Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 14 Agustus 2010

Sihir Hujan

SIHIR HUJAN
By: @Rahne Putri
www.sadgenic.tumblr.com



“Bagaimana rasanya jika aku SIHIR dirimu menjadi hujan”.

Itu kata-kata terakhir yang aku ingat yang keluar dari kerut bibirnya kepadaku. Belum sempat aku mengeja jawaban untuknya, disinilah aku sekarang. Menatapnya yang berdiri dekat jendela kayu dibalik awan kelabu. Melekat pandangan pada seorang penyihir yang bahkan tak perlu mantra untuk membuatku jatuh cinta. Penyihir yang menyamar sebagai laki-laki yang selalu berbaju biru. Kau pernah bercerita kenapa kau suka biru, katanya itu warna favorit Tuhan jawabmu. Lucu, penyihir yang percaya Tuhan. Kini, aku yang masih menahan bisu, berbisik perlahan pada angin, berharap terdengar hingga daun telingamu.

“Bagus, jika kau telah menyihirku. Sekarang, tak perlu banyak alasan untuk jatuh menujumu. Aku. Hujan”

Perlahan aku melepaskan diriku dari jeratan awan, aku belum terbiasa menjadi hujan, aku bingung apakah aku ingin menjadi gerimis yang jatuh perlahan padamu, ataukah lebat yang bisa dengan cepat menujumu. Ah entah, aku hanya ingin jatuh padamu. Menyentuh lagi kulitmu.

Sementara itu.

Aku menatap awan di balik jendela, aku kesepian tanpanya. Ah, aku sepertinya bertindak bodoh, untuk apa aku menyihirnya. Kenapa dia yang kujadikan percobaan. Dia yang biasa kuajak bicara, menemaniku meramu bumbu pesanan orang-orang untuk mempermudah hidup mereka, untuk mengabadikan wajah mereka yang menyatakan perang terhadap umur dan keriput, pesanan obat awet muda. Dia pendengar baik yang selalu ada. Kini aku hanya akan berbicara pada diriku sendiri, berteman sepi dan berkeluarga dengan sunyi. BODOH! Aku harus membuat mantra pintar untuk diriku sendiri.  

Tiba-tiba hening. Ada yang basah diluar sana. Bunga sepatu, dan ranting cuaca. Wangi tanah yang menggoda. Aku ingin keluar, melihat bagaimana rupanya setelah kusihir, akankah tetesan hujan sekarang akan selembut dan setenang dia. Tapi aku mengurungkan niatku, bagaimana bila ia dendam padaku. Dia bersekongkol dengan petir dan gemuruh, menghukumku, menyambarku. Aku menjauhi gagang pintu, dan hanya mengamati bulir-bulirnya dari balik kelambu.

Tik Tik Tik.

Aku meluruh Aku sudah berubah menjadi ribuan peluru hujan. Siap menghujammu. Kau malah sembunyi di balik telindung peraduanmu. Dasar penyihir egois! Sudah berubah menjadi keinginanmu pun nasibku tetap sama saja. Aku, hujan dan sia-sia. Aku ingat, kau sudah 2 kali menyihirku. Pertama kau sihir aku menjadi kupu kupu, katamu aku indah. Dan indah itu kupu-kupu. Katanya aku membuat hidupmu berwarna-warni, maka itu dituangkan dalam sayapku. Tapi apa? Kau hanya mengamatiku dari balik tabung kaca, sesekali kau ajak aku berbicara, bercanda. Tapi aku sia-sia aku hanya menjadi hiasan semata. Kau tak pernah memaknaiku, aku tak pernah menempati sepetak sudut di hatimu. Aku selalu sia -sia

Gelisahku di depan perapian kayu. Aku tak mengira perpisahan dan ketiadaan bisa sehempas ini. Tak seperti senja, ini perpisahan yang tidak mengesankan. Pikiranku melesat jauh, membuatku selalu melihat langit dan berkaca pada cakrawala untuk kembali mengembalikanmu. Beribu mantra tak kuasa bisa merubahmu kembali dari hujan menjadi sosok yang selalu malu-malu yang luput dari perhatianku. Aku melaknatku atas ketidakmampuanku. Ini hujan terlama dalam hidup ku. Kemarau pun terasingkan. Aku beranikan diri untuk menyentuhmu, dalam bentuk ribuan tetesan. Sekarang, kutadah kau dalam cawan rindu. Kuendapkan hingga mengkristal biru. Di musim kemarau kuteguk kau hingga ke ceruk dahagaku.

Kau kini menyadari wujudku. Apakah kini kau menyadari maknaku? itulah aku sudah terpelanting jatuh masih menunggumu berdahaga. Penantian panjang untuk menjadi seteguk kasih, sealir makna. Kutunggu runcing rindumu di padang dejavu. Kini, dalam segala genangan waktu kuraut juga rinduku dengan waktu. Menyerut serat candumu satu per satu. Hingga habis, dan ketika saatnya telah tiba, sihir aku menjadi bah asmara.
Biarlah aku tinggal di tubuhmu wahai penyihir, mengendap bersama darah, berlayar di seluruh arteri nadi dan bermuara di jantung hatimu. Akhirnya citaku tercapai, menempati sudut hatimu dengan apapun bentukku.



NB: beberapa potongan kalimat ini diambil dari tweet berbalas puisi @sihirhujan dengan saya

1 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!