Oleh : Kartika Rizky Lim
Untuk sesi Interpretasi Lagu, terinspirasi dari Sheila on 7 – Hari Bersamanya
dan sekalian, untuk sesi Paralel, juga
Ini bukan hari yang biasa, bukan seperti hari-hari sebelumnya atau mungkin hari yang akan datang. Hari ini aku akan bertemu kembali dengan dia, dengan lelaki itu, orang yang mengubah hidupku dan kutinggalkan dia tanpa pamit. Hari ini aku akan membayar segalanya. Hahaha. Lucu sekali mengenang apa yang terjadi saat aku, pada pagi itu lima tahun yang lalu, mengirim pesan singkat—SMS yang berisi aku akan pergi tidak tau kapan kembali. Lalu dia membalas dengan tertawa (dan cemas sepertinya), tidak percaya, mengira aku bercanda. Tapi toh dia memacu kendaraannya menyusulku di bandara, menemuiku, di menit terakhir sebelum aku naik ke ruang tunggu. Aaah, masa lalu.
Entahlah, tapi, dada ini berdegup terus sejak tadi pagi. Jari-jari ini dingin gemetaran. Aaah, aku grogi, padahal hanya akan bertemu dan berbincang sedikit. Atau banyak, mungkin.
Aku ingin sekali bisa berkata pada diriku sendiri, kalau sebenarnya pertemuan ini tidak penting, dan bisa dibatalkan dengan satu kalimat mudah. Tapi tidak bisa. Aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya aku sedang berada di kota ini. Janji sudah dibuat, dan aku bukan tipe wanita pelanggar-janji, apalagi janji ketemuan-setelah-sekian-lama-menghilang.
Dada ini tetap berdegup sangat kencang. Astaga, Tuhan, tolonglah!
───────────
Berkali-kali aku menatap diriku di cermin. Rasanya tetap ada yang kurang bagaimanapun aku mencoba untuk melengkapi penampilanku. Aku menyisir rambutku setiap kali di belakang kepalalu ada rambut mencuat. Aku melepas kemejaku dan menyetrikanya kembali berkali-kali meski sudah terlihat rapi. Teman sekamarku mengecek dahiku, siapa tahu kau sakit panas lalu gila, katanya. Aku gugup sekali. Arlojiku basah oleh keringat.
“Yere, sebenarnya kamu ini mau kemana sih? Ketemu presiden ya?” tanya Anto, teman sekamarku, kemudian. Kelihatannya dia sudah mulai risih melihatku yang tidak lepas pandangan dari cermin.
“Lebih penting dari presiden, nih,” sahutku.
“Panggilan kerja lagi ya? Halah kamu, kalo bahagia engga bagi-bagi.”
“Masalahnya yang kali ini engga bisa dibagi-bagi, semprul!” aku beranjak dari cermin, berangkat menuju dia, menuju wanita itu.
───────────
Aku sudah siap sekarang, siap menerima apapun yang akan terjadi. Aku memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi saat bertemu dengannya nanti. Mungkin dia akan membawa kampak besar untuk membunuhku? Atau parang tajam untuk menggorok kepalaku? Bodoh ya? Ini kan semacam kencan, bukankah lebih baik aku membayangkan dia membawa mobilnya, memarkirkan di halaman hotel, menunggu di lobby sementara aku turun, dan ketika kami sudah berpapasan dia akan memberiku sekarangan mawar, atau sepaket coklat?
Dada ini tetap berdebar-debar.
───────────
Sepertinya sudah terlambat ya kalau membatalkan janji sekarang. Aku sudah tiba di belokan terakhir menuju hotel tempatnya menginap dan aku berhenti. Oh Tuhan, lancarkanlah hariku bersamanya...
Emm... Apa sepatu ini pas untuk warna kemejaku?
───────────
DATANG! Pesan di ponselku berkata dia sudah menunggu di lobby. Oh tidak, inilah saatnya. Oh Tuhan, beri aku kekuatan untuk menatap matanya nanti.
“Hai...” sapanya. Dia berdiri dari tempat duduknya.
“Hai. Lama menunggu?” ah pertanyaan bodoh, dia kan mengirim pesan saat dia tiba dan itu hanya sekitar 7 menit yang lalu!
“Engga kok, baru sampai,” dia menaikkan alis, membuat tangannya seolah berbicara ‘ayo duduk’, dan dia duduk kembali di sofanya.
“Emm... Apa kabar?” rasanya dadaku mau meledak.
“Seperti kelihatannya,” dia tersenyum. Senyum yang sama seperti 5 tahun yang lalu, tidak berubah. “Kamu apa kabar?”
“Emm... Ya... Seperti kelihatannya?” aku menyesal menjawab itu, kalau kukatakan aku tidak enak badan mungkin aku bisa kembali ke kamarku dengan tenang dan tidur!
“Hahahaha,” tawanya renyah. “Berangkat yuk,” ajaknya.
“Kemana?”
“Ke tempat biasa,” jawabnya agak menyebalkan dengan senyuman misterius seperti itu... Aaah aku takut dibunuh dengan parang!
───────────
Aku sampai. Di lobby, kukirim pesan untuknya, “Aku udah di lobby nih. Kamu turun ya! Hehe..” lalu aku keringat dingin. Kuseka. Aduh, aku sudah seperti orang baru selesai mandi engga handukan.
Dia turun! Aku melihatnya. Astaga, bajunya bagus sekali... Aku melirik ke bawah, apa celanaku baik-baik saja? Sepatuku? Dan kulirik pula kemejaku kanan kiri, baguslah, tidak ada yang kusut, meski bagian ketiak agak sedikit basah, SEDIKIT.
Dia mendekat. Dia tersenyum. Astaga aku harus bagaimana!? Kakiku terkunci. Untungnya instingku tidak ikut terkunci, walau aku tidak bisa berjalan menghampirinya, terkaku-kaku aku berdiri, memaksa bibir untuk tersenyum semanis senyuman yang dia berikan kepadaku, dan, astaga kenapa dia berjalan begitu cepat! “Hai...” akhirnya keluar juga sepatah kata dari mulutku. Aku keringatan lagi, tidak punya keberanian untuk menjabat tangannya, kupersilahkan dia duduk. ASTAGA, apa yang kupikirkan, ini kan lobby hotel, bukan rumahku, kenapa kupersilahkan dia duduk?
Setelah sedikit sekali berbincang di lobby, aku mengajaknya ke suatu tempat. Aku memang berencana mengajaknya ke sini, tempat ini punya banyak kenangan. Tidak bisa berbohong pada diriku sendiri, tanpa kehadiran dia beberapa tahun belakangan, jika aku rindu, ke tempat inilah aku melepas bebanku. Dia duduk di sebelahku persis. Tidak pernah aku merasa selega ini.
───────────
Aku tidak tau harus bagaimana lagi. Aku bahagia. Aku tidak menyangka pertemuan ini membawaku pada perasaan yang bahagia seperti ini. Ya ampun... Aku bahkan tidak bisa berhenti tersenyum, tidak bisa menyuruh diriku sendiri untuk berhenti tersenyum. Aku lega. Bahagia. Dan Tuhan benar-benar memberiku kekuatan dan benar-benar melancarkan hari ini, ya, setidaknya dia tidak benar-benar membawa parang untuk membunuhku.
───────────
“Kita sampai.”
“Ini dimana?”
“Buka dulu dong pintunya, turun dulu dari mobilnya, terus lihat sekeliling kamu.”
Lona turun dari mobil. Ya lebih tepatnya, Yere membukakan pintu untuk Lona.
“Ini dimana sih?”
“Kamu lupa?”
Lona mengerutkan dahinya, berusaha berfikir dan mengingat. “Ini bukit harapan,” desahnya kemudian.
“Senang akhirnya kamu tidak melupakan tempat ini begitu saja.”
“Banyak berubah, aku bingung.”
“Ya. Pohon kita juga sudah ditebang.”
“Jadi, untuk apa kita disini?”
“Untuk ucapan permohonanku.”
“Ya?”
“Aku mau minta tolong.”
Lona mengerutkan dahinya kembali.
“Ya apa?”
“Tolong jangan pergi lagi,” tangan Yere bergerak menggenggam jemari Lona yang dingin. Lona diam. Yere diam. Yere menarik tubuh Lona mendekat, kening mereka menyatu sekarang. Mereka sangat dekat hingga mereka saling bisa mendengar desah nafas.
“Jangan pergi lagi,” bisik Yere lagi.
Keduanya tidak berkata-kata lagi, masing-masing berusaha mengartikan rasa yang bercampur saat akhirnya keduanya berciuman. Hanya mereka berdua.
ceritanya lumayan. tapi kurang gereget aja. coba di tulisan lain dibikin geregetnya lebih pas gitu. terus lebih kreatif ya.
BalasHapus