Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 21 Juni 2011

Waktu Aku Meramal Ala Gypsi

oleh @abi_ardianda

abiardianda.blogspot.com


Terpilih sepuluh dari tujuh puluh delapan kartu. Kutebar, dan kutaruh dalam keadaan tertutup.
“Percintaan,” katanya sambil senyam-senyum. Ia terlihat tampan diterpa lilin. Pikiran itu kutepis ketika kuingat lagi bahwa ia juga tetap tampan diterpa mentari, hujan, atau angin.
The Lovers, “rupanya senyuman-senyuman itu lahir dari hatimu yang sedang kasmaran.”
Ia terkekeh geli. “Lanjutkan.”
“Kau tidak sabaran sekali, pantas teman-teman menganggapmu diktator,” sahutku sambil membuka kartu kedua, The Empress yang bergambar pangeran tengah duduk di sebuah kursi di singgasana.
Ia tersipu, “terkadang kita harus meluruskan seseorang demi kebaikan, bukan?”
“Ya, tapi tidak memonitori.”
“Hei, aku ketua kelas.”
“Itu hal lain lagi. Baiklah, mari beralih ke kartu ketiga.”
Senyumnya ditahan. Sedari tadi juga susah payah debar jantung ini kutahan. Dalam hati aku mulai bertanya, siapa yang sebenarnya sedang kasmaran?
“Ayolah, cepat dibuka.”
Aku berhenti dan beralih menatap matanya. “Kalau kau masih merengek tidak sabar, kau tidak akan mendapatkan kartu terakhirmu,” rupanya mulutnya itu harus kusumpal dengan sebuah ancaman.
Ketahuilah, menjadi peramal itu begitu melelahkan. Mungkin tidak bagimu yang hanya duduk manis dan menanti prediksi masa depanmu sambil berseri. Kau tidak pernah tahu bagaimana berjuang menerjemahkan ilustrasi dari Pamela Colman Smith yang tersurat dalam arcana mayor dan minor. Belum lagi mengenai perasaanmu yang mesti kami jaga. Jujur, tidak pernah mudah bagiku untuk memberitahu seorang istri yang kelak menjanda. Atau ketika menemukan kartu Five Of Swords yang menyuruh seseorang untuk mengalah pada ambisinya. Sekalipun ini hanya ramalan, hal yang dipuja dan dicaci oleh sebagian orang, tetap saja lewat mulut kami berita itu ada.
“Hallo?” Ia melambaikan telapak tangannya tepat di depan wajahku.
Aku meringis. Ia pasti menangkap kebimbanganku ketika menemukan Three Of Swords pada kartu ketiga. Ini melambangkan sisi kelam pada kehidupannya. Lingkungan keluarganya. Aku hanya tak menyangka ia mampu menyembunyikan semua itu dalam setiap senyumannya.
Ia selalu tersenyum, juga siang itu. Selepas bermain sepak bola dan menemuiku di kantin, ia menanyakan apakah aku jadi berdandan ala gypsi saat meramal nanti. Kujawab iya asal ia akan menjadi pelanggan pertama. Ia mengiyakan, sambil melangkah pergi setelah mengatakan sampai nanti. Setelah itu, aku meminta pertolongan sahabat-sahabatku untuk mendandaniku secantik mungkin saat Pentas Seni. Acara yang biasa digelar setiap tanggal 22 Desember untuk merayakan ulang tahun SMA kami, di mana setiap kelas ditugaskan untuk membuat stand.
Di sinilah aku sekarang, membuka stand ramal dan mendapat pelanggan pertama, dia.
“Kau adalah lelaki yang tangguh,” susah payah kupilih kata untuk memulai kalimat.
“Tentu, bila tidak aku bukan lelaki.”
“Bukan begitu,” aku sempat tersenyum sebelum melanjutkan kalimatku, “maksudku kau tipikal orang yang tidak pernah menunjukan kesedihan.”
Ia membuang pandangannya ke samping. Kami sedang berada di sebuah ruangan kecil dengan kain hitam yang melapisi setiap dindingnya. Sengaja, didesain oleh teman-temanku untuk menambah kesan magis, katanya.
“Menurutku, sama sekali tak ada gunanya kita menyiarkan duka pada dunia. Untuk apa? Berharap mereka mengasihani kita?” Ia tertawa. Sinis.
Aku membuka kartu ke lima, The Devil. “Lalu, kau sudah memaafkan mantan kekasihmu yang menyakitimu?”
“Darimana kau tahu?”
“Aku tidak akan duduk di sini bila tak bisa membaca tarot.”
Ia tertawa. “Banyak hal yang akan terjadi ketika kita memutuskan untuk jatuh cinta. Termasuk luka. Namun belakangan aku percaya bahwa semua itu menjadikan kita semakin kuat. Kemalangan yang menimpa bukan berarti akan melemahkan kita, justru sebaliknya. Lantas untuk apa disesali?”
Perlu waktu yang tidak sebentar untuk mencerna penuturannya. Atau entah karena ketampanannya hingga untuk beberapa detik selanjutnya aku hanya terpana.
Dia betulan tampan. Sahabat-sahabatku setuju mengenai hal itu. Hanya saja tidak ada satupun di antara kami yang berani mengambil langkah untuk mendekatinya. Selain kelas kami berjauhan karena beda jurusan, tapi karena dia tidak memiliki banyak mantan. Jadi kami mendeteksi dulu seleranya, baru mulai mengambil tindakan. Maka bukankah menjadi suatu kehormatan bagiku untuk dapat berbincang dengan jarak tidak lebih dari satu meter dengannya?
Kartu ke enam ini merefleksikan masa depan. Aku senang melihat The Sun. “Itu artinya gadis yang tengah kau dekati adalah gadis yang tepat.”
Ahahaha, aku bahkan membayangkan bahwa akulah gadis itu.
Dia menggaruk kepalanya yang hampir tak berambut, “entahlah, aku tak yakin apa dia juga menyukaiku.”
“Mengapa bisa begitu?”
Bodoh sekali gadis itu. Bila aku berada di posisinya, aku tidak keberatan untuk menjauhi lelaki yang mengantarkanku ke sekolah setiap pagi. Atau berhenti menjadi sekertaris OSIS yang menimbulkan gossip kedetakanku dengan ketuanya. Apapapunlah itu, sungguh.
“Sepertinya tidak mudah mendapatkan dia.”
“Jika tidak salah dengar, tadi kau menyebutkan bahwa kau adalah lelaki.”
“Hei, kau meragukannya?”
“Tidak sebelum kau ragu akan kemampuanmu mendapatkannya. Sebagai lelaki, seharusnya kau cukup pintar untuk memikat perempuan impianmu.”
Ia mengangguk, terus begitu sampai kami sampai pada kartu ke delapan. “Ini gawat,” kataku.
“Kenapa”
“Perempuan itu tidak tahu sama sekali menganai perasaanmu,” jawabku pelan-pelan. “Ia mungkin bahkan belum benar-benar mengenalmu.”
“Memang iya, selama ini aku hanya berani mengamatinya.”
Aku mendesah, “bagaimana kau ini...”
Aku dengan ke sepuluh jariku yang kukunya di cat hitam beranjak pada kartu ke sembilan dan sepuluh, dimana The World yang tertera. “Itu pertanda bagus, kau akan jadian dengannya.”
Aku mulai kehilangan semangat. Entah mengapa. Tiba-tiba.
“Tentu saja, selama kau mampu meyakininya, kenapa tid-“
Mulutnya mengunci mulutku sampai kalimatku terhenti. Beberapa kartu dalam genggamanku bergetar. Basah.
Di sela kelancangannya itu dia berkata, “aku ingin mengenalmu, izinkan aku menjadi pacarmu.”
Untuk A.E Waite, terima kasih sudah menciptakan tarot.

3 komentar:

  1. Pembaca tarot beneran ya? haha.. ngerti banget sepertinya :)

    BalasHapus
  2. Hehe ketahuan. Jadi malu.

    BalasHapus
  3. This is so sad when I know that it's based on a true story .. (⌣́_⌣̀")

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!