Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 26 Agustus 2010

Ironi Kayna

Oleh : Noerazhka
Twitter : @noerazhka

[Tema : The Power of First Line à Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang]



Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang.

" Ikut aku .. ", katanya, mengajakku meninggalkan keramaian.

Memang hanya itu yang dia lantunkan, yang berhembus masuk ke telingaku. Namun efeknya, seperti banjir bandang yang memporakporandakan segala apa yang dilewatinya. Atau seperti pusaran yang menelanku hingga dasar yang paling dalam. Aku terkapar, tepat di hadapannya.

Sumpah ! Aku nyaris terjengkang dari alam sadarku, ketika mendadak dia muncul di sela-sela kerumunan orang. Wanita itu tersenyum. Aku paham senyum itu. Bagaimana tidak, jika hampir setiap hari senyum itulah yang menghantuiku, yang membayang-bayangi setiap detikku. Aku ingin menghindar, tapi apa daya, dia lebih cepat menahan lenganku. Aku terperangkap.

Dia mengajakku duduk, di antara keramaian tempat ini. Sungguh, banyak sekali orang-orang berkeliaran di sekitar kami, tapi yang aku rasakan kebalikannya : hening. Orang-orang itu seperti hantu yang melayang dan bergentayangan, tanpa suara. Yang nyata hanya dia, wanita itu. Dan aku.

Kemudian wanita itu memandangiku, masih dengan senyumnya. Ya, hanya memandangiku. Belum ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Semenit dua menit, aku masih bersabar menunggu dia berkata sesuatu. Hingga akhirnya kesabaranku habis pada menit kelima. Aku mengesah dan menggeser sedikit kursiku. Semoga dia paham aku jengah. Sayangnya tidak. Dia tetap hanya memandangiku dan diam. Astaga ! Aku bisa gila ..

" Mau apa ? "

" Sungguhkah kamu belum tau apa maksudku menemuimu ? ", dia malah balas bertanya.
Sial ! Aku mengusap-usap wajah, mencoba menghilangkan kesal. Aku harap dia hanya bagian dari mimpi burukku. Sehingga hanya dengan aku menjentikkan jari, dia menguap, seperti asap. Tapi, sekali lagi, sayangnya, dia nyata. Dia ada. Dan sekarang dia bercokol kuat di depan mataku. Arghhh ..

" Tidak ! ", aku berbohong. Sesungguhnya, aku sudah tahu untuk apa dia menemuiku. Hanya saja aku berharap apa yang aku tahu itu salah. Aku tahu, tapi aku enggan mengakuinya.

Dia tersenyum lagi, kali ini tangannya terulur, mengusap rambutku. Aku ketakutan setengah mati. Usapannya seperti mantra pembeku, yang siap menjadikan seluruh jiwa ragaku seperti balok es.

" Tinggalkan dia .. ", desisnya. Cukup membuatku tersapu badai salju. Tubuhku menggigil.

" Tidak .. "

" Harus ! ", sambungnya lembut. Meski dalam kelembutan itu, aku rasakan tersimpan ribuan hujaman pedang, yang siap membunuhku kapan saja.

Aku diam, dengan kepala tertunduk dalam. Aku sekarat. Tidak tau apa lagi yang bisa aku perbuat.

" Sudah cukup lama kamu merebut kebahagiaanku, sekarang saatnya kamu kembalikan .. ", katanya lagi.

Aku menggeleng,

" Tidak bisa, Kak .. ".

" Kenapa ? Bang Ardan itu suamiku dan aku kakak kandungmu, Kay .. Kamu tidak lupa itu kan ? Berhentilah menyakiti aku ..  Masih banyak laki-laki lain, bukan ? ", dahinya berkerut, melihat aku begitu berkeras hati.

Kembali aku menggeleng. Aku menatapnya, sambil perlahan tanganku bergerak menuju perut dan mengusapnya lembut.

Rayna, wanita itu, yang kakak kandungku itu, yang suaminya adalah kekasihku itu, menatapku nanar. Dia paham maksudku. Aku mengandung. Mengandung buah cintaku dengan suaminya.

Seolah hendak tak percaya, namun inilah kenyataannya. Sama seperti kenyataan yang harus aku hadapi, ketika ternyata aku mencintai kakak iparku sendiri, Bang Ardan.

Air matanya luruh. Kemudian, tanpa kata, dia beranjak pergi, meninggalkanku. Tanpa sepatah kata lagi ..

###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!