Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 26 Agustus 2010

Cinlok

oleh : kembangbakung
Perempuan cantik itu berbisik dan menarikku ke belakang.
“Siap ya, coda-nya kita modifikasi seperti latihan terakhir...?” – ia mencoba mengingatkanku dan lebih seperti meredakan demam panggungku. Ah, dia tidak tahu, aku selalu merasa nyaman kalau ada dia di sekitarku.

***
Baris chorus terakhir… irama semakin menghentak. Garukan jemariku bermain semakin intens mengiringi lengking suaranya yang tinggi tapi tak pernah kehilangan kendali pitch. Selintas kehangatan dalam pandangnya aku lihat menyelinap dalam jalinan syair-syair yang kunyanyikan bersamanya… Ungkapan kata dalam lagu itu ternyata bukan sekedar lirik kosong yang wajib diucapkan. Aku melihat Vi bersungguh-sungguh dan menyampaikan kesan yang dalam kepadaku.
Gema suara penonton semakin memeriahkan panggung. Aku dan Vi menutup aksi dengan saling memunggungi dan meneruskan petikan cepat pada gitar kami lalu diakhiri dengan hingar bingar semua instrumen yang digawangi teman-teman dalam tim kecil ini. Kami tergelak di akhir lagu… sukses besar malam ini!
“Thanks, you sound great, girl…” bisikku di tengah gemuruh sambutan.
“Ya ya, you too… You’re the man of this show!” balas Vi mengerdipkan mata bintang timurnya….

… Ah, cinlok!...
Aku jatuh hati dengan situasi ini.
Sejak saat pertama pertemuan dengannya yang minta bantuan untuk memperkuat penampilan band teman-teman Vi.

“Asli, anak band?!”, begitu serunya spontan pertama kali tanpa malu-malu ketika dikenalkan.

Ah, aku agak minder sebenarnya. Perempuan ini kelihatan begitu percaya diri dan smart. Dia karyawati perusahaan besar, mungkin punya peranan penting di sini. Sedangkan aku, pemusik, dengan tampilan acak-acakan a la harajuku (yang sedang ‘in’ saat ini), tak seberapa dibandingkan dengannya. Tapi aku jadi besar hati ketika selama latihan dia banyak sekali minta bimbinganku tentang olah vokal, bagaimana membagi nafas di ujung nada tinggi, dan lainnya. Berulang kali ia mengajak berlatih, memoles improvisasinya. Hehe, sungguh perempuan yang tak kenal menyerah. Aku suka.

Dan musik membuat segalanya jadi indah… bukan hanya untuk mereka yang gemar mendengarkan, tapi juga untuk mereka yang menekuninya. Segala emosi dan percikan-percikan rasa pun terbuai dibuatnya… larut dalam alunan melodi, hentakan beat drum… dan
Vi semakin jadi mempesona ketika kami menyanyi duet.
Tapi malah dia mengungkapkan kagumnya ”Lu ternyata ga cuma gape memainkan melodi. Suara lu OK banget...”

Dan sekarang di sinilah kami. Di akhir festival musik yang diadakan kantor perempuan ini.

* * *

“Mbak Vi,,… langsung ke prasmanan area di belakang panggung ya!”, seru Fani, seorang teman kantor Vi yang bertugas jadi stage manager, dari kejauhan.

Baru aku tersadar, Vi masih memandangiku yang sedang merapikan Fenderku kembali ke casing-nya dari sisi seberang. Tinggal dia dan aku di tepi panggung ini. Pandangannya seperti berkata kalau dia tidak ingin cepat-cepat turun… Aku juga merasa hal yang sama, setelah penampilan ini, Vi, tidak tau kapan lagi kita bisa sepanggung, menempuh hari-hari latihan yang melelahkan namun penuh keceriaan, tidak tau lagi kapan bisa mengirimkan isyarat rasa dengan bebas lewat bait-bait lagu dan isyarat mata untuk menyamakan ketukan. Ah, apa bisa aku bicara langsung padanya saat ini? Oh, no no… it could be wrong!, hardik nalarku sendiri.

“Yuk, …”, ajakku setelah menyeberang menghampirinya. Dia masih berjongkok memperbaiki tali sepatunya.

Kemudian Vi bangkit berdiri “okay, okay,…” sahut Vi sebelum akhirnya tiba pada sepersekian detik keheningan dalam tatapan di antara kami…

Hei, ada apa itu di dalam sana? Vi tergeragap. Jantungku sendiri serasa berdetak tidak karuan seperti semestinya… Sekilas pandangannya begitu lembut dan hangat, lalu sebuah senyum… dan kata-kataku memecah hening…

“ We’re gonna miss all of this, isn't it?”… Uuuh, aku tak salah lihat, mata Vi agak berkaca-kaca, seperti  mau menangis.

“Already, I am…”, balasnya lirih dan tertunduk.

Aku mengulurkan tangan bergerak-gerak ragu entah ingin mencapainya atau apa… tiba-tiba saja keberanian itu datang, aku gamit jemarinya
“Makan dulu deh kita…”, kembali ke nada ceria seperti biasa.
Vi agak terkejut… namun ia begitu gembira… rupanya saat-saat yang tersisa ini masih akan diwarnai dengan hal-hal yang manis. Dia melangkah cepat mengiringiku yang kelaparan. “Laper banget guaaah…”, seruku lagi sambil masih tetap menggenggam tangannya…
“Ha ha ha… coba, gue mau lihat kayak apa sih anak band kalo makan…”, timpal Vi mencandai suasana. Kami beranjak.

Lalu dengan sengaja namun tiba-tiba kuhentikan langkah, Vi agak tersentak…
Ah, persetan! Saat ini atau tidak sama sekali.

“Vi,…”, kataku pelan menatap dalam ke matanya yang cuma berjarak sekian senti lagi. Vi terkejut, aku merasakan degup jantungnya di punggung tanganku. Ia jadi sedikit terengah, mungkin karena sebelumnya ia juga melangkah buru-buru menyamai langkahku…
Tapi kali ini, jantungku juga bertingkah, benar-benar ingin melonjak menabrak wajah manisnya yang jadi serius itu… Aku merasa sedikit bodoh sebenarnya.

“Aku…”, kataku lagi… “… suka sama kamu…” kueratkan genggaman menyungguhkan kata-kataku … namun seolah menyesali kelancangan perasaan yang kulahirkan, aku tertunduk…. Lorong ini senyap tidak ada sesiapa yang melintas…

Sejenak Vi seperti kehabisan kata dan bingung akan melakukan apa… Perasaannya tidak karuan, mungkin. Agak terkejut ia mendapati sambutan ini… Aku yakin selama ini dia berbicara lewat mata dalam syair-syair yang kami nyanyikan bersama di tempat latihan dan di panggung. Atau jangan-jangan aku telah salah membaca?! Tapi aku tidak buta! Aku rasa aku tidak berkhayal  bahwa dia menginginkan pesannya tersampaikan setegas menjabat tangan.
Perlahan jemari Vi di lengan yang bebas terangkat ke wajahku. Menyusuri pipiku di antara girap rambutku yang acak-acakan.

“K-, Kay….”, Vi berbisik hampir tak terdengar… Kami tidak pernah sedekat ini...
Nekat! Umpatku dalam hati. Kalau aku salah, habis tumpaslah aku.

“ … Aku… aku ga menyangka ini semua… bagaimana kamu bisa…  seolah menjawab perasaanku…?”
Ah, jantungku benar-benar berhenti sekarang. Haha, agak berlebihan.

Aku memberanikan bergerak perlahan namun lebih mantap setelah menangkap isyarat bahwa perasaanku kepada Vi berbalas, menarik dirinya semakin dekat ke dalam pelukanku. Vi langsung menenggelamkan wajah di bahuku.
“Aku ga tau Vi… aku hanya merasa… Kamu dengar kan bagaimana detaknya di dalam situ?”, tanyaku.

Vi mengangguk… Cuma rasa… Detak yang bergemuruh seperti gelegar suara musik tadi… di antara kami berdua. Dan pelukan ini ingin meredakannya, menyembunyikan dari semua bahwa ada rasa di antara kami yang selama ini mengambang bersama lirik lagu…

Ternyata ia nyata…

”Dan aku juga dengar suara perut laparmu, Kay!”, bisik Vi setelah beberapa lama terhanyut.

Kembali tersadar dari gelombang lembut itu dan kami tergelak menyadari betapa laparnya kami berdua... Setelah kudaratkan kecupan ringan di keningnya aku berlari ke arah area prasmanan. Dia mengejarku dengan sedikit kesal.
 
- end -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!