Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 14 Agustus 2010

Simple


Simpel
Tema: freestlye/paralel
Oleh Evira Vivikananda

Hujan kembali turun hari ini. Tetes demi tetes membasahi bumi yang semakin panas dan membuat kaca penuh dengan aliran air dan embun. Suara orang bercengkrama, payung-payung yang dibuka, dan suara cipratan air sudah seperti musik di kala hujan. Kopi, teh, dan segala sesuatu yang hangat menjadi teman setia.
Di balik kepulan Hot Chocolate yang hangat, ia duduk sendiri dengan notebook hitam di hadapannya. Ia terlihat serius memandang objek di depannya, padahal sebenarnya tidak. Matanya yang berwarna cokelat tua sibuk memperhatikan gerak-gerik seorang waitress yang sedari tadi bolak-balik melayani tamu yang datang dalam keadaan basah kuyup. Ia tersenyum sendiri, teringat memori dua bulan yang lalu ketika ia datang ke kedai ini
-flashback-
Oh sh*t, gue lupa bawa payung! Faris mengumpat dalam hati ketika ia melihat tetesan air jatuh dari langit. Ia sedang berada di dalam bus yang membawanya pulang dan jarak antara halte dimana ia turun dengan rumahnya cukup jauh. Ia berharap hujan sudah reda ketika ia sampai di halte.
Harapan Faris pupus ketika awan berkehendak untuk menumpahkan tangisannya lebih deras. Dalam sekejap ia basah kuyup padahal ia baru saja turun dari bus. Ia lalu melihat sebuah kedai yang baru saja diresmikan beberapa minggu yang lalu. Take Your Cake. Karena desakan untuk berteduh sangat kuat, ia berlari ke kedai itu.
Faris membuka pintu dengan cukup keras, membuat beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Terdengar suara bisik-bisik dan cekikik kecil. Jeez, malu-maluin aja.
“Maaf, seharusnya saya nggak masuk.” Ia berkata pelan.
“Tunggu!”
Faris menengok ke sumber suara dan melihat seorang perempuan yang tersenyum menghampirinya. Perempuan itu berpostur sedang dengan rambut hitam legam yang dikuncir kuda, softlense bewarna cokelat madu, pipi yang tirus, dan penampilan yang fashionable.
“Kan udah sampai di sini, duduk dulu aja.” Ia memberi gestur kepada Faris untuk memilih tempat duduk. “Tunggu sebentar ya.”
Faris menatap kepergian perempuan itu. Suaranya halus sekali…lho? Sepertinya air hujan membuat kerja otak gue sedikit kacau. Ia memilih tempat duduk yang terdekat.
“Nih ada baju janitor. Sebenernya sih di sini belum ada pekerjanya, tapi teman saya terlanjur membelinya. Semoga muat. Kamar mandinya ada di sana ya.” Perempuan yang tadi datang kembali dan memberikan baju yang ada di tangannya.
Faris menggumam kata ‘terima-kasih’ dan bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Ia dapat merasakan beberapa pasang mata menatap punggungnya.. That’s really hit my nerve.
Baju yang dipinjamkan ternyata pas. Faris tersenyum lega. Ia memeras bajunya yang basah hingga tidak ada setetes air yang jatuh, kemudian ia masukkan baju itu ke kantung plastik. Faris kembali ke tempat duduknya dan terkejut melihat sebuah gelas berisi Hot Chocolate yang hangat dan tiga buah Cupcake yang tersusun apik di atas piring kecil. Di samping cupcake, ada papan kecil bertuliskan:
-Cupcake of the Day-
Steady Road Cupcakes.
Once you have started something, there is no going back.
Faris bersiul rendah, kagum dengan inovasi yang diberikan oleh kedai ini. Ia mencicipi satu cupcake dengan ragu, tapi keraguan itu hanya sementara karena dalam hitungan detik 3 cupcake itu sudah habis. Bahkan kata lezat tidak dapat mendeskirpsikan cupcake itu.
“That’s my boss for you.” Suara seorang perempuan menyapa dengan ceria.
Faris mendongak ke asal suara dan langsung menyadari bahwa ia bukan waitress yang tadi, “Maksudnya?”
“Cupcakenya bikin ketagihan kan?” Perempuan itu nyengir, matanya yang bewarna hitam penuh dengan antusias dan semangat, seolah kata ‘diam sejenak’ tidak ada di dalam kamus hidupnya.
“Cocok sama quote-nya. Bos kamu yang buat?” Faris bertanya.
“Seira.”
“Nama lo?”
Perempuan itu nyengir, “Bukan, itu nama bos gue, yang tadi bantuin lo itu loh. Oh ya, dia single.”
Faris menaikkan alisnya, amused, “And you are telling me this because…?”
“Just fyi. Oh ya nama lo siapa?” Ia bertanya cuek.
“Faris.”
“Dina.”
“Dan itu nama?”

“Gue.” Dina tertawa kecil lalu menghilang ke dalam dapur.
Faris mau tak mau ikutan nyengir.
-end of flashback-
Semenjak saat itu, Faris cukup rajin singgah ke Take the Cake, dua sampai tiga minggu sekali. Alasan sampingannya adalah cupcake yang begitu lezat, sedangkan alasan utamanya sudah jelas. Ia tertarik dengan bos slash waitress yang menolongnya waktu itu.
Good thing no one realises it, Faris tersenyum kecil. Pandangannya lalu bertemu dengan mata yang seolah berkata, “I know, idiot.” dan senyum penuh kemenangan. Tentu saja Dina tau.
Faris nyengir lebar. Antara ia dan Dina memang tidak pernah membahas pembicaraan itu lebih lanjut, tapi masing-masing pihak saling mengerti. Itu sudah cukup bagi Faris. Ia belum mengambil langkah karena…well, as much as he hates to say it, he is afraid of rejection. Klise. 
Seira seperti peri hutan, begitu bebas. Ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya. Senyumnya tulus dan ia begitu…simpel. Apa adanya. Deskripsi lainnya dapat terlihat dari Cupcake yang dibuatnya. Kreatif, inovatif, dan kompetitif. Faris teringat Dina pernah mengatakan bahwa Cupcake yang dibuat Seira disesuaikan dengan quote yang dibuatnya. Setiap hari berbeda dan tidak pernah sekalipun Seira kehabisan ide untuk menciptakan cupcake yang lezat.
Someday…Faris berjanji.
                                                               xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxooxoxoxoxoxo                               
Dua minggu kemudian.
Rabu pagi tanpa awan kelabu yang menghalangi sang raja untuk berkuasa. Faris memutuskan untuk pergi ke book fair. Pekerjaan yang sangat menyita waktunya membuat Faris ketinggalan buku-buku bagus. Ia merasa sudah saatnya untuk ‘balas dendam’, sehingga ia tidak ke kantor hari ini. After all, he’s got a good position…not that he uses it for his sake though. Ia sempat mampir di Take the Cake untuk membeli beberapa cupcake untuk cemilan di bus dan sedikit kecewa karena tidak menemukan sosok yang biasanya menyambutnya dengan senyum hangat.
“Orangnya lagi pergi. Dia libur hari ini…untuk lebih tepatnya gue maksa dia istirahat. She really needs to get a life. Walaupun ada satu orang yang sepertinya perlu gue jitak karena langkahnya kayang keong.” Dina berkata jahil.
“Berisik.” Faris menjawab, acuh. Ia memperhatikan pengunjung yang cukup banyak, “Tokonya nggak apa-apa ditinggalin?”
“Nggak apa-apa. Kan ada gue sama Lina. Stock cupcakenya cukup sampai nanti sore kok.” Dina menjawab.
“Ada tambahan worker ya?” Tanya Faris basa-basi.
“Udah lama kali, lo aja yang nggak nyadar. Wajar sih. Nih cupcake-nya.”
Faris mengambil kotak berukuran sedang tersebut dan membayarnya. Ia bergegas pergi sebelum matahari menjadi lebih ganas. Ia ingin menghindari sengatan di dalam bus yang sudah pasti penuh sesak. Hari ini ia beruntung mendapatkan tempat duduk dekat jendela. Sambil menikmati perjalanan, ia memakan cupcake dengan lahap.

Lokasi Book fair sudah pasti penuh pengunjung, hari apapun itu. Faris menghirup nafas yang dalam sebelum ia masuk ke dalam lautan manusia. Terkadang ia berhenti sejenak di suatu stand, melihat sekilas genre buku-buku yang dijual, lalu melanjutkan kembali pencariannya bila ia merasa tidak ada yang menarik.
“Ada yang bisa dibantu, mas?” Seorang perempuan yang merupakan penjaga stand, bertanya dengan nada kelewat ramah.
“Hm? Nggak, saya lagi liat-liat aja.” Faris menjawab tak fokus. Ia sedang mengamati cover buku autobiography seorang pemain sepak bola.
“Itu bukunya diskon 15 % lho Mas.” Lanjut penjaga itu tak menyerah.
“Iya, mungkin nanti saya beli. Terima kasih.” Faris melempar senyum sopan lalu beranjak ke stand berikutnya.
“Ternyata pengunjung setia kedai saya TP juga ya.” Suatu suara familiar menyapa Faris dari belakang.
Surprise. Faris berusaha untuk tidak tersenyum lebar ketika ia balik badan. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Seira di sini. A bookworm, aren’t we?
“Maksudnya?” Faris bertanya.
“Kamu nggak nyadar?” Seira mengulum senyum.
“Nyadar apa?” Ia balik bertanya, seratus persen tidak memahami pertanyaan Seira.
Seira menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyum, “Nggak.”
Tak ingin memaksa Seira, Faris mengganti topik, “Suka atau Kalap?” Ia menunjuk tentengan Seira yang banyak.
“Dua-duanya.”
“Dasar. Sini gue bawain, kayaknya berat banget tuh.” Faris menawarkan dengan santai. Sebenernya ia deg-degan juga. Seira langsung memberikan semua belanjaannya, membuat Faris tertawa lepas.
“Tanpa perlawanan?” Faris bertanya iseng.
“Kalau dilawan, gue bakal kalah juga kan? Mending langsung aja.”
Faris tersenyum geli campur takjub melihat sikap Seira yang to the point.
Well then…Let’s make a move, shall we?
                                                                        xoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxoxo
Finally, eh?  Dina tersenyum gembira melihat kedatangan Seira yang diikuti oleh Faris di belakangnya. Ia tidak perlu kekuatan membaca pikiran untuk menebak apa yang mungkin sudah terjadi. Dina memperhatikan gerak-gerik Seira saat ia mengarahkan Faris untuk duduk di spot favorit lelaki itu. Seira terlihat begitu rileks dan nyaman.
Lucunya, Dina tersenyum sendiri. Ia dengan gesit membuat Hot Chocolate untuk kedua orang tersebut. Walaupun berat hati, ia harus memberi tahu Seira kalau stock cupcakenya sudah tinggal sedikit, sedangkan kedainya masih buka hingga pukul delapan malam.
Only for you two, the best Hot Chocolates in history of Take the Cake.” Dina meletakkan dua gelas itu dengan elegan.
“Cupcakenya?” Seira bertanya.
“Nah itu dia bos. Udah sekarat.” Dina menjawab apa adanya, tersenyum meminta maaf kepada Faris.
“Waduh. Maaf ya, aku tinggal dulu.” Seira pamit terburu-buru.
“Jadi?” Tanya Dina tanpa basa-basi.
“Belum.”
“Eeeeh? Terus dari tadi ngapain aja?” Dina protes.
“Ngobrol.”
“5 jam?” Dina geleng-geleng kepala.
“Hei, bos lo itu susah ditebak lho. Salah langkah bisa berabe gue.” Faris membela diri.
Dina menganggukkan kepalanya, “Ah, lo mah terlalu hati-hati! Just let her know that you like her. ”
Xoxoxooxoxoxoxoxooxox
Seira merapihkan barang-barangnya ke dalam tas. Kedainya sudah tutup sejak beberapa menit yang lalu. Sebagian lampu sudah dimatikan. Dina dan Lina sudah pulang duluan karena masing-masing sudah kelelahan. Seira merasa tidak enak karena telah cuti beberapa jam walaupun ia juga senang dapat menghabiskan waktu bersama Faris.
Ia memang tertarik kepada Faris semenjak lelaki itu datang ke kedainya dua bulan yang lalu. Dalam keadaan basah kuyup, Faris tetap terlihat menarik. Bahkan Dina yang biasanya cuek, ikut bersiul rendah mengapresiasi wajah pengunjung baru itu.
Hari ini ia dapat mengenal Faris lebih jauh. Semakin lama ia berbincang dengan Faris, semakin ia penasaran dengan lelaki itu. Pribadinya begitu menyenangkan, hangat, dan terbuka. Selain itu ia sangat humoris dan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap seni. Satu hal lagi, wawasan Faris begitu luas seperti Wikipedia berjalan!
Seira sempat menanyakan pekerjaan Faris. Dengan nada yang malu campur bangga, Faris mengakui bahwa ia adalah pemilik salah satu percetakan koran dan majalah. Well, that explains the brain. Selain itu, Faris juga bekerja sebagai web-designer, suatu pekerjaan yang ia lakukan di waktu senggang. Yang membuat Seira kagum adalah Faris tidak terlihat seperti yang seharusnya terlihat.
Damn, she has it bad.
Seira melirik jam tangannya dan menyadari bahwa ia hampir saja kebablasan bengong. Ia bergegas keluar dan terkejut ketika melihat sosok yang bersandar pada mobil yang terparkir di depan kedainya.
“Gue anter pulang ya.” Faris menawarkan.
“Oke.” Seira menjawab, sedikit tak percaya akan penglihatannya. Faris berlari untuk membukakan pintu untuk Seira. S
“Ini mobil…?” Seira bertanya ketika Faris telah duduk di bangku pengemudi.
“Gue. Walaupun kemana-mana gue naik bus, bukan berarti gue nggak punya mobil kan?” Faris menyeringai.
Perjalanan berlansung sunyi, sesekali Seira memberi petunjuk arah. Rumahnya tidak begitu jauh dari kedainya hingga mereka tiba dalam waktu yang singkat. Lagi-lagi Seira merasa malu ketika Faris menyuruhnya menunggu hingga pintunya dibukakan. Sejenak mereka berdiri dalam diam, saling menatap satu sama lain, saling mencari jawaban.
“Terima kasih untuk hari ini.” Seira memecah keheningan, tidak kuat lagi untuk ditatapi begitu lekat.
“Sei…”Faris memulai, tapi ia tidak melanjutkannya.
“Iya?”
“I know it’s kinda rush…boleh gue nganter lo pulang lagi besok?” Tanya Faris gugup.
Muka Seira bersemu merah. Untung keadaan sekitar tidak terlalu terang, sehingga Faris tak mungkin melihat ia blushing.
“Tapi kalo lo nggak mau, nggak apa-apa kok.” Lanjut Faris salah mengartikan diamnya Seira.
“Boleh kok.” Seira berkata pelan.
“Dan satu hal lagi…” Faris memperpendek jarak dan melanjutkan kalimatnya dengan nada rendah yang tanpa sadar terdengar begitu menggoda di telinga Seira, “Quote yang lo berikan ke gue akan terus gue pegang.”
 “Q-quote apaan?” Tanya Seira terbata-bata.
“Once you have started something, there’s no going back.” Jawab Faris sebelum ia menutup jarak antara mereka berdua.
Mint Chocolate
­Note: terima kasih sudah membaca..(emang ada?) haha…:D

8 komentar:

  1. sweet.. tp kurang greget.. aku pdhal lg nunggu yg klimaks bgt loh.. tp its ok.. bgs kok..hehe..

    BalasHapus
  2. iya nih, kl dibaca ulang sepertinya ada yang kurang..terima kasih ya kritiknya.. :)

    BalasHapus
  3. sama2 say.. qta saling belajar aja yah.. udah lama kah suka dunia tulis menulis??

    BalasHapus
  4. baguus.. smooth, ngalir banget pas dibacanya. i like your story :)

    BalasHapus
  5. @duwie: iya..hehe. Hm, nggak juga, baru serius setaun ini. (masih hijau sekali..XD)

    @kotakkayu:thx! :)

    BalasHapus
  6. baguus, bahasanya ngalir banget dan enak dibaca.
    iya tapi setuju, endingnya terlalu cepat hehe :)
    tapi over all, aku suka banget ngebacanya. nice writing!

    BalasHapus
  7. gw suka,,,enak d bacanya dan ga ada tapinya ^_^

    BalasHapus
  8. Ah pipi... XD
    I loveeeeee this so so much... Why don't you let me know! :( aaaa
    Ngalir, pure khas vivi XD

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!