Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang.
“Kita perlu bicara...”
Aku sudah menyadari kehadirannya sejak tadi. Hanya saja aku menolak untuk melihatnya. Aku tidak ingin... atau mungkin tidak mampu.
Tubuhku terasa dingin ketika ia berusaha menyentuhku. Airmata yang sejak tadi berjatuhan terasa seperti tiba-tiba beku di pelupuk mata. Tidak, aku tidak ingin bicara.
“Ayolah...,” bisiknya lagi. “Kamu tidak datang kemarin, padahal aku menunggumu. Kita perlu bicara...”
Tidak mengertikah ia? Aku sengaja tidak datang karena memang tidak ingin bicara. Aku tidak mau mendengar apapun. Dan aku tahu, ia tidak memiliki cukup tenaga untuk membuatku bergeming dari tempat berdiriku kini.
“Lihatlah aku, Gilang. Sedang menarikmu, namun tidak benar-benar menarikmu. Berusaha menyentuhmu, namun tidak sungguhan menyentuh. Kasihani aku.”
Ia terus berbisik. Dan aku tetap keras kepala. Masih di tengah kerumunan.
Kemudian ia mulai memaksa. Ia pindah ke hadapanku.
Kutundukkan kepala, gemetar karena tangis. Dari samping, Ibu mengusap-usap punggungku, mencoba menenangkan. Kupejamkan mata agar tidak perlu melihat kaki pucat yang tidak beralas di depanku.
“Sekali saja, dan aku tidak akan mengganggumu lagi,” janjinya, masih berbisik. Atau memang begitulah suaranya sekarang. “Sekali saja, Gil. Aku mohon.”
Dan ia memelukku. Pipinya di leherku, lengannya melingkar di pinggangku. Tubuhku menegang.
Ia tidak akan menyerah sebelum aku mau bicara dengannya.
“Baiklah,” bisikku lirih. “Kita bicara.”
Dilepaskannya pelukan yang terasa dingin tersebut. Aku berbalik, tetap menunduk, berjalan ke belakang kerumunan yang juga semuanya tertunduk. Semua menangis.
Aku berhenti di bawah sebuah pohon. Ia di hadapanku.
“Bicara apa?” tanyaku. Suaraku parau.
Ia terdiam sejenak. Memandangiku yang menolak memandangnya. “Kamu marah?”
Ternyata suaranya memang seperti itu sekarang. Bukan lagi suara riang yang dulu. Tidak lagi terdengar renyah.
Aku menggeleng.
“Lalu kenapa tidak datang?” tanyanya lagi. “Aku menunggumu kemarin.”
“Aku tidak ingin.”
“Kenapa?” ia menyentuh jemariku. Dingin.
“Aku tidak sanggup mengantarmu pergi dengan cara seperti itu,” ujarku. Suaraku pecah. “Dulu kamu bilang tidak akan menyerah... Tidak mau kalah... Kenapa Euthanasia...?”
Ia meremas jemariku. Seperti yang biasa dilakukannya dulu. Perlakuan yang sama, yang rasanya kini berbeda. Jauh lebih samar dan lebih utopis daripada biasanya.
“Seperti yang kamu bilang, akulah yang berhak menentukan arah hidupku. Jadi jika ini yang aku pilih, seharusnya tidak apa-apa, bukan?” ujarnya lembut. “Lagipula, aku tidak punya apa-apa lagi.”
“Aku. Kamu masih punya aku,” kataku marah. Masih menolak menatapnya.
“Denganku, kamu tidak akan memiliki kehidupan,” jelasnya.
“KAMU hidupku,” ujarku semakin marah. Bagaimana mungkin ia bisa berkata seperti itu?
Ia terdiam lagi. Lama. Memberiku cukup waktu untuk meneteskan beberapa butir airmata lagi. Untuk mengeluarkan tangis yang berbulan-bulan tertahan di rongga dada.
“Tatap aku,” pintanya. “Sekali ini aja, tatap aku lagi.”
Sekuat tenaga aku menolak permintaannya dengan tetap menundukkan kepala.
“Pandang aku,” mohonnya. “Pandanglah perempuan yang pernah memilikimu sebagai pusat kehidupannya, yang kemudian pergi untuk memberimu sebuah kehidupan.”
Ternyata ia tetap seorang pemain kata-kata. Kali ini aku tidak lagi mengikuti ego. Luluh, kudongakkan kepala.
Meski buram oleh airmata, aku tetap mengenali wajahnya. Wajah yang tersenyum. Senyum lembut yang sama, yang kini terlihat lebih pucat.
Ia menyentuh pipiku. “Terima kasih.”
Dan kami bertatapan, lama. Aku menangis dan dia tersenyum. Sebuah kontradiksi menyakitkan yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi.
“Kamu benar-benar tidak mau memandang wajahku lagi, ya?” tanyanya. Suaranya berdesau. “Kamu takut?”
Aku mengangguk.
“Apakah aku menyeramkan? Bukankah sejak kecil kamu biasa melihat yang seperti ini?”
“Aku takut tidak akan mampu mengikhlaskan kalau terus memandangimu,” isakku.
Ekspresinya berubah, namun tidak terbaca. Apakah seperti itu rupa kesedihan di wajahnya kini? “Kalau begitu, jangan kembali dulu kesana. Mereka sedang menguburku.”
Aku ingin memintanya memelukku, namun tangisan membuatku sulit bicara. Jemariku yang sejak tadi membeku kini balik menggenggam samar tangannya.
Ia mengerti. Seperti seharusnya, ia mengerti maksudku. Dipeluknya lagi tubuhku yang semakin gemetar. Dingin, namun setidaknya terasa.
“Sebentar lagi mereka selesai. Aku pamit, ya?” ujarnya di telingaku. “Jangan menangis lagi.”
Aku terdiam pasrah, sadar bahwa kali ini benar-benar perpisahan. Tanpa bisa kucegah, pelukan ini akan mengendur dan berakhir.
Rasa dingin ini akan menjadi hangat.
Dan Euthanasia tidak akan menyakitiku separah ini lagi.
Ketika aku membuka mata, Ibu sudah berada di hadapanku. Ia tidak ada lagi. Kerumunan sudah berpencar.
“Tadi dia datang...,” ujarku lirih. “Anisa tadi datang...”
Ibu memelukku. Hangat.
“Ikhlaskan, Nak. Ikhlaskan...”
Aku balik memeluknya. Menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan tangis.
Aku tahu Anisa masih ada di sini. Masih terasa.
“Ayo Ibu, temani aku,” pintaku. “Harus ada pemberian terakhir untuknya, meski hanya taburan bunga...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!