Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 16 Agustus 2010

Charm

Oleh Gabby Laupa (@GabbyLaupa)
http://sipudel.blogspot.com/


“Sebagai penyihir, kau harus memiliki satu buah benda yang benar-benar merepresentasikan dirimu.”

Sesosok lelaki tua berjanggut putih menjuntai berjalan mondar-mandir dihadapan Azalea. Bola matanya mengikuti gerak tangan sang lelaki tua yang melambai-lambai ketika berbicara. Lelaki tua itu mengeluarkan sebuah benda kecil berkilau dari balik jubahnya. Benda itu hanya seukuran jempol Azalea yang kecil, sepertinya terbuat dari kaca atau batu permata kalau dilihat dari kilaunya. Sang Master mendekati Azalea sambil menimang benda berkilau tersebut di tangannya.

“Ini yang kusebut benda representasiku. Hanya satu penyihir yang memiliki benda ini. Aku,” ujar sang Master sambil memperlihatkan benda berkilau tersebut pada Azalea. “Eits, jangan disentuh. Nanti bisa kehilangan keampuhannya,” seloroh sang Master cepat sambil menarik benda berkilau itu dari Azalea ketika ia ingin menyentuh benda berkilau itu.

Sebuah jam pasir. Jam pasir yang menjadi representasi dari Masternya. Azalea kembali memperhatikan benda yang berada di tangan Masternya. Terlihat sangat kecil dan rapuh tapi juga terlihat sangat menggoda untuk disentuh. Sang Master kembali berjalan ke mejanya, sambil menyimpan kembali jam pasir mungilnya di balik jubahnya.

“Setiap penyihir memiliki benda yang berbeda sebagai representasinya. Tida ada yang sama, mustahil untuk dua orang penyihir memiliki dua buah benda yang sama sebagai representasinya.”

Sang Master membuka sebuah buku besar yang Azalea ketahui berjudul Kitab Sihir Dasar. Azalea dengan reflek ikut membuka KItab Sihir Dasar miliknya yang masih tertutup. Ia membolak-balik halaman pertama hingga halaman kelima, dimana dijelaskan bahwa pertemuan pertama harus menjelaskan 5 halaman pertama tersebut.

“Tutup bukumu, aku yang akan menjelaskan,” ujar sang Master mengagetkan Azalea. “Representasi atau banyak yang menyebutnya dengan charm adalah sumber kekuatan kita,” ujarnya. Kata-katanya terhenti dengan batuk basa-basi yang dikeluarkannya.

“Karena itu aku tidak membiarkan kau menyentuh charm milikku, anak manis. Banyak hal yang tidak diinginkan bisa terjadi tidak hanya padaku, tapi padamu juga anak manis.”

Mata bundar Azalea mengikuti gerak gerik Masternya yang sedikit hiperaktif. Kali ini sang Master berkomat-kamit mengucapkan sesuatu yang tidak terdengar oleh telinga Azalea lalu berdehem dan melanjutkan kalimatnya tadi.

“Apa yang barusan kulakukan adalah menyembunyikan charm-ku,” ujarnya sambil mengelus lembut halaman buku di hadapannya. “Yang harus kau ketahui dalah, charm memiliki semua kekuatanmu. Benda itu seperti bahan bakarmu ketika kau tidak memiliki energi, ingatanmu ketika otakmu sudah tidak mampu menampung semua pengetahuan, cermin dirimu ketika kau hampir tak mengenali dirimu sendiri.”

“Hmm, Master, saya kurang mengerti maksud dari ‘hampir tak mengenali diri sendiri’,” kata Azalea untuk pertamakalinya mengeluarkan suara sejak ia memulai kelas ini.

“Pertanyaan yang bagus, nak,” ujar sang Master sambil berdehem basa basi. “Ketika kau hampir menyelesaikan pelajaranmu dan otakmu sudah mendapatkan semua pengetahuan tentang ilmu sihir serta energimu dibangkitkan, kau tidak mungkin bisa mengenali dirimu sendiri lagi.”

“Dalam bentuk fisik, Master?”

“Tidak hanya dalam bentuk fisik, anak manis. Dari segi kekuatan juga. Enargi magis yang dimiliki olehmu tidak hanya untuk menggerakkan benda atau mengeluarkan air dari tanah, kau bisa membekukan lautan, mengubah daratan menjadi lautan dan lautan menjadi daratan. Hanya dengan kekuatanmu, nak,” ujarnya sang Master sambil menatap Azalea dengan sorot mata prihatin. Azalea merasa aneh, entah mengapa.

“Charm akan mengingatkanmu tentang dirimu yang sesungguhnya, begitukah Master?”

Sang Master mengangguk. Cukup puas dengan murid barunya yang satu ini. Terlihat cerdas, tentunya, dan banyak desas desus bahwa energi magis murid barunya ini lebih besar dari yang bisa dibayangkan orang-orang ketika melihatnya.

“Jadi saya harus membuat charm saya sekarang, Master?”

Guru Azalea itu menggeleng sambil tersenyum padanya. “Kau harus menemukan charm milikmu, bukan membuatnya, nak,” ujar sang Master pada Azalea. “Kau harus mengetahui inti kekuatanmu, lalu kau harus menemukan charm milikmu.”

“Apakah menemukan charm membutuhkan waktu yang lama?”

“Aku mendapatkan charm-ku setelah 10 tahun mempelajari sihir. Tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang kau perlukan untuk mendapatkan charm yang benar-benar merepresentasikan dirimu. Ketekunan dan kerja keras adalah kuncinya,” ujar sang Master.

Azalea mengangguk-angguk mengerti. Seperti tekadnya saat pertama kali dibawa ke tempat ini, ia akan menjadi seorang penyihir besar suatu hari nanti. Janjinya terhadap ibunya tak mungkin ia lupakan.

Menjadi penyihir hebat.


A/N : Endingnya agak aneh, kalau diterusin nanti jadi panjang gajelas kemana-mana. Mohon kritik dan sarannya!

2 komentar:

  1. Kalo dilanjutin, jadi Harry Potter dunks :)
    hehehe..
    good luck Gabi :)

    BalasHapus
  2. Thanks debong. aneh banget nih yang ini ._.

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!