tapi dua botol Jack Daniel.


“Gila,” gumamku.


“Apakah kau datang kesini untuk mabuk?” tanyaku lagi.


“No no no, aku tak mungkin mabuk.”


“Bagaimana tidak akan mabuk?. Kau akan mereguk dua botol Jack Daniel bukan.”


“Tentu tidak semuanya Rey. Apa kau juga tidak akan meminumnya”.


Aku mengangkat bahu dan kembali tawanya bercampur dengan dentuman musik disko. Pelayan kembali datang membawa pesanan. Yunita mulai membasahi bibirnya yang sintal. Nyata sekali bekas bibirnya melekat pada garis-garis terluar gelas. Gelas yang beruntung. Bahkan sampai saat ini untuk menyentuh bibirnya saja seperti sebuah kemustahilan untukku.


“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanyaku.


“Rey, jangan tanya hal-hal seperti itu disini ok. Kalau kau hanya ingin tanyakan hal-hal seperti itu kenapa kau tidak berkunjung saja ke rumah. Lebih baik kita senang-senang sekarang.”


“Ok.”


“Oh iya, bukankah tadi kau mengundangku kesini ada sesuatu yang lebih penting yang ingin kau utarakan. Apa?”


Aku mengacuhkan pertanyaannya. Tidak, tidak bermaksud mengacuhkan pertanyaannya. Tiba-tiba aku lebih tertarik mengamati sekitar. Memerhatikan orang-orang yang tengah asik berajojing di lantai dansa mengikuti iringan musik. Malam jelas semakin matang.


“Bagaimana kalau kita ikut turun?” tanya Yunita seraya melirik genit kepadaku.


“Kenapa tidak?”


Perlahan tapi pasti aku dan Yunita mulai menikmati dentuman musik yang dimainkan oleh DJ. Waktu itu J-Lo feat Pitbull dengan lagunya On The Floor dan Far East Movement dengan Like A G6 yang membuat para pengunjung terus berdansa. Entah mengapa musik jadi mengalun lambat hanya ada suara lengkingan saksofon dan dentingan piano yang berlari-lari kecil semakin membuat romantis suasana. Kemudian aku merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Semakin dekan semakin erat. Darahku berdesir hebat.


“Rey bukan kah kau ingin mengutarakan sesuatu?” tanya Yunita sambil melingkarkan lengannya ke leherku.


“Ya, tentu,” sambil melihat lebih dalam ke matanya. Sampai kutemukan sebuah titik temu antara ion positif dan negatif itu. Dan…..


“Cepat katakan Rey.”


“Ya aku akan katakan sekarang.”


“Ak…aku…aku…” hanya kata-kata yang terpotong keluar dari mulutku.



“Boooooooooooooooooooooooom”

Hingga seketika ruangan bar terasa gelap. Lampu-lampu bar terlihat berguncang begitu dahsyat. Diiringi suara gemuruh dinding-dinding bar seakan ingin runtuh. Para pengunjung menjerit, merintih sejadi-jadinya, kemudian teriak sekencang-kencangnya. Titik-titik api mulai bermunculan. Di dalam gelap gulita aku melihat kepulan asap memenuhi ruangan bar. Bercampur bau mesiu yang memaksa masuk ke hidung sampai ke pangkal penciuman. Sesak. Ada bau amis, lalu asin, lalu tawar. Semuanya menghitam, kelam. Lalu dimana Yunita?. Ada sesuatu yang belum aku utarakan padanya.


Dengan langkah gontai karena menahan rasa sakit , aku masih terus mencarinya di kepulan asap yang kian menebal. Lantai dansa berubah seketika seperti tempat persembelihan hewan-hewan saat Idul Adha. Warna merah darah membanjiri lantai dansa, tapi tak ada bekas tebasan golok disetiap lehernya. Badanku gemetar, seperti anak bayi yang tengah belajar berjalan.


Di sudut lorong menuju pintu keluar bar akhirnya kutemukan Yunita. Sungguh parah keadaannya. Wajah cantiknya tak terlihat seperti sedia kala. Bahkan ada serpihan botol bir yang menancap tepat di sebelah pipi kirinya.


“Yun, Yunita bangun, bangun, bangun,” kucoba menguncang-guncangkan tubuhnya.

“Rey….” hanya suara tertahan yang keluar dari mulutnya.

“Rey cepat katakan apa yang akan kau katakana rey. Katakanlah walau itu satu kata,” nafasnya benar-benar tidak terkendali.


“Rey katakan kalau ‘kau mencintaiku’. Katakan itu Rey,” terlihat cairan bening menggelayut di ujung matanya. Yunita tersengal kali ini nafasnya benar-benar sudah tidak terkendali.


“Aku..aku..aku menc ------- “ kata-kata itu terputus seketika seperti suara penelpon yang kehabisan pulsa.


Saat darah dari pelipis kananku tepat jatuh di wajah cantiknya. Tak ada yang bisa kulanjutkan. Tak ada. Tiba-tiba semua hitam. Hitam sepekat-pekatnya.


••••••


“Nak, nak, nak bangun nak,” suara itu bangunkan aku.


Perlahan mulai kubuka kelopak mata. Terang, tapi didepanku yang tertangkap hanya kotak kayu pembatas. Saat menoleh ke kiri dan kanan pun sama, hanya terlihat kotak kayu pembatas. Apa aku sudah berada didalam peti mati?. Apa saat ini aku sedang berhadapan dengan malaikat Munkar- Nakir?.


“Nak, nak, nak bangun nak,” kali ini dengan nada suara yang lebih tinggi.


“Bangun!!! Sedari tadi kau tertidur diruang perpustakaan. Cepat bereskan buku-buku dan catatanmu perpustakaan akan segera tutup.”


Kini aku mencoba membuka mata lebih lebar. Oh ya, aku hanya tertidur dan bermimpi bersama buku-buku perpustakaan. Untunglah hanya mimpi. Aku rapihkan semua buku perpustakaan sampai tak ada yang tertinggal. Oh tidak, ada yang tertinggal. Buku catatan harianku.


Lihat betapa naifnya diriku. Dalam mimpi aku tak dapat mengutarakannya bahkan dalam buku catatan harian pun aku tak kuasa menuliskannya. ‘Aku mencintaimu’ kata-kata itu tak sanggup keluar dari mulutku ia hanya membentur dinding-dinding hati yang terlampau beku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!