Oleh : Noerazhka
Website : www.noerazhka.com
Twitter : @noerazhka
Entah sudah berapa lama aku berada disini. Jelasnya, kulitku sudah berkerut-kerut, terkena sinar matahari dan air laut, silih berganti. Tapi aku belum ingin pergi. Aku masih ingin disini. Duduk melantai, menyatu dengan pasir-pasir dan sesekali tersapu ombak samudera selatan.
Aku mengeratkan dekapanku pada lututku sendiri. Air laut berkecipak hingga mukaku. Asin. Oh tidak, pahit. Sepahit potongan-potongan memoar yang berputar di kepalaku. Memoar yang mengantarkan langkahku sampai disini.
Laguna Pari.
Sawarna.
###
Kakiku tersaruk-saruk. Rasanya aku sudah lama berjalan, lepas dari homestay milik Kang Hendi, tapi kenapa cekungan pantai bernama Laguna Pari itu belum juga terlihat. Ahhh ..
Empat kilometer yang berat.
Bagaimana tidak, aku harus melalui pematang sawah selebar tigapuluh sentimeter dan ladang berbukit-bukit. Belum lagi hujan semalam memperparah keadaan. Tanah padat berubah menjadi lumpur. Medan panjang ini menjadi seperti perosotan. Licin bukan kepalang. Sudah beberapa kali aku terpeleset, hingga rupaku sudah tak karuan sekarang.
“ Masih jauh, Kang ? “
“ Lumayan, Neng, setengah jam lagi lah .. “
“ Sandal saya udah berat banget nih, Kang, lumpur yang nempel tebel banget .. “
Aku manyun. Aku mirip bebek, kakiku lebar. Bedanya, kalau bebek lebar karena selaput renang, sementara aku lebar karena lumpur. Ohhh ..
“ Di depan ada bendungan, Neng, lumayan buat bersihin sandal .. “.
Hmm, aku agak heran dengan Kang Ade, guide ku selama di Sawarna ini. Tidak satu kalipun dia jatuh terpeleset. Orang sakti !
Saat aku menyeret-nyeret kedua kakiku, suara berat menggema di keheningan pagi Desa Sawarna ini,
“ Lepas sandal aja, lebih enak jalannya, ngga terlalu licin .. “
Aku menoleh.
Sosoknya ada di belakangku. Tepat. Entah sejak kapan dia ada disana. Mungkin sejak dari home stay. Aku saja yang terlalu fokus pada track, hingga tidak peduli ada orang lain yang juga menuju Laguna Pari.
“ Ngeri ah, ntar ada cacing gitu .. “
Dia tertawa.
Tawanya membuat darahku berdesir. Rasanya otakku turun hingga tumit. Perawakannya yang lima sentimeter lebih tinggi dari aku, semakin membuatku kerdil.
“ Berani ke Sawarna sendiri kok sama cacing aja takut. Cacing ngga gigit .. “
Aku nyengir.
Dia mendahuluiku. Aku melihatnya memang tak beralas kaki. Rasanya langkah-langkahnya lebih mantap, tidak diberati sandal dan lumpur yang menempel di bawahnya.
Sepertinya aku mau menuruti sarannya. Sandal gunung pun tidak lagi menempel di kakiku, tapi kutenteng dengan tangan kanan.
Iyaaa ..
Lebih nyaman, karena tanpa alas, kakiku justru lebih mudah mengontrol langkah. Ahhh, kenapa tidak dari tadi. Aku beranjak lagi, menuju Laguna Pari.
Ternyata tidak jauh, terlihat bendungan, sumber pengairan sawah-sawah di sekitar sini. Kang Ade dan laki-laki tadi sedang duduk-duduk disana.
“ Barusan berhenti, Neng ? “
“ Iya, Kang, ngelepas sandal .. “
Aku ikut-ikut duduk di tepian bendungan dan membasuh kaki dan tangan yang berlumur lumpur. Sandal juga, meskipun tidak bisa bersih benar.
“ Ada cacing ngga ? “
Aku melirik. Dia bicara lagi. Duniaku bergetar hebat lagi.
“ Belum, mungkin di depan nanti ketemu .. “
Dia tersenyum,
“ Kalau ketemu cacing, titip salamku ya .. “
“ Dari siapa ? “
Ouchhh, nekat sekali aku ini ! Ngapain tanya-tanya duluan. Gengsi tauuu .. Tapi, sudah terlanjur basah. Mudah-mudahan dia menjawab dan balik bertanya, siapa namaku.
Dari ujung mataku, aku melihat ada senyum lagi dari ujung bibirnya,
“ Ilham “
Ohhh, namanya Ilham.
Aku menunggu, dia bertanya padaku juga. Kalau nama kamu siapa ? Tapi, sepi. Dia diam saja. Tidak ada tanya apa-apa lagi.
Sedetik, dua detik, lima detik, dua puluh detik. Tetap diam.
Aduhhh, kok dia ngga tanya balik ya, siapa namaku ?!
“ Ayo kita lanjut, udah deket, tinggal naik bukit ini, turun, sampai ke Laguna Pari .. “, Kang Ade pun sudah bergegas menyuruh kami berdua bangkit dan melanjutkan perjalanan.
Sampai aku melangkah di belakang Kang Ade, dia masih belum juga mengeluarkan pertanyaan tentang siapa namaku.
Entah mengapa, aku murung.
Bahkan ketika cekungan Pari yang berpagar Batu Gelombang dan dihiasi matahari yang belum tinggi dari cakrawala ada di hadapanku, aku masih diam. Sedih karena entah. Ombak yang bergulung-gulung tak terlalu tinggi belum juga bisa memanggilku bergabung, berdansa di tengah samudera.
“ Jauh-jauh cuma mau diam begini ? “, celetuk laki-laki bernama Ilham itu, tiba-tiba, menepikan sedikit kegelisahanku yang aku sendiri tidak memahaminya.
Serba salah. Aku hanya ber-hmm agak panjang, tanpa sanggup bicara banyak.
“ Ayolah, Luri, kita main air .. “
Aku terbengong. Berharap salah dengar. Namun tidak, telingaku sehat kok. Dia menyebut namaku, bukan ? Dari mana dia tau ?
Kemudian tangannya menarik tanganku meninggalkan garis pantai. Kami menyatu dengan nyanyian laut selatan di Laguna Pari.
Sekejap semua inderaku menangkap keindahan alam ujung selatan Jawa ini.
Mataku melihat hamparan laut membiru dan bersemu jingga. Telingaku mendengar desis buih laut yang menepi melepas kerinduan pada bumi. Poriku menyentuh renyah pasir putih yang padat dan basah. Hidungku membaui aroma nelayan-nelayan yang tengah pulang. Lidahku merasakan asinnya lautan yang kadang menyentuh lidahku.
Semua itu bertambah indah. Sebab Ilham.
###
Itu dua tahun lalu.
Pertemuan pertama dengannya. Tak disangka-sangka, sekaligus menjadi perjalanan pertama bersamanya.
Sawarna.
Mengawali perjalanan-perjalanan kami selanjutnya. Kilauan. Pulau Peucang. Badui Dalam. Onrust. Kandang Badak. Baron Krakal Kukup. Sempu. Madakaripura. Ijen. Gili.
Dan, yang terakhir, Ujung Genteng. Dua bulan lalu.
Sedianya, dia berjanji mengajakku kembali ke Laguna Pari. Tempat pertama kami bertemu, pada hari ini, hari dimana dua tahun lalu kami bertemu pula.
Sejak lama aku berseri-seri menyambut hari ini.
Hingga seminggu yang lalu, aku mendapat sms pendek,
“ Ilham dekompresi, Lur “
Dekompresi, serangan yang dialami pe-diver, sesaat setelah melakukan penyelaman. Dimana akumulasi nitrogen yang terlarut setelah menyelam membentuk gelembung udara yang menyumbat aliran darah dan sistem syaraf.
Itulah yang merenggutnya begitu jauh dariku.
Itulah yang menyebabkan dia tidak bisa menepati janjinya untuk mengajakku ke Laguna Pari lagi hari ini.
Itulah ..
Sisa gelombang laut selatan kembali menyapaku. Seperti membelaiku, menghiburku untuk lepas dari kehilangan. Sayang, dia gagal. Masa berkabungku belum usai. Entah sampai kapan.
Bersama ombak yang mencumbui pasirnya, aku diam tergugu. Air mataku menjadi satu dengan kecipak air laut yang liar menyapa rautku.
Ilham.
###
“ Ngaku aja deh, kamu tau namaku udah dari lama kannn ? “
Dia menatapku heran.
“ Ngaku ! “
“ Ngga kok .. “
“ Trus waktu itu kok kamu tau namaku Naluri ? “
“ Tanya Kang Ade, pas di bendungan .. “
Aku merengut. Dia meleletkan lidahnya.
Kemudian, ombak kembali mengajak kami berdansa. Berdua.
###
meninggal ya ilhamnya?
BalasHapus