Oleh: Azka Shabrina
Atas Awan.
Padahal hari ini tidak ada awan mendung, tapi wajah Cupid terlihat muram. Beberapa kali ia menggaruk bagian belakang kepala dan kedua alisnya terus-menerus ditautkan. Matanya tertuju ke bumi.
Dengan bibir cemberut ia menggumam sendirian. “Jangan-jangan kali ini gue salah nih...”
“Salah apaan?”
Tersentak, Cupid menoleh ke asal suara yang berada di sisi kirinya. Disana sudah hadir Apollo, memperhatikannya dengan pandangan bertanya.
“Elu kalo nongol jangan tiba-tiba gitu bisa ga sih?!” Cupid mengomel. Wajahnya semakin tertekuk.
“Buat apa gue jadi dewa kalo ga bisa nongol tiba-tiba?” jawab Apollo enteng. “Tampang lo kenapa jelek gitu?”
Masih dengan bibir dimajukan, Cupid menunjuk objek yang sejak tadi ia perhatikan. “Lo liat deh dua orang itu. Mereka jodoh.”
“Terus kenapa?” kini kening Apollo ikut tertekuk, heran. “Elo kan dewa cinta, masa ngejodohin orang aja bingung?”
Cupid menyipitkan mata, sebal. “Ngejodohinnya sih gampang. Tapi coba lo liat dulu kelakuan mereka, baru lo bakal ngerti kenapa gue bingung.”
Bumi.
Maya membubuhkan keterangan terakhir pada catatannya, kemudian menutup binder yang sejak tadi ia pegang. Jujur saja, kalau tidak banyak-banyak mencatat ia tidak akan bisa menguasai materi yang diberikan. Ia tahu dirinya tidak pintar. Satu-satunya cara agar tidak tertinggal adalah dengan menjadi rajin.
Gadis itu lalu bangkit dari duduknya. Kelas berikutnya masih tiga jam lagi, jadi ia masih punya waktu untuk belajar sebelum menghadapi kuis.
Ia layangkan pandang ke sekeliling kelas. Sudah kosong. Ternyata memang hanya tinggal dirinya yang masih berada disini...
Oh, tidak.
Maya menangkap sebuah sosok menelungkup diatas meja built-in. Rupanya Ari tertidur di baris paling bbelakang.
Cih, gue ga akan repot-repot ngebangunin dia. Salah sendiri, kenapa tidur selama kuliah.
Memutuskan untuk tidak peduli, Maya memasukkan binder dan alat tulisnya kedalam tas dan melangkah menuju pintu.
“Nona Rajin ternyata bukan Nona Baik Hati, ya?”
Maya menoleh, terkejut. Ari sudah bangun, duduk bertopang dagu memandanginya dengan wajah teler berat.
Kapan dia bangun? Tadi kan masih nyenyak!
“Kenapa gue nggak dibangunin?” tanya Ari dengan pandangan tajam.
“Gue sibuk nyatet,” Maya membalas pandangan cowok itu tanpa gentar.
“Oh ya, gue lupa. Nona Rajin,” Ari tersenyum mencemooh. “Tapi seperti yang gue bilang tadi, bukan Nona Baik Hati. Bahkan untuk ngebangunin orang aja males.”
“At least gue lebih baik daripada elo yang kerjaannya cuma tidur sepanjang kuliah,” balas Maya sengit.
Ari tertawa mengejek. Ia lalu berdiri dan berjalan ke pintu keluar. Dihentikannya langkah ketika sampai di hadapan Maya. “Bukan elo yang nentuin siapa yang lebih baik daripada siapa.”
Kemudian dengan senyum meremehkan, cowok itu melanjutkan langkahnya keluar kelas.
Atas Awan.
“Ngerti kan lo?” Cupid memandang Apollo hopeless. “Itu orang berdua saling benci. Mana bisa jodoh?”
Apollo memperhatikan kedua objek yang sekarang berjalan ke arah berlawanan. Yang satu ke perpustakaan, yang satu ke kantin. Yang satu isi kepalanya penuh dengan pelajaran, yang satu penuh dengan senang-senang. Hanya satu yang sama: dua-duanya sedang dongkol.
“Emang ribet sih kalo yang begini dijodohin...,” Apollo menatap prihatin.
“Makanya, apa mungkin salah ya?”
“Jodoh mana bisa salah sih?” Apollo balik bertanya.
“Jadi gue jodohin aja nih?” Cupid masih ragu.
“Iya, buruan panah gih.”
“Jaman sekarang main panah udah ga trending lagi. Kita aja udah ga pake cawat kan,” Cupid membetulkan lipatan kerah kemejanya dengan jumawa. “Sihir gue juga udah lebih keren.”
Apollo melengos, malas. “Apapun caranya deh. Cepetan jodohin mereka berdua.”
Bumi.
Ari mengawasi punggung Maya dari baris paling belakang. Betapa jengkel dirinya karena mendapat kelas yang sama dengan cewek itu bertubi-tubi dalam sehari.
Sok rajin, batinnya dongkol. Nyatet melulu, cari muka ama dosen... Cih!
Sejak pertama kenal dan satu kelompok ketika masih OSPEK, Ari sudah sangat tidak menyukai Maya. Menurutnya, cewek itu kelewat perfeksionis. Berbeda jauh dengan dirinya yang nyantai. Belum lagi sikap meremehkan Maya padanya yang membuat mereka saling serang setiap kali berada di kepanitiaan yang sama.
Emang kenapa kalo gue nggak rajin? Kalaupun gue DO juga ga ngaruh sama hidup dia.
“Oke,” Pak Dosen yang tadi sedang duduk anteng di mejanya kini berdiri. “Sekarang coba tolong selesaikan kasus yang ada di textbook, halaman 257. Kerjakan berdua dengan partner kalian.”
Kelas mendadak riuh. Beberapa orang pindah duduk ke sebelah partner masing-masing. Semua sibuk berdiskusi.
“Partner?” Ari mengernyit bingung. Ia colek Egi yang duduk terkantuk-kantuk di sebelahnya. “Partner apaan sih?”
“Minggu lalu kita dipasang-pasangin. Elu kan waktu itu dispensasi buat kepanitiaan.”
“Partner gue siapa?”
“Maya.”
Ari melongo. Refleks ia menoleh ke arah orang yang bersangkutan, yang juga terlihat sedang bertanya pada teman di sebelahnya. Minggu lalu Maya juga terkena dispensasi.
Dan benar saja, sesuai dugaan, wajah Maya mengerut tidak senang ketika mengetahui bahwa mereka harus bekerjasama. Gadis itu menoleh ke belakang, bertemu pandang dengan Ari, kemudian mengedikkan kepala. Sebuah perintah yang menyuruh Ari duduk di sebelahnya.
Ari menunjuk Maya, kemudian menunjuk kursi kosong disebelah tempatnya duduk. (Elo yang kesini).
Maya menggeleng, kemudian memukul-mukul kursi di sebelahnya. (Elo pindah kesini. Sekarang.)
Ari melipat kedua tangan di depan dada. Ia menggeleng. (Nggak mau.)
Maya melotot. (Buruan kesini sekarang!!!)
Ari melengos. (Ogah.)
Kesal setengah mati, Maya akhirnya menghampiri Ari. Wajahnya kusut tidak karuan. “Hari ini gue manusia paling sial di dunia!”
“Ga usah ngomel-ngomel gitu,” Ari menanggapi, dingin. “Gue juga males banget harus kerja bareng elo.”
Maya membanting pantatnya ke kursi. “Buka buku lo. Kerjain sekarang biar cepet selesai.”
“Gue ga bawa buku.”
“ELO NGGAK BAWA—?”
“Lo yang kerjain deh. Gue mau tidur.”
Dengan enteng, Ari menelungkupkan kepala di meja. Masa bodoh dengan tugasnya. Si Nona Rajin ini kan pasti bisa mengerjakan semua dengan baik meskipun sendirian.
Maya memaki dalam hati. Ia sungguh murka. Marah besar, ditendangnya kaki Ari keras-keras.
“AWWW!!!” Ari menjerit tertahan. “LO UDAH GILA YA???”
“Kalo lo nggak bawa buku, lo bisa baca catetan gue! Bukan berarti bisa enak-enak tidur!!!”
“Lo ga bisa lebih sopan?! Nilai bagus, kelakuan minus!!!”
“Elo—!!!“
“Class, waktu kita hari ini sudah habis,” suara Pak Dosen menghentikan adu mulut diantara keduanya. “Serahkan tugas itu lusa. Saya tunggu di meja saya sebelum pukul 9 pagi. Selamat siang.”
Ari dan Maya terdiam, mengatur nafas yang Senin-Kamis akibat luapan emosi. Keduanya melihat ke arah berlawanan, malas bertatap muka.
Maya menyodorkan catatannya tanpa menoleh. “Baca.”
Malas berdebat, Ari mengambil catatan itu dan mulai membaca. Dalam hati, tentu saja, ia menggerutu habis-habisan.
Sembarangan main tendang... Nggak tau aturan banget. Berasa lebih hebat cuma karena dia lebih berprestasi... Brengsek.
Ari melirik Maya yang sedang membolak-balik buku dengan wajah tak kalah kusut. Padahal kalo nggak nyebelin, dia sebenernya cukup cantik...
Alisnya mengerut setelah membatin demikian. Apaan sih? Kenapa gue bisa mikir sampe situ?
Ia melirik Maya sekali lagi. Tapi emang iya... Cantik.
Tidak ingin lebih ngaco lagi, Ari menekuni catatan di depannya. Sepuluh menit kemudian ia kembalikan catatan itu pada Maya.
“Tuh udah.”
Maya menghela nafas, menahan emosi. “Baca dulu.”
“Udah.”
“Maksud gue, SEMUA.”
“UDAH.”
Ari memelototi gadis di depannya, semakin dongkol. Lagi-lagi Maya menunjukkan sikap meremehkan. Kenapa harus seperti itu terus sih kepadanya?
Maya balik menantang kedua mata Ari.
Anehnya, kali ini ia tidak sanggup berlama-lama.
Buru-buru ia alihkan pandangannya. Kenapa begini? Ia kan tidak takut pada cowok itu? Kenapa jadi tidak mampu memandang balik?
“Terserah deh,” ujarnya akhirnya. Pasrah.
“Hei Nona, gue beneran udah baca. Gue udah ngerti. Sini, kasih gue satu soal. Biar gue kerjain,” Ari merampas buku dari tangan Maya, super sebal.
Maya memperhatikan cowok di depannya tersebut. Masa sih anak ini ngerti? Ia kan hanya asal-asalan membaca. Lagipula materi sebanyak itu... tidak mungkin ia sudah mengerti, kan?
Masa bodohlah. Paling-paling dia mau bikin gue kesel lagi.
Tidak peduli, Maya membenamkan kepala pada bukunya lagi. Daripada rugi nilai karena partner yang sembarangan, lebih baik ia kerjakan sendiri. Biar si bodoh di sebelahnya ini bertugas mengetik saja.
“Nih.”
Maya mendongak, mendapati secarik kertas disodorkan kepadanya. Diraihnya kertas tersebut malas-malasan. Paling-paling isinya ngaco.
Eh?
KOK BENERAN BISA??!
“Tampang lo ga usah kaget gitu.”
Maya menoleh, dan matanya bertabrakan dengan mata Ari. Grogi, buru-buru ia menundukkan kepala lagi. Wajahnya pias.
“Kenapa diem? Tadi cerewet banget,” ujar Ari sinis.
“Gue pikir—“
“Apa? Lo pikir gue ga bakal bisa ngerjain tugas itu, hanya karena gue ga pernah nyatet?” potong Ari. Suaranya sedingin es. Ia melengos, malas memandangi nona besar di sebelahnya ini. “Jangan suka ngeremehin orang, Non.”
Maya menelan ludah, feeling guilty. “Ya udah, ternyata kan elo bisa, sekarang kita kerjain lagi—“
“Nilai boleh bagus. Tapi lo sadar ga sih, lo itu mati sosial?” Ari masih melanjutkan ucapannya. “Isi otak lo cuma belajar, belajar dan belajar... Sampe-sampe ga punya temen. Kenapa? Lo takut ga ‘terlihat’ kalo nggak pinter? Kasian amat. Nggak takut bakal dimanfaatin orang kalo begitu terus? Makanya gue bilang, lo itu nilai bagus, kelakuan minus...”
Ari menoleh kepada Maya lagi. Sebagian karena ingin melihat reaksinya, dan sebagian lagi hanya karena ia ingin memandangi gadis itu.
Dan yang ia lihat kini adalah wajah Maya bersimbah airmata.
Loh, kok nangis sih?
Atas Awan.
“Loh, kok nangis sih?!” Cupid panik. “Itu kenapa dia nangis?!”
Apollo menghela nafas. “Si Ari keterlaluan juga sih. Orang udah nunduk gitu masih aja dimarahin. Si Maya sakit hati, tuh.”
“Sakit hati?” Cupid mengernyitkan alis. Diguncang-guncangnya bahu Apollo dari samping. “Ya udah, tolong sembuhin dong! Biasanya kan elo bagian medik, ya kan?”
“Heh, gue kan bisanya nyembuhin sakit lahiriah. Ini HATI. Mana bisa.”
Cupid cemberut. “Terus gimana dong? Masa gagal sih?!”
“Tenang. Elo kan dewa cinta, cool dikit dong,” Apollo menepuk punggung Cupid. “Kita tonton terus.”
Bumi.
Pantesan tiba-tiba dia ga ada suaranya.. Nangis, toh.
Meski luarnya terlihat santai, sebenarnya Ari kebat-kebit juga. Ia hanya mampu memandangi si nona yang menangis di hadapannya, tidak tahu harus berbuat apa.
Tuh kan, beneran cantik... Ari menelusuri wajah Maya yang kemerahan dengan matanya. Kenapa elo harus secantik ini, padahal elo sejudes itu?
“Oi... Udah dong nangisnya...,” Ari mencolek-colek pelan lengan Maya. “Maaf, tadi omongan gue ngaco...”
“Enggak,” Maya menggeleng disela isakannya. “Omongan lo bener, makanya gue nangis...”
Dan setelah berkata demikian, isakan Maya jadi semakin keras. Mati gaya, Ari menepuk-nepuk punggung gadis itu. “Udah ya nangisnya...”
Malu, Maya berusaha mati-matian mengerem tangis. Ia paling tidak sanggup kalau tiba-tiba ‘kebaca’ seperti tadi. Lebih baik berantem, deh. Tapi, Ari yang tiba-tiba lembut begini...
Mungkin dia nggak seburuk yang gue pikir, ya?
Tangan Ari kini membelai-belai kepala Maya, berusaha setengah mati meredakan tangis gadis itu. Untuk sesaat tidak ada yang bicara sampai Maya menuntaskan isakannya. Ia sesenggukan.
“Udah?” tanya Ari, lega melihat Maya mulai reda. “Maafin gue ya.”
Maya mengangguk. Aduh, muka gue jadi berantakan begini. “Nggak apa-apa. Gue juga salah.”
“Mau pulang?”
“Iya...,” Maya menatap Ari dengan mata sembab. “Tapi tangan lo...”
Ari buru-buru menarik tangannya yang sejak tadi masih membelai kepala Maya, kemudian berdeham untuk menutupi salah tingkahnya. Keduanya saling membuang muka, malu.
Kenapa suasananya jadi begini?
Tiba-tiba saja, Ari kangen bertengkar.
Atas Awan.
“Udah oke, kan?” Apollo tersenyum puas. “Makanya, tenang aja. Namanya juga jodoh. Pasti beres.”
“Iya,” Cupid tersenyum lebih lebar. “Thanks ya bro.”
“Sip. Gue cabut dulu ya, banyak kerjaan nih. Daah.”
Atas Awan, sebulan kemudian.
Sore ini cerah, dan Apollo menghabiskannya dengan minum teh sendirian. Ia sedang tidak banyak kerjaan, dan tidak ada yang bisa menemaninya. Ia cemberut.
“Pada kemana sih, sepi banget. Udah gitu gue ga ada kerjaan pula, bosen. Ga ada hiburan ya?”
“Ada.”
Apollo menoleh, terkejut. Di sebelahnya, Cupid duduk sambil nyengir lebar.
“Sialan, biasanya kan yang ngagetin gitu jatah gue!” Apollo mengomel tidak rela. “Lo ngapain disini?”
“Baru aja selesai kerja. Banyak banget yang jodoh akhir-akhir ini,” Cupid mengambil cangkir teh Apollo. “Minta ya.”
“Dateng-dateng bukannya bawa makanan malah minta teh,” Apollo sewot. “Tadi kata lo ada hiburan. Mana?”
“Tuh,” Cupid menunjuk ke bumi. “Lo lupa?”
Apollo melongokkan kepala, kemudian nyengir. “Oh iya.”
Bumi.
“Nonton ini aja ya?” Maya menunjuk poster film yang dipajang di dinding bioskop. “Aku penasaran, katanya bagus.”
Ari mengerang. “Aku kan nggak suka yang kayak gitu.”
“Ayo dooooong,” Maya memohon. “Yang ini aja ya?”
Ari menatap wajah gadis di depannya yang terlihat begitu berharap. Ia tersenyum kecil, kemudian mengangguk. “Ya udah.”
“Yesss!” Maya bersorak girang, membuat senyum di wajah Ari semakin lebar. Dirangkulnya gadis itu, and they fit. Seharusnya sejak dulu seperti ini.
Mereka masih punya waktu satu jam lagi sebelum film dimulai. Lapar, keduanya memutuskan untuk mencari tempat makan.
“Disini aja ya?” Ari menunjuk sebuah restoran fastfood.
“Yaaah, kok junkfood sih. Jangan dong,” Maya memandang berkeliling, kemudian menunjuk sebuah restoran. “Disitu aja tuh.”
“Okay...,” Ari mengalah. “Ada smoking area-nya kan disitu?”
Maya mendelik. “Kamu mau ngerokok?!”
“Lah, iya kan?”
“Nggak boleh!”
Ari melongo. “Lah?”
“Pokoknya jangan ngerokok di depan aku, aku ga mau!”
“Dasar cewek egois!” Ari melepas rangkulannya, bete. “Aku udah nurut banget daritadi. Film udah terserah kamu. Restoran juga. Aku cuma minta smoking room!”
Keduanya diam, saling melotot. Namun tidak seperti dulu, lama-kelamaan ekspresi Maya melembut. “Ya udah. Aku ga mau berantem.”
Ari mengendur dan tersenyum lagi. Dirapikannya seutas rambut di kening Maya yang ‘kabur’ dari gerombolannya. Dirangkulnya lagi gadis itu, kemudian mereka melanjutkan jalan-jalan sore hari itu.
“Berantem-berantem dikit juga nggak apa-apa... Biar seru...”
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
kerennn, dejavu, kayaknya pernah baca dimana gitu, buat novelnya dong hehehehehe
BalasHapusnovel.. umm.. lebih susah bikinnya, hehe. tapi dicoba deh. makasih yaaa.
BalasHapusadmiiin, font sama marginnya boleh tolong dibenerin nggaaa? hehehe
Ringan dan kocak! Suka sama tulisan ini :)
BalasHapus(saya pernah ngalamin yg mirip kaya gini juga hehehehe)